Playlist Patah Hati Kalingga

irma nur azizah
Chapter #9

Alone

“Tenang, tenang, ini bukan covid kok, Ibu-Ibu dan Bapak-Bapak.” Kalingga mencoba menenangkan kerumunan penumpang yang merasa cemas. Mendapati seseorang pingsan di tempat umum saat pandemi masih melanda negeri ini memang terasa cukup menakutkan. Tak heran para penumpang terlihat panik dan menjaga jarak dari Freya dan Kalingga.

Pintu sudah kembali tertutup dan kereta sudah mulai melaju meninggalkan stasiun Cipete Raya saat Kalingga berusaha menolong Freya yang tubuhnya tergeletak di lantai kereta. Beberapa penumpang yang seharusnya turun di stasiun Cipete mengeluh kesal karena tak sempat turun; rupanya posisi jatuh Freya menghalangi pintu kereta. 

“Maaf ya yang nggak bisa turun tadi. Temen saya nggak apa-apa kok, bukan sakit serius. Kalian nggak perlu khawatir. Biasalah perempuan sakit bulanan,” tutur Kalingga sambil menidurkan Freya di deretan bangku kosong tadi. Ia kemudian melepas masker Freya agar gadis itu mendapat sirkulasi udara yang cukup. 

Pain tolerance tinggi apanya sih, Fey. Lo pucet banget kayak mayat gini juga,” gumam Kalingga dengan prihatin. Sebentar lagi ia akan sampai di stasiun tujuannya, tapi ia belum memutuskan kemana ia akan membawa Freya.

“Mbak, nanti tolong tahan pintunya ya,” pinta Kalingga pada perempuan yang dekat dengan pintu. Beberapa menit kemudian Kalingga akhirnya menggendong Freya di punggungnya dengan bantuan beberapa penumpang lain. 

Begitu Kalingga turun dari kereta, perhatian beberapa penumpang yang berada di peron tertuju padanya. Seorang petugas yang sedang berdiri di ujung pun tergopoh-gopoh menghampirinya untuk memberi bantuan.

“Kenapa, Mas?” tanya petugas dengan wajah sedikit panic.

“Temen saya sakit, Pak.” Mendengar jawaban Kalingga, petugas tadi langsung memberi isyarat kepada petugas di ujung yang lainnya.

“BANG, TOLONG BAWAIN KURSI RODA INI ADA YANG PINGSAN!” teriak petugas itu.

“Nggak usah, Pak. Saya minta tolong diorderin Gocar aja. Rumah saya udah deket kok. Saya langsung bawa pulang aja,” pinta Kalingga.

“Yakin, Mas? Nggak mau ke rumah sakit aja?” petugas itu tampak ragu-ragu.

“Iya. Temen saya bukan sakit berat kok, Pak. Temen saya cuma butuh dirawat seorang Ibu aja,” kata Kalingga meyakinkan petugas tadi.

“Ya udah kalo gitu, ini mau ke mana alamatnya?” Petugas tadi dengan sigap mengeluarkan ponselnya dan melakukan apa yang Kalingga pinta. 

“Jalan Kemuning nomor 17A, Pak,” kata Kalingga dengan napas yang terengah-engah. Walaupun terlihat kurus ternyata Freya berat juga. 

---

Kalingga menekan bel rumahnya berkali-kali dengan tak sabar. Sebentar-sebentar ia mengintip ke dalam rumahnya melalui jendela. Seharusnya jam segini sang mama sudah ada di rumah, tetapi kenapa pintu rumahnya tak kunjung dibuka meski ia sudah menekan bel berkali-kali. Kalingga terlihat sedikit lega saat melihat pantulan tubuh sang mama tengah berjalan menuju pintu.

“Sabar dong, Dek, mamanya kan lagi ….. Ya ampun itu siapa? Dia kenapa, Dek?” teguran sang mama berganti jadi pekikan panik saat melihat anak semata wayangnya pulang sambil menggendong seorang gadis tak dikenal yang tampak tak sadarkan diri.

“Aduh, paniknya boleh ditunda dulu nggak, Ma?” protes Kalingga sambil buru-buru masuk ke rumah tanpa melepas sepatunya. Sang mama buru-buru mengunci pintunya kembali lalu menyusul anaknya yang sudah bergegas masuk.

Kalingga menurunkan Freya di sofa yang berada di ruang tamunya, sebenarnya ia sudah menurunkan gadis itu dengan hati-hati sekali. Tapi karena tangannya sudah kebas jadilah ia kehilangan keseimbangan yang menyebabkan tubuh gadis itu sedikit terbanting di sofa.

“Adek, hati-hati dong!” tegur sang mama sambil membetulkan posisi tidur Freya. Kalingga tak memedulikan teguran sang mama. Ia masih sibuk mengibaskan tangannya yang kebas. “Heran, badan kurus tapi berat bener. Keberatan dosa pasti lo, Fey.” 

“Adek, kok ngomongnya begitu sih?” lagi-lagi sang mama menegurnya.

“Ini siapa? Kenapa dia nggak sadarkan diri? Kamu kenal? Kenapa kamu yang bawa dia?” cecar sang mama dengan panik. Kalingga hanya menatap sang mama sambil tersenyum geli.

“Mama nggak usah panik gitu, aku nggak apa-apain Freya kok. Ini Freya, anak baru di kantor aku yg waktu itu pernah kuceritain. Inget kan?” jawab Kalingga dengan sabar sambil melepas sepatunya.

“Dari kantor tadi Freya emang udah sakit, makanya Bu Mina nyuruh aku buat anter dia ke kosannya. Kita naik MRT bareng, eh pas di MRT dia malah pingsan. Padahal udah nyampe. Ya udah akhirnya aku bawa aja kesini. Abisnya aku nggak tau kosan dia di mana,” sambung Kalingga. Sang mama akhirnya menghembuskan napas lega. 

“Ya Allah, Dek. Mama udah mikir macem-macem tau nggak,” ucap sang mama dengan penuh kelegaan. Kalingga menghampirinya dan mencium tangannya. “Mama mah kebiasaan, suka suudzon sama anak sendiri.” Kalingga protes sambil bergerak ke arah kulkas, mengeluarkan sebotol air dingin dan langsung menenggaknya.

“Dek, kamu main bawa orang sakit ke rumah lagi pandemi gini. Beresiko tau,” tegur sang mama sambil berbisik, takut jika gadis itu tahu-tahu bangun dan mendengarnya.

“Nggak kok, Ma. Freya tuh lagi sakit bulanannya perempuan. Tadi dia cerita sama aku. Udah tenang aja nggak usah parno.” Kalingga menenangkan sang mama.

“Oalaah, bilang dari tadi dong, Dek. Kan mamanya jadi nggak mikir kemana-mana. Wajar dong mama panik lagi jaman kayak begini.” Sang mama bergerak menghampiri Freya yang masih terkulai di sofa. Ia mengusap dahi Freya yang sedikit berkeringat dengan rasa bersalah karena telah menduga yang bukan-bukan.

“Ya udah, Dek. Dibawa ke kamar deh temennya, kasian kalo tidur di sini kan nggak nyaman. Mama mau masak air dulu buat bikin teh,” usul sang mama sambil beranjak ke dapur. Kalingga menghela napas berat seraya menatap Freya dengan tatapan sedikit sebal dan sedikit kasihan.

“Kalo udah sembuh gue tagih ongkos pijit ya, Fey,” ucap Kalingga sambil berusaha menggendong Freya dengan gaya bridal.

---

“Mama cariin ke kamar nggak taunya di sini,” kata mama yang memasuki kamar Kalingga sambil membawa secangkir teh manis panas. Kalingga yang sejak tadi sibuk melepas sepatu Freya; melepas jaket yang melingkar di pinggang Freya; dan melepas bando yang sejak tadi pagi dikenakan oleh Freya, hanya menyahut sekadarnya.

“Ha?”

“Maksud mama tuh kamu bawa ke kamar mama aja. Kan gampang nggak usah susah payah naik tangga segala,” jelas sang mama. Kalingga tertegun saat mendengarnya. 

“Iya juga ya,” seru Kalingga yang matanya tak bisa lepas dari Freya yang sudah dibaringkan di ranjangnya. Sejak tadi ia ingin sekali membuka kancing kemeja Freya supaya ia bisa bernapas lebih leluasa, tapi entah kenapa ia merasa sungkan melakukannya. 

“Tolong longgarin pakaiannya, Ma. Biar napasnya lebih lega,” pinta Kalingga yang langsung mundur beberapa langkah dan membiarkan sang mama membantu Freya. Mama duduk di sisi ranjang dan mulai melepas jam dan gelang yang terpasang di tangannya.

“Kamu ke kamar mama terus ambil minyak kayu putih sana, Dek,” suruh sang mama. Kalingga bergegas turun. Tak sampai lima menit kemudian ia sudah kembali ke kamar dengan sebotol minyak kayu putih di tangannya.

“Jadi perempuan itu susah ya, Ma.” Kalingga turut duduk di sebelah sang mama dan memperhatikan sang mama yang tengah sibuk membalurkan minyak kayu putih ke bawah hidung, leher serta dada Freya. Kemudian mama mulai memijit ujung jemari kaki Freya, yang langsung diikuti oleh Kalingga.

“Makanya sama perempuan harus baik-baik. Ini baru sakitnya datang bulan, sekarang kamu bayangin sakitnya ngelahirin,” kata sang mama. “Coba panggil namanya,” perintah sang mama.

Kalingga berpindah posisi dan mendekati bagian kepala Freya. “Fey, bangun. Lo pingsan apa mati sih kok nggak bangun-bangun,” ucap Kalingga, sang mama yang kesal mendengar anaknya bicara sembarangan, langsung melempar botol minyak kayu putih yang kemudian membentur tangan Kalingga.

“Olesin lagi di bawah hidungnya,” perintah sang mama yang masih sibuk memijit ujung jemari kaki Freya. Lima menit telah berlalu dan Freya masih belum menunjukkan perubahan. Ia masih bergeming dalam pembaringannya. Kalingga mulai terlihat khawatir.

“Kok nggak bangun-bangun sih, Ma?” Kalingga menggosokkan kedua tangannya yang mulai panas karena terlalu banyak mengoles minyak kayu putih.

“Capek banget kali badannya dia, Dek. Kamu ke dapur gih, di atas kompor masih ada sisa air panas. Kamu masukin ke botol kaca ya buat kompres.” Kalingga mengangguk dan lekas turun untuk menuruti suruhan sang mama. Cukup lama sampai akhirnya Kalingga kembali ke kamarnya di mana sang mama sudah menanti dengan gelisah. Kalingga menyerahkan botol kaca itu kepada mama yang langsung ditempelkan ke perut Freya untuk meredakan sakitnya. Kalingga mengambil alih tugas mama untuk mengoleskan minyak kayu putih.

Rangsangan aromatik yang diberikan secara bertubi-tubi sepertinya mulai menunjukkan hasilnya. Bola mata Freya mulai aktif bergerak walaupun ia masih berusaha sekuat tenaga untuk mengangkat kelopaknya. Baik Kalingga maupun mama sangat lega melihat hal ini.

“Fey, pelan-pelan aja kalo belum kuat bangun,” ucap Kalingga dengan lembut di telinganya. Freya bergumam tak jelas. Mama memijat-mijat kening dan pelipisnya secara bergantian.

Butuh waktu lima menit sampai akhirnya Freya kembali mendapatkan kesadarannya secara penuh. Saat akhirnya ia berhasil membuka matanya, ia merasa bingung dengan lingkungan sekelilingnya yang terlihat sangat asing.

“Lo ada di rumah gue, Fey.” Kalingga yang bisa membaca ekspresi Freya langsung memberitahunya tanpa diminta.

Lihat selengkapnya