“Kayaknya mama nggak pesen ini deh. Terus ini juga buat apa?” tanya sang mama heran sambil mengeluarkan sekantung bawang bombay dan sebungkus selada segar dari tas belanjaan. Masih banyak barang lain yang tidak dipesan sang mama ketika seluruh isi tas belanja dikeluarkan.
“Mama kan cuma titip minyak zaitun sama tepung roti aja, Dek,” terang sang mama yang ditanggapi dengan linglung oleh Kalingga.
“Oh, iya ya? Ya udah ga apa-apa sisanya taro kulkas aja.” Kalingga menjatuhkan dirinya dengan asal ke atas sofa yang ada di ruang tamu. Sepatunya bahkan belum dilepas. Sang mama heran melihat tingkah laku bujang semata wayangnya ini.
“Kamu kenapa sih? Kok lesu banget. Kamu sakit?” Sang mama yang sejak tadi sibuk memilah barang belanjaan bergegas menghampiri Kalingga yang tertelungkup lesu di sofa. Wajah sang mama terlihat khawatir, tangannya sibuk meraba dahi anaknya; memeriksa kalau-kalau dia demam.
Kalingga bangkit dan mengisyaratkan mamanya untuk turut duduk bersamanya di sofa. Saat sang mama duduk, Kalingga langsung bergelung di pangkuannya. Sang mama yang memahami anaknya sedang gelisah langsung membelai-belai rambutnya dengan lembut.
“Kamu kenapa sih, Dek? Nggak biasanya deh kayak gini,” tanya mama dengan sabar. Kalingga tak langsung menjawabnya. Ia sedang berusaha menghayati belaian demi belaian yang diberikan sang mama. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali ia merasa disayang seperti ini.
“Mulai sekarang …. Mama nggak usah nanya-nanya soal Anin lagi ya,” ucap Kalingga. Sang mama terkejut mendengarnya.
“Loh kenapa?” tanya sang mama sambil mengangkat wajah anaknya. Kalingga hanya menggelengkan kepalanya.
“Kalian berantem?” selidik sang mama. Lagi-lagi Kalingga menggelengkan kepalanya diiringi senyuman getir.
“Worse,” ucap Kalingga pelan sambil menatap wajah mamanya. Sang mama berpikir beberapa detik sebelum akhirnya sampai pada satu kesimpulan.
“Putus?” tanya sang mama dengan sangat hati-hati. Kalingga mengangguk pelan.
“Kok bisa?” tanya mama setengah tak percaya. Kalingga hanya mengangkat bahunya. Ia enggan menjelaskan. Sang mama menghela napasnya, menatap prihatin putranya sebelum akhirnya ia memeluknya.
“Ya ampun, Dek. Mama nggak nyangka loh. Nggak bisa diomongin baik-baik dulu?” Kalingga lagi-lagi menggeleng. Sang mama masih membelai-belai rambut anaknya. Sebagai seorang ibu, ia turut merasakan kepedihan hati yang dirasakan oleh anaknya.
“Jangan bilang ini berkaitan sama masalah kemaren?” Lagi-lagi sang mama berusaha menyelidiki.
“Masalah yang mana?” Kalingga malah bertanya balik.
“Soal nikah itu.”
“Oh.” Entah kenapa Kalingga merasa berat sekali menjawab pertanyaan mama. Ia takut tanggapan mama tak sesuai dengan harapannya.
“Iya, kan?”
Memang tak ada yang bisa luput dari perhatian mama, ya, batin Kalingga.
Kalingga akhirnya mengangguk pelan. Wajahnya tampak sedih. “Rupanya aku pengecut.”
“Mau cerita detailnya sama mama nggak?”
Kalingga menceritakan semuanya. Tentang perdebatannya dengan Anin tempo hari. Tentang kegelisahannya. Tentang ketidaksiapan dirinya. Tentang ultimatum dari keluarga Anin yang mengakibatkan berakhirnya hubungan mereka. Tentang betapa kesalnya Kalingga terhadap dirinya yang tak berani memperjuangkan Anin lebih jauh. Tentang dirinya yang entah kenapa mudah sekali menyerah.
“Aku salah ya, Ma?” tanya Kalingga setelah mengakhiri ceritanya.
Sang mama menatap Kalingga dengan sungguh-sungguh seraya berkata, “salah. Tapi akan lebih salah lagi kalo kamu memaksakan diri di saat diri kamu belum siap, Dek.”
“Mama nggak marah sama aku?”
“Mama akan lebih marah lagi kalo kamu memaksakan diri terus pada akhirnya malah ngecewain atau nyakitin anak orang. Dosa, Dek,” tegas sang mama.
“Sekarang juga udah nyakitin anak orang sih, Ma. Tujuh tahun buat cewek kan bukan waktu yang sebentar,” ucap Kalingga penuh sesal.
“Iya. Kamu nih, seharusnya kalo udah nggak ada rasa tuh diakhiri aja. Lama-lama pacaran akhirnya kayak begini, kamu tuh udah ngecewain hati banyak orang, Dek,” timpal sang mama sedikit kesal.
Kalingga yang sudah bisa memahami semua kesalahannya hanya bisa menerima omelan sang mama dengan penuh sesal. Nasi sudah menjadi bubur. Berkat ketidakbecusannya dalam memahami perasaan, kini ia harus merasakan patah hati yang begitu mendalam.
“Kalo emang udah nggak bisa diperbaiki lagi, kamu harus relakan, Dek. Jangan nyesel atau sedih berlarut-larut. Ini pelajaran besar buat kamu. Kayak yang mama bilang tempo hari, kamu tuh masih harus banyak belajar. Banyaaaaaak banget,” sang mama menasihati panjang lebar.
“Iya, Ma.”
“Kamu dan Anin bukan jodoh. Jangan khawatir, nanti pasti akan ketemu kok sama jodohnya, Dek. Lagi pula …. “
“Lagi pula apa, Ma?” tanya Kalingga penasaran.
“Lagi pula mama selalu berpikir kalo kamu tuh bisa dapet yang lebih baik dari pada Anin. Bukan berarti mama nggak suka sama Anin, ya. Mama suka kok sama Anin. Mama sayang sama Anin, hanya saja ….“ Lagi-lagi mama menggantung kalimatnya.
“Hanya saja sejujurnya kadang mama ngeliat kalo kamu dan Anin itu nggak sparks of joy,” sambung sang mama dengan penuh teka-teki. Kalingga mengerutkan keningnya lantaran tak memahami ucapan sang mama.
“Sparks of joy? Mama ngomong apaan sih?”
“Yah pokoknya begitu deh, nanti kalo ketemu sama orang yang tepat kamu bakal ngerti,” sahut sang mama sambil menepuk-nepuk pipi Kalingga.
Kalingga masih terheran-heran dengan ucapan sang mama yang menurutnya tak masuk akal.
“Udah nggak usah dipikirin lagi. Nanti kamu migrain loh, kamu kan nggak boleh kebanyakan pikiran. Solat dulu gih sana biar hatinya tenang,” saran sang mama.
Kalingga bangkit, ia menghela napasnya dalam-dalam sebelum akhirnya mencium pipi sang mama sambil berkata, “makasih ya, Ma udah ngertiin aku.” Sang mama hanya membalasnya dengan belaian lembut.
Kalingga mulai mengambil barang-barangnya dan bergegas ke kamarnya. Rasanya ia ingin buru-buru mandi dan mengguyur seluruh tubuhnya dengan air demi mendinginkan pikiran, hati dan matanya yang mulai terasa panas.
---
“Nangis pas abis solat itu emang another level of pain ya, Ra.” Kalingga mengetik kalimat itu yang kemudian dikirimkannya kepada Hara.