It’s a beautiful day and I can’t stop myself from smiling …
Kalingga memasuki ruangan kerjanya dengan penuh semangat sambil menyenandungkan lagu A Beautiful Day milik Michael Buble. Hampir sebulan belakangan ini ia merasa situasi di sekitarnya semakin membaik. Situasi pandemi yang perlahan mulai berakhir. Bisnis-bisnis kecil mulai menggeliat kembali. Jalanan sudah mulai diramaikan oleh orang yang berlalu lalang. Pelan-pelan kehidupan di ibukota yang sempat meredup kembali dipenuhi oleh hiruk pikuk.
“A little quiet today, huh?” seru Kalingga kepada rekan satu timnya. Hari itu Rabu, hari yang cenderung santai karena tak banyak yang harus dikerjakan. Biasanya di hari santai seperti ini Freya dan Fauzan akan memanfaatkannya untuk karaoke alakadarnya. Mereka akan menyetel lagu dari Youtube dan menyanyikannya keras-keras. Hari ini, mereka berdua tampak tenang.
Tidak, bukan hanya hari ini saja. Setelah diingat-ingat Kalingga baru menyadari bahwa suasana tenang ini sudah berlangsung sekitar seminggu. Akhir-akhir ini Fauzan jarang berdiskusi untuk urusan konten padanya; Freya juga jarang melontarkan ejekan atau protes kepadanya. Ini cukup aneh karena biasanya tak ada hari yang Kalingga lalui tanpa ejekan, omelan atau protes dari Freya. Gadis itu lebih banyak diam akhir-akhir ini. Tak hanya itu, Freya juga terlihat lesu akhir-akhir ini. Wajahnya terlihat lelah dan dia bahkan sudah beberapa kali tidak ikut sesi snack sore dengan karyawan divisi lain.
Bertolak belakang dengan suasana hati Kalingga yang sedang baik, hari ini sepertinya suasana hati Freya sedang buruk. Ia terlihat gusar, beberapa kali ia menggerutu tanpa alasan yang jelas. Saat ditanyai atau diledek pun ia abai. Sama sekali tak mempedulikan.
“Awas, Freya lagi dalam mode senggol bacok.” Kalingga mengingatkan Fauzan. Mereka berdua mafhum. Mereka sama sekali tak mengusik Freya hari itu.
Lagi-lagi Freya tertangkap basah tengah berkeluh kesah oleh Kalingga. Gadis itu terlihat semakin gusar. Kalingga dan Fauzan saling pandang dari kejauhan. Masing-masing mengisyaratkan perlukah mereka menanyai Freya?
Fauzan menggelengkan kepalanya. “Biarin aja dulu,” ucap Fauzan tanpa suara yang langsung dimengerti oleh Kalingga.
---
“Lingga, lo mau turun makan ya? Gue boleh minta tolong nggak?” panggil Freya saat melihat Kalingga sudah mengeluarkan tempat makannya dari tas.
“Kenapa? Mau nitip makanan? Gue kayaknya bakal lama, kalo mau cepet minta tolong sama Mas Anto aja,” saran Kalingga.
“Nggak bukan itu. Mau minta tolong hal lain,” ucap Freya datar. Aneh sekali, pikir Kalingga. Biasanya kalau permintaannya ditolak seperti ini Freya pasti akan langsung mengejeknya pelit.
“Apaan sih?” tanya Kalingga tak sabar. Freya memberinya isyarat untuk mendekat. Freya meraih dompetnya dan mengeluarkan selembar uang lima puluh ribuan dari sana. Dengan ragu-ragu ia menyerahkannya kepada Kalingga.
“Minta tolong mampir ke minimarket ya nanti kalo udah selesai. Terus …………. Tolong beliin pembalut buat gue.” Freya mengucapkan lima kata terakhir dengan sangat cepat.
“Heh! Beli aja sendiri!” tolak Kalingga sambil menyerahkan kembali uang tadi.
“Nggak bisa!”
“Tinggal jalan doang ke bawah!”
“Dibilang nggak bisa!”
“Males banget sih lo!”
“Please …..”
“Emang kenapa sih?”
Freya tak menjawab tapi ia memberikan tatapan mengiba pada Kalingga.
“Please, help me, Ling. Kalo gue bisa juga nggak bakal minta tolong sama lo,” pinta Freya dengan sungguh-sungguh. Kalingga menatapnya tajam. Sedetik kemudian ia memahami arti dari tatapan mengiba Freya.
“Oh!” seru Kalingga. “Oh, sorry gue baru ngerti. Ya udah sini gue beliin. Yang kayak gimana? Yang spesifik ya soalnya gue tau ada banyak jenis, ntar gue salah beli lo ngamuk lagi.”
“Yang mana aja boleh, gue mah nggak ribet.” Freya kembali menyerahkan lembaran uang itu kepada Kalingga.
“Udah itu aja?” tanya Kalingga sebelum ia beranjak.
“Iya itu aja. Thanks ya, Lingga,” ucap Freya tulus. Kalingga langsung beranjak pergi. Wajah Freya terlihat bersemu merah, sepertinya ia merasa malu. Ia menyandarkan kepalanya ke meja sambil menghela napas lega.
Beberapa menit kemudian terdengar langkah kaki memasuki ruangan, Freya terkejut saat melihat Kalingga sudah kembali.
“Cepet amat?” tanya Freya.
“Belom jadi. Pas nyampe di lobby gue baru inget gak bawa tote bag,” Kalingga membuka laci mejanya dan mengambil sebuah tote bag.
“Bukannya beli aja di minimarketnya, jadi bolak-balik kan?” protes Freya.
“Lo tuh ngerti esensi tote bag nggak sih, Fey? Buat apa ada tote bag kalo ujung-ujungnya tiap belanja beli yang baru?” seru Kalingga sambil berjalan meninggalkan ruangan.
“Terserah lo, Kalingga. Dikasih pilihan yang gampang malah pilih yang ribet,” seru Freya sedikit jengkel.
---
“Lo nggak jadi makan?” tanya Freya ketika melihat Kalingga yang sepuluh menit kemudian kembali memasuki ruangan.
“Gue makan di sini aja, nemenin lo.” Kalingga menyerahkan tote bag tadi kepada Freya lalu ia kembali duduk di kursinya.
“Ya ampun ngapain sih, gue nggak minta ditemenin kok. Eh, lo beli apa aja sih kok berat banget?” Freya yang menerima tote bag itu dengan satu jari nampak kewalahan saat mengetahui bahwa bebannya tak seringan yang ia kira.
“Eh,…..” ucap Kalingga terbata. Freya mulai mengeluarkan isi tote bag itu satu per satu sambil menatap Kalingga dengan curiga.
Freya mengeluarkan sebotol minuman kunyit asem herbal dan menunjukkannya kepada Kalingga.
“Nyokap gue biasa minum itu kalo lagi datang bulan,” jelas Kalingga. Freya mengangguk.
Freya mengeluarkan tiga bungkus onigiri yang biasa dimakannya dan beberapa snack kemudian menunjukkannya kepada Kalingga.
“Lo kan nggak bisa turun, jadi sekalian aja gue beliin makan siang,” jelas Kalingga. Freya mengangguk.
Freya mengeluarkan sebuah barang lagi dan dengan ragu-ragu ia menunjukkannya kepada Kalingga.
“Well, itu ….. Gue yakin lo pasti butuh yang baru kan? Karena yang lo pakai sekarang pasti ternoda …… “ Freya memberinya isyarat untuk berhenti bicara. Ia meletakkan bungkusan pakaian dalam sekali pakai itu dengan hati-hati. Lalu ia mengeluarkan dua barang terakhir dari tote bag. Satu barang yang dititipnya dan satu lagi barang yang ia yakin Kalingga tak memperolehnya di minimarket.
Freya menunjukkan sebuah rok midi berwarna hitam kepada Kalingga. “Punya siapa?”
“Oh! Itu gue pinjem sama anak resepsionis bawah. Si Maya, kenal nggak? Kayaknya pinggang kalian sama kecilnya deh. Cuma kalo panjangnya gue nggak yakin, Maya kan agak pendek. Tapi dari pada nggak ada mending itu aja kan?” jawab Kalingga bertubi-tubi. Freya menghela napasnya dalam-dalam. Wajahnya terlihat semakin kemerahan sekarang.
“Kok lo bisa kepikiran untuk beli atau minjem barang ini sih? Gue kan nggak minta. Dan sejujurnya, gue nggak kepikiran untuk beli barang-barang ini. Kok lo bisa kepikiran sih, Kalingga?” seru Freya dengan takjub. Kalingga mengedipkan matanya berkali-kali saat mendengar ucapan Freya. Sejujurnya, Kalingga sendiri masih tak paham kenapa dia bisa terpikir untuk membeli barang-barang tersebut. Rasanya saat di minimarket tadi tangannya bergerak sendiri mengambil barang-barang tadi tanpa bisa ia sadari.
“Well, lo nggak minta. Tapi lo butuh kan?” kata Kalingga dengan penuh percaya diri pada akhirnya. Freya tertegun lalu ia tersenyum tipis.
“Thank you,” ucapnya pelan dengan nada sendu. Entah kenapa Freya terlihat seperti sedang menahan tangis. Terharukah ia?
“Senang bisa membantu,” balas Kalingga dengan enteng sambil mengangkat bahunya.
“Tapi, Lingga……”
“Hmm?” Kalingga yang sudah mulai menyantap makanannya mengalihkan pandangannya lagi kepada Freya.
“Bisa nggak sih lo ke luar dulu. Gue mau ke toilet tapi malu. Gue banjir banget nih,” pinta Freya sambil menahan rasa malunya.
“Iya iya sono keluar gue nggak liat kok.” Kalingga memutar kursinya agar membelakangi Freya. Ia melanjutkan santap siangnya dengan menghadap tembok.
---
Tiga puluh menit kemudian Freya kembali dari toilet. Kalingga yang sudah selesai dengan santap siangnya bergegas menarik bangkunya ke meja Freya. Sementara gadis itu melahap makan siangnya, tangan Kalingga tanpa sungkan langsung membuka sebungkus kuaci yang ada di meja Freya.
“Lo kok bisa seceroboh ini sih, Fey,” tanya Kalingga sambil mengupas kulit kuaci.
“Biasanya kan cewek aware banget sama beginian. Dulu Anin begitu. Nyokap gue yang udah berumur aja selalu siap sedia.” Kalingga menambahkan.
“Anggap aja gue semacam lupa kodrat sebagai perempuan,” sahut Freya asal, matanya sibuk menatap layar komputernya yang sedang menampilkan sebuah video musik dari Youtube.
“Hah? Maksudnya?” tanya Kalingga terheran.