Siang petang yang sangat panas dan terik menyelimuti planet Bluetaria. Tidak ada sedikitpun awan putih di langit yang meyaring dan melidunginya sinar itu. Terlebih lagi di istana yang hampir semuanya terbuat dari lapisan bening kaca. Keduabelas dari mereka masih saja membicarakan mimpi atau ramalan Taw yang terjadi dua hari yang lalu. Taw sendiri sudah banyak dikonfirmasi oleh teman-temannya namun sangat sedikit sekali jawaban Taw yang mampu memuaskan rasa penasaran mereka. Seperti, Taw apa yang kau lihat sebenarnya? Atau Ini bukan yang pertama kalinya Taw, ya kan? Sebelumnya kau pernah merasakan keanehan dimana hari menjadi sangat gelap juga? Atau seperti, Taw kenapa itu terjadi kepadamu? Tapi kebanyakan jawaban Taw sama untuk hal itu, tetep konsisten pada jawabannya. Tidak tahu apa-apa.
Namun sedikit mencemaskan buat Leman sendiri, karena masih hanya gurunya dan dia yang tahu bahwa jiwa sang pohon masih hilang entah kemana. Dan hal itu membuat Leman menjadi lebih sering berpikir daripada bertindak, bertanya-tanya kenapa hal itu bisa terjadi. Tapi pada menjelang pagi Taw kerasukan, atau lebih kepada sihir. Gurunya telah memperingatkan mereka akan sebuah perang dinegeri mereka itu. Lalu muncullah pertanyaan baru dibenak Leman. Siapa lawan mereka sebenarnya? Selama ini, di planet Blutaria belum pernah ada yang seperti ini. Itu sepengetahuan Leman, tapi Leman sangat yakin sampai seratus tahunan yang lalu juga tidak terjadi apa-apa. Itu karena Leman sendiri banyak membaca pikiran orang-orang yang hampir hidup selama seratus tahun, Namun tidak menemukan sesuatu yang ganjil. Apa mungkin karena kemampuan membaca pikiran Leman hanya sebatas masa sekarang saja? Tidak bisa membaca sesuatu yang lampau? Tentu saja, bahkan dia kebingungan sendiri saat temannya Taw kerasukan.
Fakta itu membuat pikiran Leman menjadi sangat jauh. Berbagai pertanyaan muncul dibenaknya. Sangat banyak, namun tidak memiliki jawaban. Kenapa ada orang yang akan memperebutkan istana kerajaan Soya? Apa yang diperebutkan? Atau siapa yang jadi dalangnya? Sedangkan Taw berpikiran lain, banyak hal yang ingin dia ceritakan kepada gurunya. Seperti kejadian digua beberapa minggu yang lalu. Atau kisah yang dia dengar dari pria gua itu apa maksudnya. Atau bertanya mengapa hanya dia yang mengalami sesuatu yang aneh secara berulang kali? Atau seperti mimpi ramalannya?
Gurunya menyatakan negeri mereka dalam krisis yang tidak pasti. Bahkan arti dari mimpi itu belum diberitahukan oleh gurunya. Banyak dari mereka pasti bertanya hal yang sama dengan yang lainnya. Tapi gurunya belum memberi tahu, apakah karena gurunya sendiri belum terlalu paham apa maksudnya? Atau apa hanya saja belum waktunya mereka diberitahukan hal itu? Entahlah yang pasti hanya waktu yang mampu menjawabnya.
Leman merasakan beban terberat setelah kejadian itu, selain hanya dia yang tahu banyak rahasia. Dia juga masih kecewa dengan ketidakmampuannya akan banyak hal. Padahal kekuatan yang dia miliki bukan kekuatan yang biasa saja. Dia mampu menggerakkan sesuatu dengan pikirannya. Atau mampu membaca pikirin orang dikehendakinya. Namun Leman memang belum pernah mencoba untuk membaca pikiran kesebelas temannya. Karena menurutnya hal itu pasti sangat tidak mengenakkan dirinya. Maksudnya, apa enaknya mengetahui apa yang dipikirkan temannya? Jika dia lakukan itu, dia percaya hidupnya akan terasa hampa dan membosankan. Tentu saja begitu.
Tapi perasaan mencekam saat dia tidak bisa berbuat apa-apa kepada teman dan sahabatnya itu jauh lebih menyakitkan dirinya. Dia merasakan sendiri bagaimana kekuatannya yang dia miliki bahkan tidak berguna. Untuk apa jadi sang pohon memberikannya kelebihan itu padanya? Leman masih positif terhadap pikirannya yang sudah kacau, dia hanya meyakini bahwa sesuatu tidak berjalan tanpa ada sesuatu hikmah dibaliknya atau sebuah makna yang mungkin membuatnya tetap berpegang teguh dengan kuat. Tetep saja fakta bahwa dia tidak mampu melakukan sesuatu terhadap Taw kemarin sangat menyebalkannya.
Leman pun jadi lebih sering sendiri diwaktu kosong, mencoba untuk menjadi lebih tenang atau mencoba memasuki pikirannya sendiri. Dia harus berlatih untuk menjadi lebih banyak berguna terhadap orang lain. Tapi dia tahu dia hanya seorang remaja yang menuju dewasa yang tidak tahu banyak apa-apa, tidak bisa banyak melakukan sesuatu yang berguna. Terkadang setelah kejadian itu, Leman memendam dan mengeluarkan air mata beberapa tetes. Entah kenapa dia meneteskan air mata dia bahkan bingung. Dia lebih sering mengunjungi menara tinggi dibagian selatan istana, sendirian, seolah mencari sesuatu yang ingin dia temukan.
Tapi malam ini Leman tidak mendapatkan apa-apa dari penyendiriannya itu. Yang dia lakukan hanya menggerakkan benda-benda. Atau mencoba membaca pikiran beberapa orang diluar istana. Dia menuruni anak tangga yang berputar itu, terkadang sesekali melihat keatas bertanya pada cahaya rembulan yang remang. Bulan yang sekarang sedang tidak penuh dan sedikit mencembung pada salah satu sisinya. Dia hanya berjalan pelan dan pelan sekali. Matanya hanya terfokus pada anak tangga itu. Sampai beberapa menit dia akhirnya memijak satu anak tangga terakhir, sesosok bayangan putih dari kejauhan berkilauan memantulkan cahaya rembulan. Leman memperhatikan dengan cermat, siapa itu? Belum pernah dia melihat seseorang di istana yang memakai pakaian seperti itu. Namun semakin dekat dan semakin dekat dia akhirnya menyadari itu adalah sosok gurunya sendiri. Namun dalam porsi pakaian yang berbeda dari sebelumnya.
Gurunya menghampiri Leman dengan cepat, merangkul tangan Leman, menariknya dengan cukup kuat. Leman yang tadi hanya memperhatikan sekarang hanya mengikuti gurunya itu, entah mau kemana. Mereka melewati jalan yang tidak pernah dilalui oleh Leman. Menuju keruang bawah tanah, lalu mereka berjalan dikoridor batu yang diterangi dengan cahaya api obor. Entah kenapa Leman tak pernah ingat bahwa tempat itu ada. Hingga akhirnya mereka tiba diujung koridor, jalan buntu. Tidak ada celah, hanya batu putih yang pucat yang memiliki corak bergambar disana. Gambar sebuah pohon tunggal yang dibawahnya terkesan sebuah gambar air beriak, tenang dan bergelombang. Sang oracle menjentikkan jarinya tiga kali kedinding itu dan menunjuk kearah gambar pohon, diseret ke bawahnya ketempat akar dan airnya bersentuhan dan melakukan gerakan jari berputar, mengelilingi riak gelombang gambar air itu hingga sampai diujung riak. Namun tidak terjadi apa-apa. Leman berharap sebuah pintu rahasia muncul atau terbuka. Namun tidak ada yang terjadi dengan dinding batu. Namun sesuatu dari dalam tanah bergetar semakin hebat. Lalu disamping belakang sebelah kanan Leman dindingnya runtuh. Terlihat sebuah tangga memutar naik. Mereka menapaki tangga itu dengan cepat, dan sebelumnya Leman mengambil obor yang berada didekatnya.
Mereka berada disebuah ruang terbuka, mereka bisa melihat langit penuh bintang dan rembulan yang mencembung tidak penuh. Namun yang menjadi titik perhatian Leman adalah sebuah kayu lembut yang berdiameter kira-kira 2 meter mengelilingi tempat itu dan sebuah meja batu besar persegi. Ditempat mereka berdiri, ditengah ada sebuah gambar pohon beriak air yang tadi mereka lihat sebelumnya, dikelilingi oleh kedua belas lingkaran kecil yang didalamnya memiliki lambang yang berbeda, ditengah lingkarannya terdapat sebuah bola kristal putih. Leman mulai mau bertanya-tanya kenapa mereka berada disini.
“Kenapa kita berada disini guru? Apa itu?” tanya Leman sambil menunjuk kearah meja batu persegi dan sebuah kayu yang lembut.
“Kau tidak bisa menebaknya Lem?” Gurunya bertanya balik. “Itu adalah akar sang pohon. Tempat ini tidak terlihat dari luar, hanya dari dalam sini. Disekeliling ini terdapat mantra sihir yang tidak tertembus dan tidak terlihat. Itulah sebabnya kalian bahkan tidak bisa melihatnya bahkan dari menara tertinggi sekalipun. Ah meja itu bukan apa-apa”
“Lalu apa yang akan kita lakukan disini guru?” tanya Leman penasaran.
“Kau lihat kedua belas lambang itu? Apa itu menurutmu?” tanya gurunya.
Leman bimbang dan hanya menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak tahu guru.”
“Lambang-lambang itu masing-masing menandakan keberadaan kalian, kedua belas orang pilihan sang pohon. Itu kau lihat lambang burung itu, itu adalah lambang Canyol.” Lalu sang Oracle menunjuk satu persatu lambang itu. “Itu Keris, Suro, Xemen ... dan terakhir itu lambangmu”