“Home sweet home,” kata Freya sambil membuka pintu kamar kosnya. Tangannya meraba dinding di sebelah kirinya; menekan saklar lampu. Sedetik kemudian kamar itu jadi benderang; memperlihatkan kamar luas dengan nuansa peach.
“Masuk, Ra. Sorry ya berantakan.” Freya mempersilakan Hara untuk masuk terlebih dahulu, setelah mengunci pintu kamarnya barulah ia menyusul Hara yang pandangannya tengah menyapu seluruh ruangan.
Freya tak sekadar basa-basi, kamarnya – menurut Hara – memang cukup berantakan. Beberapa helai pakaian tergeletak begitu saja di ranjang, yang spreinya juga kusut. Beberapa gelas sekali pakai yang belum sempat Freya buang ke tempat sampah. Juga buku dari berbagai genre yang bertebaran di lantai; beberapa buku saling menumpuk dengan halaman yang terbuka; yang lainnya tertutup, tapi tak sempurna karena sepertinya Freya mengganjalnya dengan sesuatu.
“Anggep aja kamar sendiri, Ra,” kata Freya sambil membenahi satu per satu barang yang membuat kamarnya berantakan. Apa yang dilakukan Freya sebenarnya tidak bisa disebut dengan “membenahi”. Ia hanya mengumpulkan barang-barang tadi lalu menumpuknya dengan asal di meja yang ada di sudut kamarnya. Hara hanya tersenyum melihatnya.
“Fyuh,” ucap Freya lega sambil duduk di ujung ranjangnya. Ia mengisyaratkan Hara untuk turut duduk di sebelahnya.
“Yah beginilah, Ra, kehidupan anak kos,” kata Freya begitu melihat ekspresi Hara yang entah terkesima atau heran saat melihat kamar kosnya.
“Eh, sorry. Gue nggak maksud …. “ Hara merasa bersalah karena sepertinya Freya merasa terhakimi akan ekspresinya.
“Gue kaget aja. Lo simple banget ya jadi orang,” sambung Hara. Mendengar ini Freya jadi ikut-ikutan menyapu pandangannya ke seluruh ruangan. Ia memahami apa maksud Hara.
“Kalo anak kos punya banyak barang repot pindahannya, Ra,” terang Freya. Hara mengangguk.
“Gue mau mandi dulu ya, Ra. Di laci itu ada peralatan makan sekali pakai yang bisa lo pake. Makan aja duluan, ga usah nunggu gue.” Freya menunjuk laci di meja sudutnya sambil melangkah ke kamar mandi.
Sementara Freya mandi, Hara mulai mengeluarkan bungkusan makanan yang tadi diberikan mama Kalingga dan memindahkannya ke piring. Hara sedikit terkejut saat melihat banyaknya lauk pauk yang diberikan. Nampaknya mama Kalingga benar-benar memberikan seluruh porsi masakannya hari itu kepada mereka berdua. Usai menyiapkan makanan, pandangannya kembali menyapu ruangan. Ia masih terheran-heran akan betapa minimalisnya kamar ini. Selain ranjang, lemari dua pintu, meja sudut berukuran sedang, sama sekali tak ada furnitur lain di ruangan ini. Jika saja ia mengabaikan benda-benda yang ada di atas meja sudut dan situasi ranjang yang berantakan, Hara akan mengira bahwa kamar ini tak berpenghuni.
“Kamar ini kayak siap ditinggalkan kapan aja, deh,” seru Hara sambil berjalan mengelilingi ruangan. Kemudian matanya terpaku pada sebuah buku yang berada di atas meja.
“Tidying Up With Marie Kondo.” Hara mambaca judulnya. Kemudian ia tersenyum simpul. Pantas saja, pikirnya.
Dua puluh menit kemudian Freya keluar dari kamar mandi. Ia terlihat jauh lebih segar. Ia juga sudah rapi mengenakan piyama berwarna merah marun. “Lo nggak mau mandi sekalian, Ra?” tanya Freya sambil membungkus rambut basahnya dengan handuk.
“Nggak, Freya. Sebelum ke rumah Kalingga tadi gue mandi dulu. Gue mau numpang cuci tangan aja ya,” sahut Hara.
“Waduh, banyak amat makanannya. Siapa yang mau ngabisin coba?” seru Freya saat melihat makanan yang tersaji.
“Pasti mama bawa makanan dari resto deh, makanya banyak banget,” sahut Hara sambil mengeringkan tangannya dengan tisu.
“Resto?” tanya Freya sambil mengudap sepotong udang asam manis yang dicomotnya asal.
“Iya. Mamanya Kalingga punya restoran gak jauh dari rumahnya. Ada kateringnya juga, biasanya kalau makanannya sebanyak ini pasti lebihan dari katering,” jelas Hara.
“Oalah pantes aja Kalingga kalo bawa makanan ke kantor menunya variatif banget. Duh, kayaknya enak deh.” Freya tak kuasa menahan rasa laparnya ketika melihat berbagai makanan yang wanginya menggugah selera.
“Yuk, makan.” Hara menyerahkan sebuah piring kepada Freya.
Mereka menurunkan makanan tadi ke lantai yang sebelumnya sudah disapu dan dipel oleh Freya. Kemudian mereka menikmati makan malam sambil lesehan karena memang Freya tak memiliki meja makan.
“Omongannya Kalingga nggak usah dimasukin ke hati ya, Freya. Dia emang orangnya gitu, suka usil. Tapi sebenernya baik kok,” ujar Hara saat mengetahui bahwa Freya bukannya makan, malah menatap makanan yang berada di piringnya dengan sedih.
“Hah? Eh, nggak kok.” Freya tersadar dari lamunannya. Bukan itu yang sebenarnya tengah ia pikirkan. Freya menggelengkan kepalanya lalu sedikit mendengus kesal.
“Huh, sial. Kalo udah kehutangan budi kayak gini kan gue jadi susah buat benci ke dia!” seru Freya yang mengundang tatapan heran dari Hara.
“Benci? Kenapa harus benci?”
Freya meletakkan makanan yang sama sekali belum disentuhnya itu ke lantai lalu mengaduk-aduknya tanpa semangat. “Rasanya lebih mudah begitu,” balas Freya. Hara tak memahami apa maksudnya, tapi ia berusaha memaklumi. Ia teringat akan kata-katanya Kalingga yang menyebutkan bahwa Freya cenderung tertutup. Untuk itulah Hara memutuskan untuk tidak bertanya lebih jauh.
“Lo …. Udah lama temenan sama Kalingga ya, Ra?” Freya dengan ogah-ogahan menyuap makanan itu ke dalam mulutnya.
“Banget. Dari balita kayaknya deh.” Hara menjawab dengan antusias, seakan-akan bangga sekali atas pencapaian ini.
“Hmm. Enak ya punya temen yang bisa sedeket itu. Bahkan lo juga manggil mamanya Kalingga mama ya, Ra,” ujar Freya yang entah kenapa terdengar sedih saat mengatakan hal ini.
“Eh, iya. Dari dulu Tante Kinanti – mamanya Kalingga – emang selalu nyuruh gue manggil mama. Pun dengan Kalingga yang juga manggil orang tua gue dengan sebutan Ibu dan Bapak. Kita beneran udah kayak saudara sih, Ya,” terang Hara yang suaranya sedikit melunak ketika menyadari perubahan di nada suaranya Freya.
“Freya, are you okay?” tanya Hara dengan hati-hati ketika melihat wajah Freya yang terlihat sendu.
Freya mendorong piringnya lalu melempar tubuhnya ke ranjang lalu menelungkupkan wajahnya ke bantal. “Gue malu, Hara. Maluuuuu banget,” ujar Freya dengan suara yang teredam.
“Malu?” tanya Hara dengan heran. Freya mengangkat wajahnya yang kini terlihat kemerahan karena menahan tangis.
“Gue tuh nggak kenal deket sama Kalingga. Di kantor pun bisa dikatakan gue bukanlah partner kerja yang baik buat dia. Tapi hari ini dia nolongin gue banyak banget. Mana pake dibawa ke rumahnya segala! Gue udah nggak punya muka di hadapan dia, Hara.” Hara hanya manggut-manggut sambil mengulum sendoknya. Sejujurnya, ia masih belum paham mengapa Freya menganggap insiden ini sebagai hal yang memalukan. Tolong menolong sesama teman itu wajar, kan?
“Mungkin ini terdengar konyol dan terkesan bahwa gue gak tau terima kasih. Tapi ….. “ Freya bangkit dari ranjangnya agar bisa duduk berdekatan dengan Hara yang saat ini tengah menatapnya dengan penuh rasa prihatin.
“Jangan salah paham ya, Ra. Gue merasa bersyukur banget kok bisa ditolong sama Kalingga dan mamanya. Tapi masalahnya adalah…… dia menolong gue terlalu banyak dan terlalu jauh. Bahkan buat gue cenderung melewati batas. Dan…….. itu bikin gue gak nyaman.” Freya terlihat sangat berhati-hati saat memilih kata untuk melanjutkan ceritanya. Ia sungguh tak ingin membuat Hara salah paham nantinya.
“Salah gue sih sebenernya. Tadi gue cerita hal yang mungkin seharusnya nggak pantas diceritakan ke Kalingga. Masalah yang cukup personal soalnya, orang tua gue bahkan nggak tau. Tapi gatau kenapa mulut gue enteng banget tadi. Sekarang Kalingga malah jadi tau masalah gue. Argh, I’m giving him too much information!” kata Freya sambil menarik-narik rambutnya. Sepertinya ia benar-benar menyesali keputusannya.
“Gue yakin Lingga nggak bermaksud untuk melewati batasan itu, Ya. Dia Cuma pengen nolongin lo kok,” sahut Hara setelah satu keheningan yang cukup panjang.
“Iya gue tau, Ra. Untuk itulah gue kesel dan malu sama diri gue sendiri. Bukannya berterima kasih sama yang nolongin, gue malah marah. Padahal ini bukan salahnya dia. Sama sekali bukan. Tapi, Ra, hati gue nggak bisa bohong. Entah kenapa gue kesal dan benci,” seru Freya.
“Gue cuma nggak suka ranah personal gue dimasuki oleh orang lain.” Freya menutup keluh kesahnya. Ia kembali merebahkan dirinya di ranjang dengan pasrah. Wajahnya terlihat sedikit lega, mungkin karena apa yang sejak tadi membuat hatinya resah telah tersampaikan.
Hara masih terdiam, otaknya sedang mencerna semua informasi yang baru saja ia dapatkan. Pikirannya mengembara, entah kenapa situasi ini seperti tidak asing dengan dirinya. Rasanya seolah ia pernah dihadapkan dengan situasi seperti ini sebelumnya. Tapi kapan? Dan siapa yang mengalaminya?
Kemudian mendadak pikirannya tercerahkan. Seperti yang Kalingga bilang, Freya memang cenderung tertutup. Karena itulah ia sedikit kesal saat tanpa sadar telah membagikan masalah personalnya kepada Kalingga. Tapi selain itu, Hara juga meyakini bahwa Freya adalah seseorang dengan self esteem yang tinggi. Karena itulah ia benci saat Kalingga memberinya banyak bantuan. Ia benci saat orang lain melihatnya berada di posisi yang lemah.
Tak heran mengapa Freya tantrum saat berada di rumah Kalingga; batas personalnya dilanggar dan ia tak berdaya. Ia merasa rendah saat dirinya terlihat lemah di hadapan orang lain. Apakah Freya selalu seperti ini? Apakah ia selalu tantrum setiap kali orang memberinya bantuan?
Tunggu sebentar, pikir Hara. Berbicara soal bantuan dan batas personal, bukankah saat ini ia juga sedang melakukannya? Freya mengizinkan dirinya untuk menginap di kamar kosnya hanya untuk menemaninya agar tidak sendirian. Freya membiarkan Hara membantunya dengan cara mengizinkannya untuk memasuki batas personalnya, padahal mereka baru saling kenal selama beberapa jam. Bukankah itu aneh?