“Mama kok nggak pernah nyuruh aku nikah, sih?” tanya Kalingga kepada sang mama yang sedang sibuk dengan tanaman hiasnya di teras.
“Orang tuh kalo baru pulang assalamualaikum dulu kek, nanya kabar mamanya dulu kek. Ini malah langsung ditodong pertanyaan kayak gitu,” tegur sang mama. Kalingga hanya meringis tak karuan mendengar teguran mamanya. Pikirannya sedang kusut karena perdebatannya dengan Anin tadi.
“Kenapa kamu tiba-tiba nanya begitu? Emang kamu mau nikah?” Mama akhirnya mengalihkan pandangannya dari bonsai yang sejak tadi sedang dirawatnya dan berjalan perlahan menghampiri putra semata wayangnya.
“Bukan begitu sih. Aku penasaran aja, abis tadi di kantor lagi pada curhat masalah pernikahan. Rata-rata mereka udah pada disuruh nikah sama orang tuanya, padahal beberapa usianya masih di bawah aku loh,” jelas Kalingga setelah ia mencium tangan mamanya.
“Sekarang Mama yang balik nanya sama kamu. Emangnya kamu udah siap buat nikah?”
Kalingga hanya menggaruk belakang kepalanya yang sama sekali tak gatal saat mendengar pertanyaan sang mama.
“Tuh kan! Kamu tuh masih kecil, Dek. Masih suka main-main. Mama maunya kamu tuh belajar untuk jadi dewasa dulu pelan-pelan. Baru nikah.” Sang mama menasihati Kalingga sambil kembali sibuk memangkas daun-daun kuning pada bonsainya. Kalingga tersenyum sumringah saat mendengar ucapan mamanya. Memang sang mama sangat mengerti dirinya.
“Kamu tumben deh, mikirin hal beginian. Biasanya omongan kayak begini nggak pernah kamu pedulikan?” Ada nada khawatir di suara sang mama.
“Hehehe, biasalah Ma. Overthinking,” kata Kalingga sambil membuka sepatunya dan bergegas masuk.
“Overthinking, ovethinking. Nanti migrain tau rasa kamu,” omel sang mama yang hanya ditanggapi dengan senyuman geli oleh Kalingga.
---
Kalingga merebahkan dirinya ke ranjang lalu mulai membuka kancing-kancing kemejanya dan membiarkan hembusan angin dingin dari AC menerpa tubuhnya yang gerah. Ia berusaha untuk rileks tapi tak bisa, pikirannya masih dipenuhi dengan perdebatannya tadi.
Ia merogoh kantung celananya untuk mengambil ponselnya. Jemarinya dengan cepat membuka aplikasi chat dan menggeser layarnya untuk mencari nama kontak yang ingin ia ajak bicara.
“Ra, sibuk nggak? Boleh telepon?” Kalingga mengetik pesan tersebut untuk dikirimkan kepada kontaknya yang bernama Hara.
Butuh dua menit sampai centang dua dari pesan yang dikirimkannya itu berubah menjadi biru dan butuh satu menit lagi sampai akhirnya Hara membalas singkat pesan Kalingga dengan tulisan,
“Telepon aja sekarang.”
Kalingga segera mengusap tombol panggil ketika membaca balasan dari Hara. Pada deringan ketiga akhirnya Hara mengangkat teleponnya.
“Kenapa lo?” tanya Hara tanpa basa-basi.
“Hehe,” sahut Kalingga asal.
“Nggak usah haha hehe, cepet cerita ada masalah apa?” Hara sudah mafhum benar akan gelagat sahabatnya itu. Kapanpun Kalingga bertanya apakah ia bersedia ditelepon, Kalingga pasti akan curhat panjang lebar pada akhirnya.
“Ra, curhat dong.” Kalingga melagukan kata-katanya persis seperti pembawa acara tausyiah ternama di televisi.
“Hmmm. Sok, mangga.” Hara mempersilakan.
“Ra, lo kan deket banget ya sama kakak lo. Kira-kira lo tau nggak sih apa yang membuat Bang Guntur pada akhirnya memberanikan diri untuk ngelamar Mba Wulan?” tanya Kalingga dengan hati-hati, ia takut pertanyaan yang cukup personal ini akan menyinggung Hara.
“Jujur ya, Min. Bang Guntur tuh takut ditikung sama Bang Adit, makanya dia buru-buru lamar Mba Wulan, hahaha.”
“Oooh, gitu toh.”
“Kenapa lo tiba-tiba nanya gitu deh?” tanya Hara penasaran.
“Tadi Anin desak gue, Ra. Nanyain kapan gue bakal lamar dia.”
“Oh, kayaknya gue tau nih arahnya kemana. Lo masih gantungin Anin kan?” tebak Hara.
“Sebenernya nggak gantungin sih, Ra. Gue cuma bilang belom siap aja untuk ke jenjang itu.”
“Yah buat cewek itu artinya digantungin, Lingga. Cewek tuh butuh kepastian. Apalagi lo udah lama pacaran sama Anin. Wajarlah dia nanya hal itu,” terang Hara dengan bijaksana.
Kalingga diam saja. Sepertinya ia membuat keputusan yang salah dengan curhat kepada Hara. Anin dan Hara adalah perempuan, tentu mereka sangat mengerti satu sama lain sehingga pasti Hara memihak Anin.
“Lo sebenernya serius nggak sih sama Anin?”
“Seriuslah gila, kalo nggak serius mana mungkin gue pertahanin selama tujuh tahun,” timpal Kalingga.
“Ya udah kalo emang serius ganjelannya apa coba? Kenapa lo masih gantungin Anin?”
“Gue…… masih belom……..”