“Kakak ini masih belum bisa makan ikan ini.” Terang Sang Kakek, sambil terus membelai janggut panjangnya yang putih layaknya Albus Dumbledore. Semoga dia tidak benar-benar Dumbledore, batinnya.
“Kenapa Kek?”
“Karena dia bukan dari sini!” sahut anak yang duduk di pangkuannya.
Eben masih belum mengerti alasan apa yang sebenarnya coba dikatakan oleh kakek itu.
“Siapa kau sebenarnya? Kenapa kau mengatur apa yang boleh dilakukan atau tidak boleh dilakukan anak ini!? Dan siapa kau mengaturku tidak bisa memakan ikan itu!?”
Kakek itu hanya membalas dengan senyuman ramah sekali lagi.
“Kalau begitu cobalah untuk menangkapnya.” Jawab Kakek dengan masih tersenyum sabar mendengar kata-kata kurang sopan Eben.
Eben juga tidak ingin mencobanya, melihat betapa besarnya ikan itu bisa saja dia yang dilahap.
“Dah, sekarang kalian pulang dan bersihkan diri kalian!” perintah Kakek Dumbledore. Anak-anak mengambil kembali layangan yang tergantung pada ranting pohon oak, memakai kembali baju mereka dan pergi, sementara Eben masih bingung haruskah dia membuktikan pada kakek itu untuk menangkap ikan Magnus yang berenang bebas di depannya menggoda.
Setelah beberapa detik berkontemplasi. Eben memutuskan untuk mengikuti anak-anak itu pergi, namun ketika dia hendak beranjak kakek itu menahan bahu Eben.
“Kau ikut aku, biarkan mereka kembali.”
Eben hanya mengiyakan saja, seperti tidak ada penolakan yang layak untuk dilontarkan padanya. Kakek (mirip) Dumbledore mengajaknya ke sebuah kafe bernuansa alam di dalamnya terdapat akar yang telah merambat di dindingnya, beberapa tembok tampak retak dan catnya terkelupas. Entah mengapa bukan terlihat tak terawat tapi malah memberikan kesan estetik tersendiri bagi Eben. Meja dan kursinya tampak seperti lekat dengan tanah, seperti tumbuh dari tanah di bawahnya.
Aneh dan indah. Itulah yang ada di pikiran Eben saat ini.
Kakek Dumbledore memesan.
“Potus Sanctium satu.” Pelayan itu menulisnya dan segera pergi.
“Satu?”
“Yap.”
“Kau tidak minum?” Tanya Eben heran.
“Bukan untukmu tapi untukku.” Tampak wajah kesal terukir di kening Eben yang mengkerut.
Tak lama minuman itu datang, warnanya kuning keemasan dan bercahaya. Eben mengucek matanya beberapa kali memastikan apa yang ada di hadapannya benar-benar nyata. Kakek Dumbledore meneguk minumannya. Wanginya menyusup ke hidung Eben.
“Minyak kayu putih?”