“Emang nggak bisa Senin pagi aja, Jan? Harus banget nih weekend gini kita ke kantor?” keluh Kalingga saat berbicara di telepon.
“Iya sih gue tau, ya udah lo berangkat deh. Bentar lagi gue nyusul.” Kalingga memutus sambungan telepon dan langsung mengambil hoodie yang tergantung di balik pintu kamarnya. Ia mengenakan hoodie itu sambil berjalan menuruni tangga.
“Mau jalan sama Anin?” tanya sang mama saat melihat anak semata wayangnya berpakaian rapi di hari Sabtu siang.
“Ah, enggak, Ma. Ini barusan Fauzan nelepon, disuruh ke kantor sebentar minta bantuin set up perangkat baru. Hari Senin nanti mau ada karyawan baru soalnya,” jelas Kalingga.
“Kok nggak Senin aja?”
“Biasalah, Ma. Permintaan dari Bu Mina. Katanya biar hari Senin orang baru itu bisa langsung ikut kerja. Tau sendiri kan Bu Mina orangnya efisien banget kalo soal waktu.”
“Ya udah kalo gitu, nanti langsung pulang apa mau malem mingguan dulu sama Anin?” tanya sang mama yang sudah hafal akan agenda mingguan anaknya.
“Hmm, belum tau sih, Ma. Nanti aku kabarin ya,” kata Kalingga sambil berpamitan kepada mamanya.
Seakan tahu bahwa namanya sudah dua kali disebut oleh mama sang pacar, ponsel Kalingga berdering dan nama Anin yang diawali dan diakhiri dengan emotikon love terpampang di layarnya.
“Hai, An,” sapa Kalingga dengan ramah.
“Hallo, Ling. Sibuk nggak?” tanya Anin juga dengan riang.
“Sebenernya aku mau ke kantor, tapi itu bisa nunggu kok. Ada apa, An?”
“Kok tumben? Mau ngapain?”
“Mau set up perangkat PC untuk anak baru. Sebentar doang sih, aku berdua sama Ojan kok ngerjainnya.”
‘‘Ooh ya udah kalo gitu. Kamu ke kantor aja dulu. Nanti kalo udah selesai kabarin ya, aku mau ketemu sama kamu. Mau bicarain sesuatu,” kata Anin.
“Oh oke. Tempat biasa?”
“Iya. Ya udah hati-hati ya. See you.”
“See you, babe.”
Begitu sambungan telepon terputus benak Kalingga langsung mengembara. Kira-kira apa yang ingin dibicarakan oleh Anin, ya?
---
Tak butuh waktu lama bagi Kalingga dan Fauzan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Bu Mina. Mereka hanya perlu menginstall beberapa aplikasi dan menyambung beberapa kabel di PC yang baru dibeli Fauzan beberapa jam yang lalu. Satu jam kemudian Kalingga sudah menginjakkan kakinya di mall tempat ia dan Anin janjian. Dengan tergesa ia menyusuri eskalator yang bergerak lambat demi tiba di restoran favoritnya sebelum Anin sampai duluan. Ia tak ingin membuat gadis itu menunggu walaupun waktu janjian mereka masih ada setengah jam lagi.
“Surprise-in Anin pake dessert yang banyak ah, sebagai bentuk permintaan maaf atas perdebatan seminggu yang lalu,” batin Kalingga sambil senyam-senyum semringah. Sudah seminggu sejak perdebatan mereka soal pernikahan. Mereka memang sama-sama tak pernah mengungkitnya kembali, tapi entah kenapa situasi jadi sedikit berbeda sejak saat itu. Kalingga merasa sepertinya ia harus meminta maaf secara resmi kepada Anin.
Namun rencana kejutan kecil Kalingga ternyata harus gagal ketika ia melihat bahwa Anin sudah duduk manis di meja yang menjadi favoritnya. Ia tersenyum tipis saat melihat kehadiran sosok Kalingga.
“Aku nggak telat kan?” tanya Kalingga dengan takut-takut sambil melihat jam tangannya.
“Haha, nggak kok. Akunya aja yang kecepetan. Aku tuh udah dari jam dua belas di mall ini, nganterin Mbak Rosa. Langsung aja deh aku ke sini,” terang Anin.
“Terus Mbak Rosanya kemana?” Mata Kalingga seketika mencari sosok kakak sulung Anin itu kesana-kemari.
“Udah dijemput sama Mas Wahyu.”
“Oooh pantes. Ya udah kita pesan yuk,” kata Kalingga sambil membuka buku menu.
Perasaan Kalingga sedikit lega. Saat di perjalanan menuju mall ia terus merasa gelisah, memikirkan berbagai kemungkinan hal yang ingin dibicarakan oleh Anin. Ia takut Anin masih akan membahas perdebatannya minggu lalu. Tapi setelah melihat Anin yang jauh lebih ceria saat ini, entah kenapa perasaannya jadi lebih lega.
Mungkin bukan hal yang serius, pikir Kalingga.
Mereka membuka obrolan dengan membahas Freya, rekan kerja Anin yang secara mendadak mengundurkan dirinya minggu lalu tanpa bercerita apa-apa kepada Anin. Walaupun Anin dan Freya sering tak akur, tetap saja Anin merasa sedikit kehilangan.
“Kamu nggak punya temen berantem lagi dong,” ledek Kalingga.
“Iya nih. Walaupun Freya sering nyebelin, tapi dia yang paling enak kalo diajak ketemu klien baru. Dia kan orangnya SKSD ya, jadi gampang aja gitu kita presentasinya,” sahut Anin dengan nada sedikit menyesal.
“Kamu mau ngomongin apa, An?” tanya Kalingga ketika topik mengenai Freya tak lagi menarik untuk dibahas.
“Makan dulu aja ya, nanti baru aku ngomong,” balas Anin saat melihat seorang pramusaji menghampiri mereka dengan membawa beberapa hidangan.
Pikiran Kalingga kembali berkecamuk. Tak biasanya Anin seperti ini. Hari ini Anin terkesan seperti mengulur-ulur waktu. Padahal biasanya apapun topik pembicarannya, mereka akan langsung membicarakannya tanpa menunggu apa-apa.
Seserius apakah pembicaraan ini nantinya sampai-sampai tidak bisa dilakukan sambil mereka menyantap makanan seperti biasanya? Batin Kalingga.
Ada perubahan gelagat Anin yang ditangkap oleh mata Kalingga sepanjang mereka asyik menyantap makanan. Anin terlihat beberapa kali menghela napas panjang dan berusaha menghindari kontak mata dengan Kalingga. Ia juga menyantap makanannya dengan lambat seakan tak rela makanannya akan habis. Selain itu, air mukanya juga berubah. Tak ceria seperti tadi. Perlahan wajahnya muram.
Ada sesuatu, pikir Kalingga.
“So … ?” ucap Kalingga setelah makanan di piringnya tandas. Sementara Anin, walaupun masih menyisakan sedikit makanan di piringnya tapi ia sama sekali tidak berniat menghabiskannya. Ia sudah berhenti menyentuh alat makannya sejak sepuluh menit yang lalu dan malah asyik memperhatikan pengunjung-pengunjung lain yang sedang asyik menyantap hidangan mereka.
“So …” Anin mengulang kata yang baru saja diucapkan kekasihnya. Ia memusatkan perhatiannya pada Kalingga yang sedang menunggu kelanjutan kalimatnya dengan cemas. Hidung mungil Anin kembang kempis, terlihat jelas bahwa ia sedang berusaha keras mengatur aliran udara yang memasuki rongga pernapasannya.
Anin meraih tangan Kalingga dan menautkan jari jemarinya di sana, yang langsung dibalas dengan usapan dari tangan Kalingga yang satunya.
“Kamu inget nggak sama Ian?” tanya Anin dengan hati-hati.
“Ian? Ian Mahesa? Senior kamu di kampus yang juga temen kamu dari kecil itu? Inget kok. Eh, emang dia udah balik dari Durham?” balas Kalingga dengan antusias. Kalingga memang cukup mengenal sosok yang sedang dibicarakan oleh Anin.
“Udah. Ternyata dia udah sebulan yang lalu balik dari Durham. Aku tau dari Bapak.”
“Terus gimana? Dia bakal nerusin S2 di sana apa langsung mengabdi di Indonesia?” Kalingga masih terdengar sangat antusias.
“Nah itu. Dia masih bingung. Banyak yang dipertimbangkan katanya,” ucap Anin datar.
“Yah wajar sih kalo dia bimbang. Pasti benefitnya kan jauh banget, kalo aku jadi dia sih pasti juga bakalan bingung. Soalnya kan ….” Kalingga tak menyelesaikan kalimatnya karena tiba-tiba Anin menggenggam tangannya dengan begitu kuat. Seakan-akan Anin sedang meminta perhatiannya dengan penuh.