"Pak, besok-besok janji deh, nggak lupa lagi bawa helm. Janji se janji-janjinya." Aku memohon.
"Halah, palsu! Dari wajahmu sudah keliatan suka menipu, manis di mulut lain di hati."
Kebangetan, dia bilang aku manis di mulut lain di hati. Kenapa dia jujur sekali.
"Pak Janji, pak! Tolong, saya pulang pake apa?"
"Ojek!" katanya dengan mata melotot.
Ia memanggil beberapa tukang becak untuk membantunya menaikan motor kesayanganku yang kreditnya belum lunas, ngenes kan!
"Pak tolong dong, jangan gitu." Aku menarik-narik ujung bajunya. Ia menoleh, melotot tanpa berkata apa-apa. Karena takut, aku melepaskannya.
Ia mencatat sesuatu dan memberikannya padaku. Setelah menjelaskan banyak hal ia berlalu, sebelumnya memberikan lembaran uang biru kepada beberapa tukang becak yang sudah membantu menaikkan motor ke mobilnya.
Gontai aku menyeberang ke bank setelah pak polisi itu pergi. Aku seharusnya bahagia, gaji yang kuketahui sudah UMR cukup menggembirakan, tapi malah sedih karena kena tilang. Selesai tarik uang aku menyetop becak untuk kembali ke kantor.
Sampai di kantor aku terlambat, sudah banyak orang melihat-lihat motor di dalam.
"Kemana aja?" tanya Mas Haris, atasanku.
"Kena tilang, Mas."
"Kok bisa? Nggak pake helm?" Aku mengangguk.
"Kebiasaan!" katanya menggeleng kan kepala, kemudian mengamit tanganku mengajak masuk.
Sampai di dalam sudah ada tiga orang menunggu.
"Sama anak ini ya, Pak! Baru pulang makan siang dia. Maaf lama." Mas Haris minta maaf. Ternyata dia meng-handle konsumen selama aku keluar.
"Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku semanis mungkin. Padahal hati dongkol motor kreditku kena tilang.
"Ini Mbak, saya udah inden motor beberapa hari yang lalu sama Mbak Lena. Katanya hari ini motor masuk."
'Asemmm, bukan pelangganku. Jadi terpaksa melayani dia dulu nih, padahal konsumen di belakang udah menunggu.' sungutku dalam hati.
"Coba telpon Mbak Lena aja dulu, Pak. Memang motor ada masuk hari ini. Cuma nggak tau pesenan bapak udah dipisahin belum sama dia."
"Sama Mbaknya aja deh. Lama sama Mbak Lena."
'Kalau mau sama saya kenapa nggak dari awal pesennya sama saya Ferguso?'
"Gimana, bisa Mbak?" tanyanya karena aku lama diam.
"Kalau persyaratan udah masuk sama Mbak Lena, maaf nggak bisa, Pak." Senyum terpaksa kutunjukkan, pura-pura sedih dan menyesal.
"Yahh, sama mbaknya aja deh, masak sih nggak bisa?" Konsumen ini memohon.
Aku hanya tersenyum samar, tiba-tiba hape Nokia tipe 3310 milikku berdering nyaring. Cepat aku mengambilnya dalam laci meja. Tertera nama Mas Haris di sana. Aku menoleh ke belakang, ke mejanya yang hanya terhalang kaca bening dengan ruanganku. Ia menatap, memperhatikan. Aku segera menekan tombol hijau dan merapatkannya ke telinga. "