Planet Bluetaria And The Core

Razza
Chapter #15

C.2 THE VISION OF ORACLE

Kejadian cuaca yang sangat kelam sebelumnya berlangsung membingungkan. Dalam waktu kurang dari satu jam, awan hitam pekat itu menghilang dengan sendirinya. Datangnya tanpa sebab, hilangnya juga tanpa sebab. Bahkan sang oracle sendiri tidak mampu mengungkap apa atau siapa dalang dibalik kejadian hal itu. Banyak perubahan yang terjadi, sang oracle lebih sering sendirian semenjak kejadian itu, entah apa yang dilakukannya atau sedang dimana dia tidak ada yang tahu satupun. Tidak bahkan Keris atau Leman sekalipun. Dan yang lebih terlihat lagi, Taw menjadi sangat pendiam dan lebih suka menyendiri juga, menelusuri tempat-tempat di dalam kerajaan. Pernah suatu saat Becky memergoki Taw memegang-megang dinding batu di koridor bawah tanah, entah apa yang dilakukannya. Becky hanya memperhatikan sejenak lalu pergi dengan secepatnya.

Dan benar saja, sang oracle bahkan hanya melatih keduabelas Hero sekali dalam seminggu, sisanya biasanya diwakilkan kepada orang lain atau bahkan langsung menunjuk Keris yang sebagai pemimpin untuk menggantikannya. Entah apa yang dilakukan sang oracle sendirian, namun Canyol pernah melihat gurunya itu berdiam diri dalam sebuah ruangan gelap, bersemedi. Atau paling tidak pernah terlihat gurunya itu pergi menuju ke tempat sang pohon sendirian, bersemedi sangat lama hingga berhari-hari. Melakukan kontak dan berdiam dengan sang pohon. Sangat membingungkan lagi, gurunya lebih sering tertidur dalam duduknya ketika bersama mereka. Mereka bahkan sampai bingung hendak melakukan apa, namun Keris dan Suro selalu saja memperingatkan mereka untuk tidak menggangu guru mereka dalam keadaan yang seperti itu, dibiarkan sendiri hingga terbangun atau sadar kembali. Dan seperti hari ini saja, gurunya tertidur dengan mata terbuka saat mereka sedang makan malam didalam salah satu ruangan paling besar dikerajaan itu.

Dan satu dua jam berlalu, satu persatu dari mereka pergi. Dan tinggalah Leman sendirian memperhatikan mimik mata terbuka gurunya itu dengan dalam dan mencoba untuk mengerti apa yang dilakukan oleh pria berjanggut putih tsb. yang masih tak sadar. Namun sekian kemudian kepala gurunya menjadi miring dan semakin yakinlah Leman bahwa gurunya seperti orang mati saja. Dan Leman meluruskan kembali kepala gurunya, disandarkan di belakang kursi tinggi batu mengilap. Lemanpun setelah itu hendak meninggalkan gurunya. Namun ruangan tempat itu tiba-tiba menjadi sangat gelap dan Leman tidak bisa melihat gurunya atau apapun yang ada disana. Tangan dingin memegang tangan Leman, sontak membuatnya terkejut. Ternyata gurunya telah sadar dan menarik tangan Leman.

Gurunya tidak banyak bicara, Leman juga tidak mampu berbicara sedikitpun. Mereka lama terdiam dalam sunyinya kegelapan, hanya secercah cahaya bulan yang mencuri masuk dari sela-sela lubang diatas yang membuat keadaan tampak sedikit meramaikan.

“Beberapa hari yang lalu saat awan hitam itu muncul, aku merasakan sesuatu yang ganjil. Aku kira aku yang kehilangan kesadaran. Namun baru aku pahami, sesuatu yang paling berharga didalam dunia kita tiba-tiba menghilang, pergi dalam ketidaktahuan siapapun.” Gurunya mengangkat bibirnya dengan pelan, menarik tangan Leman isyarat untuk membuat Leman duduk bersamanya dan mendengarkan ceritanya. “Jiwa-jiwa menghilang! Dan terlebih lagi penjaga kita selama ini juga.”

“Guru, aku tidak mengerti apa yang guru bicarakan.” Leman menghela protes karena bingung dengan percakapan gurunya. Namun gurunya langsung menyuruhnya diam dengan mendengarkannya bicara.

“Sang pohon menghilang! Aku bahkan tidak mampu memiliki pandangan-pandanganku lagi, Lem. Aku tidak mendengar lagi bisikan dari sang pohon. Aku bahkan tidak mampu mencoba untuk meramalkan apapun sekarang. Jiwa sang pohon tidak kurasakan lagi dalam diriku, dalam dunia kita. Jiwanya pergi, entah atau hanya diam tidak mempedulikan kita.” Gurunya bercerita dengan nada yang sangat datar dan tenang, “beberapa hari ini aku mencoba mencari jawabannya dan mencoba berdiam diri berkonsentrasi. Namun yang kudapatkan malahan sebuah beban pertanyaan lagi, sebuah misteri yang tidak mampu aku pecahkan.”

“Guru, apa maksudmu jiwa sang pohon menghilang? Apa guru tidak mampu berkomunikasi lagi dengan sang pohon? Kenapa itu bisa terjadi? Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Leman menyela dan bertanya dengan spontan.

“Leman, sang pohon menghilang! Ya benar-benar hilang. Gurumu tak mampu berkomunikasi lagi dengan sang pohon.” Gurunya bernada parau.

“Apakah artinya itu kita tidak dibimbing lagi guru oleh sang pohon?”

“Ya benar. Namun yang aku takutkan jauh lebih dari itu Lem, selama ini penyeimbang planet kita dan alam semesta adalah sang pohon. Jika itu hilang atau bahkan kita tak mampu memahami arti sebenarnya. Dunia kita akan kritis, terlebih lagi jika para penduduk mengetahuinya. Perpecahan akan terjadi. Kita tidak akan tahu apa yang terjadi selanjutnya.” Gurunya mulai menunjukan emosi dalamnya, ekspresi wajahnya berubah, tangannya gemetaran dan fokus matanya menjadi hilang.

“Guru...” Leman bingung harus berkata apa.

Leman menjadi paham kenapa gurunya sering hilang atau lebih sering sendiri sekarang atau bahkan tak sadarkan diri. Namun masih bergema dipikirannya kenapa hal ini bisa terjadi. Gurunya adalah orang paling bijak didunia ini, karena sang oracle adalah perantara sang pohon kepada mereka dan penduduk. Namun jika gurunya tidak mampu untuk berkomunikasi dan menerawang lagi melalui sang pohon, apa yang akan terjadi? Yang Leman pahami untuk saat ini adalah jiwa gurunya pasti sangat terguncang berat. Beban pikirannya pastilah masalah utamanya. Dan perasaan gelisah untuk tidak mampu menjadi perantara mungkin menjadi faktornya. Setidaknya itulah yang mampu Leman pikirkan, karena Leman sendiri tidak mampu membaca pikiran gurunya. Tidak seperti yang lainnya.

“Lem, percakapan ini hanya antara kau dan guru. Tidak ada yang boleh tahu tentang hal ini, tidak untuk saat ini. Sampai aku mampu untuk meramalkan lagi apa yang harus kita lakukan. Dan mungkin untuk sampai setidaknya pertanyaan-pertanyaan didalam benakku terjawab.” Gurunya melihat tajam mata Leman, untuk meyakinkannya. “Ingat Lem, tidak ada yang boleh tahu. Sekarang kembalilah ketempatmu, tidurlah bersama temanmu. Tengah malam sebentar lagi. Pergilah!”

***

Taw’s part

Aku berlari cepat menyusuri koridor-koridor kaca ini, aku takut apa yang aku tadi barusan berlangsung memang seharusnya aku tidak pernah terlibat didalamnya. Tidak pernah kusangka aku selalu terlibat dalam banyak hal yang aku sendiri sebenarnya tidak ingin. Namun anehnya selalu saja aku yang kena, ada apa dengan diriku ini? Beberapa hari yang lalu aku juga yang terkena kejadian aneh, serasa mimpi namun adalah fakta. Apa kalian pikir aku tidak menyadari bahwa hal itu fakta? Tidak! Perkataan pria itu masih menganga ditelingaku, begitu pula wajah dan cerita dongeng yang dibawakannya. Hal itu drastis mengubahku menjadi sosok pemikir yang dalam. Yah beberapa hari ini aku jadi sangat menyendiri. Namun kenapa selalu kejadian yang tak pernah kuharapkan terjadi padaku? Berulang lagi dan lagi.

Aku meninggalkan pisauku saat makan malam tadi, aku mengingatnya saat sudah hampir tidur. Benar-benar kejadian aneh. Sebelumnya aku belum pernah terlupa akan pisauku itu, sebenarnya itu adalah senjataku. Mampu menjadi panjang dan besar seketika dan mempu terpecah menjadi beribu-ribu bagian pedang tipis halus yang sangat tajam. Iya, aku segera langsung berjalan cepat menyusuri koridor-koridor kaca ini, biasan cahaya sang rembulan yang menembus celah-celah lubang diatasnya kadang mengenai wajahku dan membuatku menutup mataku. Namun aku terhenti saat aku tiba didepan pintu besar yang tertutup, tepat ditempat aku meninggalkan pisau berhargaku. Suara halus namun bertenaga bernaung dari dalam, ya aku pikir tahu itu suara guruku dan tentu saja juga suara Leman.

Lihat selengkapnya