Cause if one day you wake up and find that you’re missing me
And you’re heart starts to wonder where on this earth I could be
Thinking maybe you come back here to the place that we meet
To see me waiting for you on the corner of the street
So I’m not moving
I’m not moving …
Hari belum bergulir setengahnya tetapi Freya sudah tiga kali melantunkan reff lagu The Man Who Can’t Be Moved milik The Script. Ia sengaja melantunkan lagu itu keras-keras dengan suara sopran yang nadanya melenceng kemana-mana; Fauzan hanya geleng-geleng kepala sementara Kalingga menatap Freya dengan sangat sinis. Freya sama sekali tak menyadari bahwa dirinya tengah menjadi pusat perhatian kedua rekan kerjanya – atau mungkin dia menyadari tapi lebih memilih untuk tidak peduli – ia menyelesaikan lagunya dengan ekspresi yang begitu riang, sangat berlawanan dengan makna lagunya.
“Polusi suara tau nggak sih?!” protes Kalingga sambil melemparkan tutup pulpen ke arah meja Freya yang sekarang sedang bersenandung asal sambil membaca beberapa draft tulisan. Tutup pulpen itu mendarat tepat di atas keyboard Freya, ia mengalihkan pandangannya kepada Kalingga yang nampak begitu kesal. Freya bangkit dari kursinya, meraih mug bergambar Totoro dan mulai berjalan. Ia membalas tatapan sinis Kalingga dengan wajah meledek yang membuat ekspresi Kalingga semakin kesal.
“AND MAYBE I’LL GET FAMOUS AS THE MAN WHO CAN’T BE MOVED …. “ Freya melengang ke pantry sambil menyanyikan lirik lagu yang sengaja ia tujukan untuk Kalingga.
“Dasar cewek sinting.” Kalingga melampiaskan kekesalannya terhadap Freya kepada tombol enter di keyboardnya.
---
Banyak yang bilang bahwa periode patah hati antara perempuan dan laki-laki itu berbeda. Perempuan, ketika baru patah hati maka mereka langsung akan merasakan kegalauan yang luar biasa, bahkan bisa sampai menangis selama berhari-hari. Tapi seiring dengan berjalannya waktu – perlahan tapi pasti – mereka akan pulih. Mereka berhenti menangis; mereka berusaha melupakan dan mencari cara untuk menutup luka di hatinya.
Laki-laki, ketika baru patah hati mereka langsung akan merasakan kegalauan yang luar biasa, akan tetapi terkadang ego lelaki yang cukup tinggi itu bisa mengalahkan rasa galau di hati mereka. Sehingga mereka kadang terlihat baik-baik saja walaupun baru patah hati – padahal sebenarnya tidak – ini semua karena ego dan harga diri. Barulah setelah beberapa waktu mereka perlahan menyadari seperti apa rasanya kehilangan. Biasanya, ketika si perempuan sudah bisa move on, si laki-laki justru baru berada di fase galau-galaunya.
Memang, itu hanya omongan orang kebanyakan. Bukan sesuatu hal yang mutlak terjadi. Tetapi itulah yang saat ini dirasakan oleh Kalingga.
Tiga bulan setelah dirinya dan Anin putus, entah kenapa baru kali ini ia benar-benar merasakan kehilangan sekaligus kerinduan yang amat mendalam terhadap sang mantan kekasih. Mungkin karena beberapa hari ini wajah Anin mulai sering muncul kembali di timeline Instagramnya. Anin bukan tipe perempuan narsis yang gemar membagikan kegiatan personalnya di laman sosial media, sebaliknya Anin tergolong cukup tertutup. Biasanya, postingan Instagramnya tak jauh dari foto makanan, foto buku yang sedang ia baca, kutipan-kutipan dari Pinterest, atau foto-foto pemandangan yang ia ambil secara candid.
Tapi kali ini, wajahnya beberapa kali menghiasi feed atau story Instagramnya. Kadang sendiri, kadang bersama dengan teman-temannya, bahkan ada satu postingannya yang cukup menimbulkan pertanyaan bagi Kalingga; yaitu sebuah postingan di mana Anin tengah duduk sendiri di sebuah kafe. Yang menarik perhatian Kalingga adalah bahwa walaupun postingan itu hanya menampilkan potret Anin sendirian, di meja yang ada di hadapan Anin terdapat beberapa barang yang entah kenapa Kalingga yakin milik seorang laki-laki; sebuah dompet yang memiliki model khas laki-laki, sebuah kunci mobil kulit, dan sekotak rokok keluaran impor – yang Kalingga ketahui setelah memperbesar gambar itu berkali-kali – di foto itu Anin terlihat sangat bahagia.
Sejak saat itu, Kalingga mulai melihat wajah Anin di mana-mana. Di jalanan, di dalam kereta, di kantornya. Sungguh tak masuk akal, padahal kemarin-kemarin ia baik-baik saja. Ia hanya merasakan galau selama satu minggu, ia tak sempat galau berlarut-larut karena sibuk. Sibuk dengan pekerjaannya dan sibuk meladeni sikap menyebalkan Freya. Hati kecil Kalingga mengatakan bahwa Anin sudah bisa berpaling dan menemukan tambatan hati lain. Seharusnya Kalingga merasa senang. Ia memang senang, tapi di saat yang sama ia juga merasa sedih; yang kemudian membangkitkan rasa sesalnya.
Karena menyesal, Kalingga jadi kesal. Kesal karena selalu ada saja kejadian di kesehariannya yang mengingatkannya kepada Anin. Entah mengingatkannya akan kenangan yang berkesan atau mungkin mengingatkannya akan hal-hal random yang Anin biasa lakukan. Misalnya, gerakan-gerakan lucu yang Anin buat saat ia sedang menikmati makanan yang lezat; atau kebiasaan Anin yang selalu menarik pintu yang bertuliskan “dorong”; yang paling konyol, entah kenapa Kalingga merasa bahwa ia bisa melihat Anin tengah menelusuri lorong-lorong supermarket kala ia menemani sang mama belanja bulanan. Kalingga masih hapal benar bagaimana cara Anin memilah buah dan sayur segar, kebiasannya untuk tak pernah mengambil barang apapun yang letaknya paling depan atau gerak-gerik saat Anin berusaha meraih barang dari tempat yang tinggi. Tangannya akan terulur tinggi-tinggi dan kakinya akan berjingkat semaksimal mungkin sampai kadang ia akan kehilangan keseimbangan. Dan Kalingga akan selalu ada di sana untuk menangkapnya kala ia terjatuh.
“Nggak, nggak. Lupain. Lupain. Kisah kalian udah usai, ga perlu diingat-ingat lagi,” nasihat Kalingga kepada dirinya sendiri. Kalingga bangkit dari kursinya dan berjalan menuju ke kamar mandi. Ia perlu membasuh wajahnya supaya bisa lebih segar dan berharap bisa kembali berkonsentrasi dengan pekerjaannya. Ketika melewati pantry, Kalingga melihat Freya yang sedang asyik mengaduk sesuatu di dalam mugnya, sambil lagi-lagi memperlihatkan wajah meledeknya kepada Kalingga.
“Cih,” gerutu Kalingga kesal. Apa yang diduga Kalingga sejak awal terhadap Freya akhirnya terbukti. Freya benar-benar membuat proses move on Kalingga terhadap Anin menjadi lebih sulit karena gadis itu tak pernah melewatkan satu kesempatan pun untuk meledek Kalingga.
---
Kalingga sedang asyik bercakap-cakap dengan seorang temannya di lobby ketika Freya datang dari belakangnya dengan terburu-buru kemudian menggerutu, “yaaaah kok dicancel sih. Nyebelin banget.”
Kalingga yang menyadari keberadaan Freya langsung mengambil jarak dari gadis itu, ia tak ingin dekat-dekat dengan Freya yang saat ini sedang berusaha memesan ulang ojek online dengan tampang kesal. Freya menunggu di lobby dengan tak sabar, ia menghentak-hentakkan kakinya ke lantai sambil memperhatikan ponsel dan gerbang depan kantor secara bergantian. Lima menit ia menunggu, masih belum ada ojek online yang bersedia mengantarnya. Sepuluh menit. Lima belas menit……
“Yang bener aja! Cewek yang baru turun tadi aja langsung dapet, kok gue ga dapet-dapet sih? Deket padahal cuma ke stasiun!” Freya menggerutu kesal.
“Lo banyak dosa sih, Fey. Makanya susah dapet ojek,” ledek Kalingga. Rupanya teman yang sejak tadi diajaknya mengobrol sudah pulang. “Heh, kasian.” Kalingga mencemooh Freya dengan nada sok.
“Lo naik MRT kan, Fey? Kenapa nggak jalan aja sih? Deket gitu juga,” saran Kalingga.
“Capek. Panas,” balas Freya singkat, sama sekali tak melirik Kalingga yang kini berada tepat di sampingnya.
“Lo bawa motor dong, Ling! Kita kan rumahnya searah, jadi gue bisa nebeng,” kata Freya sedikit tak tahu diri, membuat Kalingga jadi kesal.
“Idih, ogah amat gue bawa motor cuma untuk lo tebengin. Gak sudi!” tegas Kalingga.
“Kan lebih irit, Ling, kalo bawa kendaraan sendiri. Gue kalo sanggup motoran jauh juga udah pasti milih bawa motor lah dari pada harus naik MRT tiap hari,” ujar Freya sok tahu.
“Kata siapa? Sama aja kok, malah enak kalo naik MRT gak usah capek macet-macetan,” bela Kalingga. “Masih belom dapet juga?”
Freya menggeleng dengan wajah cemberut. Kalingga turut merasa heran, seharusnya ojek online bisa Freya dapatkan dengan mudah karena tak jauh dari kantornya ada shelter khusus ojek online. Aneh sekali jika tak ada satupun ojek yang mengambil orderan Freya, padahal jarak antara kantornya dengan stasiun MRT yang dituju Freya sangatlah dekat jika ditempuh menggunakan motor. Jika dilihat dari sisi benefit, para pengemudi ojek online inilah yang diuntungkan dengan orderan jarak dekat seperti ini.
“Mungkin ini beneran cara alam semesta membalas sikap Freya yang menyebalkan,” ledek Kalingga dalam hatinya.
“Ya udah! Jalan aja sama gue yuk pelan-pelan. Gue kan juga ke stasiun yang sama kayak lo. Jalan dua kilometer kalo adal temen ngobrol mah nggak bakal berasa. Panas matahari sore juga nggak terlalu terik kok, Fey,” tawar Kalingga dengan tulus. Lama-lama ia merasa kasihan dengan gadis itu, seharusnya Freya sudah berada di MRT sejak tadi.
“Nggak mau. Panas, capek!” Freya menolak mentah-mentah ajakan Kalingga. Ia masih belum putus asa. Biarlah kalau tak dapat ojek ia akan naik taksi saja.
“Manja banget sih lo jadi perempuan,” keluh Kalingga. Tak lama kemudian, Fauzan yang sejak tadi sedang asyik minum kopi di depan gerbang menghampiri Kalingga dan Freya.
“Loh belum pulang?” seru Fauzan.
“Nih, tuan putri belom dapet kereta kencana,” ledek Kalingga. Freya langsung melempar tatapan sinis.
“Mau gue anter?” tawar Fauzan yang langsung dijawab Freya dengan anggukan antusias.
“Ikut gue ke parkiran bawah tapi ya,” ujar Fauzan.
“Beres. Yang penting gue dapet tumpangan,” seru Freya.
“Ya udah, ayo. Balik ya, Ga. Hati-hati di jalan.” Fauzan pamit lalu berjalan menuju parkiran diikuti oleh Freya yang sedang tersenyum penuh kemenangan.
“Jan, kalo Freya rese lo turunin aja di tengah jalan!” teriak Kalingga yang hanya dijawab acungan jempol oleh Fauzan.
---
“Dari tadi kek, Jan! Gue udah hampir lumutan tau nggak sih nungguin ojek!” seru Freya, lagi-lagi terkesan tak tahu diri. Sudahlah diberi tumpangan, sekarang ia malah memprotes orang yang memberinya tumpangan.
“Yeh enak di elo gak enak di gue. Lo dapet tumpangan, gue kudu muter-muter,” protes Fauzan.
“Lah terus ini kenapa tiba-tiba mau nganterin gue kalo tau ngerepotin lo?”
“Ada yang mau gue omongin ke elo, penting.” Fauzan menegaskan kata penting.
“Eh, soal apa?” Ekspresi Freya berubah menjadi serius dan berusaha menyusul langkah kaki panjang Fauzan agar mereka bisa beriringan.
“Soal Kalingga.” Fauzan mendadak berhenti, membuat Freya yang masih berusaha menyusulnya tiba-tiba menabrak tubuhnya.
“Kalingga kenapa?” tanya Freya heran sambil mengusap-usap perutnya yang tak sengaja menubruk sikut Fauzan.
“Bisa nggak lo berhenti ngeledekin Kalingga soal Anin?” pinta Fauzan. Entah kenapa Freya merasa ada sedikit kekesalan dalam nada suaranya Fauzan.
“Dia nggak suka?” Freya malah bertanya balik.
“Ya menurut lo? Nggak liat apa ekspresi wajahnya yang kesel?” Fauzan kembali melempar tanya.
“Bukan. Maksudnya, dia tuh kesel sama gue terus minta lo buat negur gue gitu? Cih, gak gentle banget beraninya lewat belakang.”
“Hah?! Ya nggak lah!” bantah Fauzan.
“Kalingga nggak begitu kali, kalo dia nggak suka pasti dia omongin,” sambung Fauzan.
“Terus?” cecar Freya tak mau kalah. Fauzan menilik wajah gadis itu dalam-dalam seraya berpikir, cewek ini emang nggak peka atau nggak peduli sih?
Fauzan tak langsung menjawabnya, ia melanjutkan perjalanannya menuju parkiran motor. Di belakangnya, Freya mengikuti sambil terus bertanya-tanya soal maksud perkataannya.
“Kalingga itu udah cukup susah move on tanpa harus lo ledek atau ungkit soal Anin secara terus-terusan, Fey.” Fauzan baru buka suara kembali saat ia sudah sampai di motornya.
“Oh,” sahut Freya singkat, sama sekali tak merasa bersalah.
“Dia lagi di fase galau-galaunya, Fey. Kasian kan kalo dia sedih dan nyesel berlarut-larut…” Fauzan menyerahkan sebuah helm kepada Freya.
“…. sorry to say, tapi bener yang selalu lo bilang. Kalingga itu hatinya masih pengecut. Gue nggak mau aja dia jadi trauma kalo misalnya diingetin terus akan kegagalannya,” sambung Fauzan sambil memakai jaketnya kemudian memeriksa karcis parkir yang tadi pagi ia selipkan di saku jaket sebelah kirinya.
“Dia tuh nyesel banget, Fey. Dan dia juga merasa bersalah banget karena udah ngecewain hatinya Anin. Udah bikin cewek yang selalu dipujanya itu patah hati sampe nangis berhari-hari. Gue takut dia nanti trauma buat pacaran atau gimana….. Udah naik, lo nunggu apa sih?”
“Eh, oh iya!” Freya tergugu. Ia begitu fokus pada kata-katanya Fauzan sampai-sampai tidak menyadari bahwa mereka sudah siap berangkat.
“Kaki lo naik dulu satu sambil pegangan pundak gue.” Fauzan membimbing Freya menaiki motornya yang cukup tinggi.
“Udah siap?” tanya Fauzan memastikan bahwa Freya sudah duduk dengan nyaman.
“Udah, yok jalan.”
Fauzan mengendarai motornya dengan perlahan karena Freya masih menuntut untuk melanjutkan ceritanya. Sementara telinga Freya tak sanggup menerima suara motor, deru angin dan suara Fauzan yang mulutnya tertutup masker secara bersamaan; untuk itulah Fauzan memelankan laju motornya.
“Berlebihan nggak sih kalo lo bilang trauma? Semua orang pernah kali patah hati. Masa begitu aja bisa sampe trauma,” tanya Freya setengah berteriak.
Fauzan sedikit terkekeh saat mendengar pertanyaan Freya, “lo belom kenal deket sama Kalingga, Fey. Makanya bisa nanya begitu.”