Matahari bersinar terik tepat sembilan puluh derajat lurus ke bawah. Pukul 12 siang. Eben berdiri di tengah-tengah kerumunan orang lalu lalang. Dia tidak lagi mengenakan pakaian seragam seperti biasanya. Dia juga tidak lagi membawa ponselnya. Dia mengenakan kaos polos berwarna putih, celana putih, dan sepatu putih.
Kota itu tampak begitu ramah. Para pedagang dengan senyuman menawarkan barang dagangannya. Anak-anak mereka lepas berkejaran mengekor layangan jatuh. Eben mengikuti mereka berlari seperti masa kecilnya dulu. Dia juga pernah mengekor sebuah layangan jatuh bekas pertarungan sengit di angkasa beradu kelihaian dan kekuatan senar hingga salah satu dari layangan itu terputus. Eben mengenang kembali masa itu.
Anak-anak itu dengan riang berbelok ke arah gang sempit dengan mata tak pernah lepas mengintai arah layangan terbawa angin. Menari dengan lincah melewati kerumunan orang tanpa mendorong atau menabrak mereka. Tangan Eben ditarik oleh salah satu anak agar mampu mengikuti pergerakan mereka.
“Tunggu!”
Eben berusaha menghentikan mereka ketika tahu anak-anak itu akan menyebrang jalan dengan sembrono. Akan tetapi, anak-anak itu tidak menggubrisnya. Mereka tetap menerobos menyebrang jalan. Eben memalingkan mukanya dan matanya sontak memejam seketika. Tidak ada suara apapun. Malah sebaliknya suara anak-anak riang itu tetap terdengar. Perlahan Eben mengintip jalanan itu. Mobil, motor, bis dan truk berhenti, mempersilahkan anak-anak itu menyebrang tanpa adanya kata-kata caci maki. Eben menatap wajah mereka, para pengemudi melambaikan tangannya ke anak-anak dan anak-anak itu membungkuk berterima kasih. Pengemudi itu masih belum berjalan, mereka menatap Eben.
“Bukankah kau juga salah satu dari mereka?”
“Ya tentu.” Ujar Eben.
Pengemudi itu menelengken kepala diimbuhi senyuman ramah pada bibirnya mempersilahkan Eben untuk menyebrang. Eben mengangguk dan bergegas.
“Terima kasih.” Teriak Eben di ujung jalan dan pengemudi itu membunyikan klakson sebagai balasan.
Anak yang tadi menarik tangannya masih menunggu bersandar di tembok bangunan tua dengan beberapa cat terkelupas. Beberapa kali dia melambaikan tangan pada Eben agar dia segera menyusul. Eben segera menyetel kakinya agar melaju lebih cepat. Ketika sampai pada anak itu tangan Eben segera digenggam lagi dan ditariknya. Jarak mereka cukup jauh tapi entah mengapa jarak itu cepat sekali menjadi dekat. Eben kembali lagi melihat layangan. Senar layangan tergurai panjang sesekali terlihat berkilau terkena sinar matahari.
“Kalian harus menggapai senar itu!” Ajar Eben pada anak yang menggenggam tangannya dengan menunjuk ke langit di mana senar itu berkilauan. Anak itu mengangguk. Eben merasa adanya kesejukan dalam hatinya mendapat balasan senyuman dari anak kecil itu. Eben ikut tersenyum.
“Gapai senarnya!”
Anak-anak itu berlompatan berusaha menggapi senar yang terpontang-panting tak tertebak kemana arahnya. Layangan itu terbawa angin semakin menjauh dan terbang tinggi lagi. Angin membawanya ke arah sungai. Anak-anak riang kembali lagi membebek layangan ke jembatan. Mereka menyebrangi sungai. Sementara mereka masih mengejar layangan Eben terpukau dengan sungai itu. Airnya berwarna hijau toska bening, bebatuan dan ikan-ikan tampak dari atas meskipun terlihat sekali betapa dalamnya sungai itu. Ikan-ikannya tampak besar-besar.