Freya kembali masuk ke kantor setelah dua hari absen. Begitu kembali, ia langsung disibukkan dengan pekerjaannya yang cukup terbengkalai. Meskipun sebagian pekerjaannya sudah dibantu oleh Fauzan dan Kalingga, tapi tetap saja, untuk beberapa bagian tertentu mereka tetap membutuhkan sentuhan tangan Freya.
Keadaan masih sedikit canggung di antara Freya dan Kalingga. Entah kenapa, Freya masih merasa tidak enak karena sudah merepotkan Kalingga beberapa hari yang lalu. Selain itu hatinya masih diliputi perasaan aneh ini; takut dinilai buruk oleh Kalingga atas apa yang terjadi beberapa hari yang lalu. Berulang kali Freya mengingatkan dirinya sendiri bahwa alasannya itu tak masuk akal. Memangnya kenapa kalau ia dinilai buruk oleh Kalingga? Tak ada orang yang sempurna, ya kan?
Freya berusaha sekuat tenaga untuk menepis rasa gundahnya itu dengan cara menjaga jarak dari Kalingga. Freya hanya bicara seperlunya kepada Kalingga dan tak lagi meledeknya. Beruntung, perubahan sikapnya yang drastis ini tak disadari oleh kedua rekannya, Fauzan dan Kalingga. Suasana kantor yang hangat, ringan dan bersahabat entah kenapa mendadak menguap karena masing-masing tenggelam dalam kesibukannya. Sampai akhirnya pada suatu pagi Bu Mina meminta mereka bertiga untuk datang ke ruangannya, ada sesuatu yang penting katanya.
“Kalingga, kamu ingat sama Pak Yudha, kan?” tanya Bu Mina dengan serius. Kalingga dan Fauzan mendadak tegang saat Bu Mina menyebutkan nama Pak Yudha.
“Inget, Bu. Kenapa emangnya?” jawab Kalingga dengan sopan. Bu Mina tak langsung menjawab. Ia membuka laci di mejanya dan mengeluarkan sebuah amplop yang berisikan berkas yang cukup tebal.
“Pak Yudha mau pakai jasa kita lagi. Lebih tepatnya, jasa tim kamu, Kalingga,” ucap Bu Mina. Kalingga dan Fauzan saling melempar tatapan gugup saat mendengarnya.
“Se-serius, Bu?” tanya Fauzan ragu-ragu. Freya meliriknya curiga. Kenapa Fauzan dan Kalingga terlihat gugup sih?
“Iya. Kemaren saya ketemu sama beliau. Perusahaannya punya produk baru yang siap untuk dipasarkan, dan beliau minta tim kamu untuk bikin konten untuk mengiklankan produknya,” jelas Bu Mina sambil menyerahkan berkas tadi kepada Kalingga.
“Iklan lagi,” ucap Fauzan yang bukannya terdengar senang, melainkan terkesan sedikit mengeluh.
Kalingga menerima berkas itu dan membolak-balik halamannya sekilas. Di sisi kiri dan kanannya, Fauzan dan Freya tampak turut melihat isinya. Lagi-lagi Kalingga dan Fauzan saling melempar tatap yang tampaknya hanya bisa dipahami oleh mereka berdua.
“Gimana?” tanya Kalingga yang memang secara khusus ditujukan kepada Fauzan.
“Terserah. Lo kan team leadernya,” balas Fauzan. Freya memicing kepada Fauzan, meminta penjelasan. Fauzan mengabaikannya.
“Kalingga, ini kesempatan bagus. Kamu liat tuh nama perusahaannya. Perusahaan besar, Ling. Ini akan jadi promosi yang bagus buat agency kita,” bujuk Bu Mina ketika melihat keraguan di mata Kalingga dan Fauzan.
“Saya tau beliau orangnya agak rumit, tapi tim kamu kan udah punya personil tambahan yang selalu punya ide menarik. Saya yakin proyek kali ini nggak akan sesulit yang sebelumnya,” kata Bu Mina sambil menatap Freya dengan penuh keyakinan. Freya hanya tersenyum tipis.
“Iya sih,” sahut Kalingga. Ia masih belum terdengar yakin.
“Kita boleh baca-baca dulu berkasnya ya, Bu? Pak Yudha ngasih tenggat waktu nggak?” tanya Kalingga.
“Nggak sih, tapi sebaiknya diputuskan dengan cepat. Kamu tau sendiri lah Pak Yudha orangnya kayak gimana. Kalau kelamaan mikir nanti beliau pasti akan nyari agency lain,” jawab Bu Mina dengan penuh pertimbangan.
“Ya udah, Bu. Saya diskusikan dulu sama tim ya. Kami usahakan secepatnya,” kata Kalingga sambil memberi isyarat kepada kedua rekannya. Bu Mina menyetujuinya. Beberapa menit kemudian, Kalingga, Fauzan dan Freya sudah kembali ke ruangan mereka sambil membawa berkas yang sudah difotokopi sebanyak tiga kali.
“Okay, what was that? Kenapa gue merasa tensinya agak sedikit naik ya? Sebenernya ada masalah apa sama Pak Yudha itu?” tanya Freya bertubi-tubi.
“Rese, Fey. Rese banget,” keluh Fauzan dengan penuh kekesalan. Freya menatap Fauzan tak percaya. Ia merasa bahwa pendapat Fauzan berlebihan. Kemudian ia melirik Kalingga, yang tak disangka turut mengonfirmasi pendapat Fauzan.
“Kadang gue bingung, kok bisa ya seseorang bisa berpikiran kolot dan modern di saat yang sama. Udah gitu perfeksionis lagi,” keluh Kalingga sambil menatap enggan pada berkas yang sejak tadi dipegangnya.
“Kita udah pernah dua kali ngerjain proyeknya dia, Fey. Dan yang terakhir bikin gue kena tipes karena lembur hampir tiap hari ngerjain revisi yang nggak udah-udah,” keluh Fauzan.
“Belum lagi pertengkaran yang terjadi di sana-sini karena nggak saling klop antar divisi. Cukup chaos lah proyek terakhir kita sama beliau ya, Jan,” timpal Kalingga. Fauzan mengangguk.
“Kalo kliennya rese kayak begitu kok Bu Mina masih mau diajak ketemuan sih?” tanya Freya dengan heran.
“Pertama, bayarannya bagus banget. Kedua, Pak Yudha itu punya pengaruh kuat dalam bisnis. Agency kita bisa cukup berkembang karena word of mouth dari beliau jalan, Fey. Beliau ngerekomendasiin agency kita ke beberapa perusahaan besar karena puas sama hasil kerja kita,” terang Kalingga.
“Yah, walaupun dalam prosesnya itu berdarah-darah banget sih,” timpal Fauzan.
“Tapi sepadan kan?” seru Freya penuh semangat.
“Sepadan banget sih, Fey,” ujar Kalingga.
“So, what’s the problem now? Hajarlah! Ini ketiga kalinya beliau minta kalian buat bikin kontennya, artinya beliau udah percaya banget sama kinerja kalian. Kenapa harus ragu?” Mendadak semangat Freya timbul. Dengan antusias ia membuka dan membaca halaman demi halaman berkas yang tadi diberikan Bu Mina.
“Lo berminat, Fey?” tanya Kalingga.
“Hell, yeah! Ini bagus untuk portofolio gue!” balas Freya dengan meyakinkan. Matanya masih belum lepas dari berkas itu.
“Jan?” kini Kalingga bertanya kepada Fauzan.
“Gue ngikut nahkodanya aja, apapun keputusan lo, gue ikut,” jawab Fauzan dengan mantap. Ia memang sudah sangat percaya akan keputusan-keputusannya Kalingga.
“Okey, kalo gitu. Kita ambil. Gue kasih tau Bu Mina dulu ya,” seru Kalingga diiringi pekik kegirangan dari Freya. Kalingga bergegas ke ruangan Bu Mina untuk memberitahu perihal keputusannya ini.
Lima belas menit kemudian Kalingga kembali ke ruangan di mana Freya dan Fauzan sudah menanti kehadirannya dengan harap-harap cemas.
“Deal. Lusa kita meeting sama Pak Yudha ya. Tapi ada pesan dari Bu Mina untuk lo, Fey….” Kalingga meneguk segelas air putih sebelum melanjutkan kalimatnya.
“Lo yakin udah pulih 100%? Bukannya gimana-gimana, tapi berdasarkan pengalaman sebelumnya, proyek ini nggak bakal mudah. Kemungkinan besar kita bakal sering lembur. Bu Mina sebenernya berharap banget lo bisa ikutan tapi kalo misalnya ngerasa nggak sanggup juga nggak apa-apa,” jelas Kalingga panjang lebar. Ada nada khawatir yang tersirat dalam kalimat-kalimatnya.
“Gue udah sehat banget kok, Ling! Gak usah khawatir, gue sanggup!” jawab Freya dengan penuh percaya diri. Bahkan untuk meyakinkan Kalingga, ia berpose bak binaragawan demi memperlihatkan dirinya yang telah kembali bugar.
“Oke kalo begitu. Gue juga usahain akan mengatur waktu sebaik mungkin, biar nggak usah terlalu sering lembur,” timpal Kalingga.
“Asik, dapet proyek gede artinya dapet bonus gede! Kalo begini ceritanya gue bisa upgrade motor kesayangan gue lebih cepat!” seru Fauzan.
“Kerja aja belom udah mikirin bonus,” seru Kalingga heran sambil geleng-geleng kepala melihat kelakuan rekan kerjanya.
---
Hari-hari sebelum meeting dengan Pak Yudha tiba, dihabiskan oleh Kalingga, Fauzan dan Freya untuk saling brainstorming. Mereka sudah mempelajari produk yang akan mereka tangani secara mendalam, selain itu mereka juga sudah menemukan ide-ide yang ke depannya mungkin akan bisa berguna untuk membuat konten iklan produk ini. Kalingga dan Fauzan pun sudah “menatar” Freya lebih jauh tentang Pak Yudha. Mereka berharap Freya akan mendapat sedikit gambaran dan bisa membaca serta memahami keinginan Pak Yudha dengan cepat. Sesuatu yang mereka tak bisa penuhi terakhir kali.
Hari meeting pun tiba, walau mereka hanya punya kurang dari dua hari untuk mendalami produk. Mereka tetap percaya diri. Sambil menanti waktu yang telah disepakati tiba; Kalingga, Fauzan dan Freya sedang asyik bermain game Ludo secara online. Selain untuk membunuh waktu, hal ini mereka lakukan untuk mengusir rasa nervous.
Bu Mina yang kebetulan lewat di depan ruangan Kalingga, Fauzan dan Freya sedikit heran saat mendengar gelak tawa mereka yang terdengar sangat seru, Dengan panik Bu Mina membuka pintu ruangan dan nampak sangat terkejut ketika mendapati ketiga karyawan kesayangannya itu sedang asyik bersantai.
“Kok kalian masih di sini?” tanya Bu Mina sambil melirik jam dinding yang menunjukkan waktu pukul satu siang.
“Loh emangnya kenapa, Bu?” Fauzan malah bertanya balik.
“Kalian kan ada jadwal meeting sama Pak Yudha jam setengah dua!” Suara Bu Mina terdengar semakin panik.
“Eng, iya kami tau kok, Bu. Ini lagi nunggu waktu. Tenang aja Bu, semuanya udah siap kok,” kata Kalingga dengan enteng sambil memperlihatkan monitor komputernya yang aplikasi Zoomnya sudah terlogin. Bu Mina mengurut dadanya.
“Lingga, kamu nggak baca WA saya dengan benar ya?” tanya Bu Mina kali ini ia terdengar sedikit kecewa. Kalingga yang menyadari perubahan nada suara Bu Mina langsung mengecek ponselnya untuk memastikan apa yang Bu Mina maksud, akan tetapi ….
“Lingga, meetingnya offline loh. Di Mercantile, kan saya udah bilang sama kamu kemaren,” kata Bu Mina tanpa menunggu Kalingga.
“Hah?”
“Loh?”
“Waduh!”
Pekik Kalingga, Fauzan dan Freya secara berturut-turut. Setelahnya mereka saling melempar tatap kebingungan. Kalingga cepat-cepat membaca pesan yang dikirim oleh Bu Mina semalam, memastikan bahwa apa yang dikatakan Bu Mina adalah benar.
“Oh, shit!” umpat Kalingga dengan tatapan rasa bersalah kepada Bu Mina dan kedua rekan kerjanya.
“Aduh, Lingga! Kamu kok bisa teledor gini sih, udah sekarang cepetan deh berangkat mumpung masih ada waktu walaupun mepet,” omel Bu Mina. Kalingga, Fauzan dan Freya segera bergegas membawa barang-barang yang akan diperlukan.
“Maaf, Bu. Abis biasanya kan kita meetingnya online,” sesal Kalingga. Memang benar, di situasi pandemi ini kegiatan tatap muka bersama klien biasanya selalu dilakukan secara online. Mereka tak menyangka bahwa akan ada pengecualian untuk klien ini.
“Aduh, excusenya nanti aja deh, Ling. Udah cepet kalian berangkat. Semoga Pak Yudha belom nyampe,” kata Bu Mina yang sedang berjalan cepat mengikuti ketiga karyawannya yang sedang tergesa menuju lobby kantor.
“BU DOAIN YA BU,” teriak Fauzan dari dalam mobil kantor. Bu Mina hanya geleng-geleng cemas melihat kelakuan ketiga karyawannya.
---
Tampaknya dewi fortuna turut hadir bersama dengan Kalingga, Fauzan dan Freya siang itu; karena walaupun mereka berangkat dalam waktu yang sangat mepet, mereka bisa sampai di tempat pertemuan tepat waktu. Berkat jalanan Jakarta yang tak macet dan lokasi restorannya yang mudah dijangkau, lima menit sebelum waktu yang telah disepakati mereka sudah sampai di meja yang telah dipesan secara khusus.
“Eh, Jan. Baju gue rapi nggak?” tanya Freya sambil merapikan pakaiannya. Ia sedikit menyesal karena tak memakai pakaian formal hari ini.
“Oke kok,” sahut Fauzan yang juga sedang merapikan kerah kemejanya.
“Duh, gue ga bawa pouch make up lagi,” gerutu Freya sambil memeriksa riasannya melalui kamera depan ponselnya.
“Gak ada yang liat muka lo juga kali, Fey. Kan pakai masker,” celetuk Kalingga yang matanya tak henti memantau pintu masuk restoran.
“Iya juga ya!” seru Freya.
Pak Yudha baru tiba di restoran setelah sepuluh menit lewat dari waktu yang telah disepakati. Begitu batang hidung pria dengan tinggi badan sekitar 180 sentimeter itu muncul di pintu masuk restoran, Kalingga langsung menyenggol tangan kedua rekan kerjanya, mengisyaratkan mereka untuk segera bersiap.
Freya sedikit terkejut saat melihat sosok Pak Yudha. Setelah mendengar ceritanya Kalingga dan Fauzan, Freya selalu membayangkan bahwa Pak Yudha adalah pria paruh baya dengan muka masam. Akan tetapi Freya salah, Pak Yudha adalah pria beusia sekitar empat puluhan yang sangat punya tatapan teduh dan ramah, serta terlihat sangat gagah, walaupun uban mulai mendominasi bagian kepalanya. Auranya sebagai businessman dengan jadwal yang padat sangat jelas terasa. Sambil berjalan tangannya tak pernah lepas dari ponsel, entah untuk membalas pesan atau menjawab telepon. Pak Yudha langsung menyapa mereka dengan ramah walaupun tanpa repot berjabat tangan. Sepertinya beliau cukup memerhatikan soal protokol kesehatan karena begitu pramusaji mengantarkan buku menu, beliau langsung berkata :
“Hari ini kami pesan minuman aja ya, Mbak. Masih ngeri kalo harus makan bareng.” Pramusaji yang sepertinya sudah biasa menerima Pak Yudha sebagai pelanggannya hanya tersenyum dengan sopan.
Setelah perkenalan singkat dan sedikit basa-basi, Pak Yudha langsung mengoceh tentang produk baru yang akan diluncurkannya. Sementara Kalingga dan Fauzan terlihat sedikit tak bersemangat saat mendengarkan ocehan Pak Yudha, Freya justru terlihat sangat antusias. Ia sama sekali belum mendapat kesan menyebalkan dari Pak Yudha, seperti yang selalu dikatakan oleh Kalingga atau Fauzan.
“Kita baru pertama kali ketemu, ya?” tanya Pak Yudha kepada Kalingga sambil menunjuk ke arah Freya.
“Eh, iya, Pak. Freya baru bergabung sama tim kita sekitar empat bulan yang lalu,” jawab Kalingga dengan sopan. Pak Yudha mengangguk kecil sambil terus memperhatikan Freya dari atas ke bawah. Tiba-tiba Freya merasa tak nyaman karena ia merasa sedang dinilai habis-habisan. Beruntung masker yang dikenakannya dapat menyembunyikan pipinya yang sedang bersemu merah sekarang.
Pak Yudha melanjutkan ocehannya. Kali ini ia memberitahu kepada mereka akan gambaran yang diharapkan terkait iklannya. Awalnya terdengar cukup menarik, tapi lama-kelamaan permintaannya mulai macam-macam sampai di level yang tak masuk akal. Kalingga dan Fauzan yang sudah pernah berhadapan dengan Pak Yudha dua kali hanya bisa saling lirik dengan dahi yang mengernyit. Sesekali Freya melirik reaksi kedua rekan kerjanya saat Pak Yudha masih dengan antusias mengoceh. Kini Freya paham maksud ucapan Kalingga sebelumnya, kliennya yang satu ini ternyata memang rumit.
“So, what do you think? Any idea?” tanya Pak Yudha penuh semangat. Kalingga yang sejak tadi pikirannya menerawang – menyesali keputusannya untuk menerima proyek ini – dan Fauzan yang sejak tadi hanya mengangguk padahal ia tak mengerti satu pun permintaan Pak Yudha, terlihat gelagapan ketika pertanyaan itu disodorkan oleh Pak Yudha. Freya dapat melihat dengan jelas kebingungan di wajah kedua rekan kerjanya walau hanya melalui sorot matanya.
“Well,……” ucap Kalingga dengan gugup. Sebenarnya ia tak tahu harus berkata apa. Ia melirik Fauzan, yang sama bingungnya dengan dirinya. Lalu Freya, yang sedang menatapnya dengan serius. Tampaknya Freya tahu apa yang harus dilakukan.
“Well?” desak Pak Yudha sambil menatap penuh harap kepada Kalingga. Tampaknya Pak Yudha bisa membaca tatapan bingung Kalingga sehingga ia beralih kepada Fauzan, lalu ia terlihat kecewa saat kedua orang yang telah dipercayanya itu gagal memenuhi ekspektasinya.
“Sebenernya, saya ada satu ide,” sela Freya dengan ragu-ragu. Pandangan Pak Yudha langsung tertuju padanya.
“Okay, go on.” Pak Yudha mempersilakan Freya untuk mengutarakan ide-idenya.
Awalnya Freya ragu, tapi saat melihat mata Pak Yudha yang kembali berbinar penuh antusias saat mendengar idenya, ia jadi cukup percaya diri. Walaupun sesekali ia masih merasa tak nyaman akan cara Pak Yudha menatapnya, ia berusaha keras untuk mengesampingkan hal itu.
Pak Yudha mengangguk-angguk kecil sambil mengusap dagunya begitu Freya selesai menjelaskan idenya. Ia tampak sedang berpikir. Freya melirik Fauzan dan Kalingga dengan cemas.
“Ide kamu oke juga, Freya,” ucap Pak Yudha yang sedang membuka maskernya karena ia ingin menyeruput minumannya. Wajah ramah Pak Yudha masih tampak sedang menerawang jauh. Lalu ia kembali menatap Freya dengan penuh perhatian. Ia tampak terkesima akan apa yang baru disampaikan oleh Freya. Lagi-lagi Freya merasa tak nyaman, tanpa sadar ia menggeser posisi duduknya jadi lebih dekat dengan Fauzan.
“Kenapa, Fey?” tanya Fauzan sambil berbisik saat melihat Freya yang sibuk menarik outer yang dikenakannya agar bisa menutupi lehernya yang cukup terbuka karena ia mengenakan blouse berkerah rendah.
“Gapapa,” sahut Freya yang terdengar gugup. Kalingga memandang Freya heran.
“Jadi gimana, Pak?” tanya Kalingga berusaha mencairkan suasana yang membuat Freya tak nyaman.
“Oh, ya.” Pak Yudha seolah tersadar dari lamunannya. Ia mengalihkan pandangannya dari Freya kepada Kalingga. Kini wajah Pak Yudha tampak lebih serius.
“Menarik, menarik. Salah satu ide paling menarik yang pernah saya denger, thanks to you.” Pak Yudha menunjuk Freya, yang kini sedang tertunduk sungkan.
“So far so good. Beberapa yang disampaikan oleh Freya udah sesuai dengan apa yang saya mau, hmmm…..” Jemari tangan Pak Yudha bergerak-gerak seolah sedang mengkalkulasi sesuatu.
“Saya pikirin dulu untuk beberapa hari ini ya, masih harus saya pertimbangkan matang-matang di beberapa bagian,” sambung Pak Yudha, tak berapa lama kemudian ia melirik jam tangannya.
“Okay, saya pikir hari ini cukup sampai di sini dulu. Selanjutnya gimana akan saya kabarin,” kata Pak Yudha sambil membenahi barang bawaannya dan bersiap untuk meninggalkan tempat. Kemudian ia menjawab panggilan telepon sambil berkata, “on the way, on the way.” Nampaknya hari ini ia benar-benar sibuk.
“Bill on me. Freya, good job,” seru Pak Yudha sambil mengacungkan jempolnya kepada Freya. Kemudian tanpa repot berpamitan, Pak Yudha bergegas meninggalkan restoran.
Begitu Pak Yudha meninggalkan restoran; Kalingga, Fauzan dan Freya saling melempar tatap kemudian secara bersamaan mereka menghembuskan napas lega. Lalu secara bersamaan tanpa aba-aba, mereka kompak meneguk minuman yang sejak tadi sama sekali belum tersentuh. Mereka terlalu gugup sampai-sampai untuk minum saja rasanya sungkan.
“Gue paham maksud lo berdua sekarang,” ucap Freya dengan wajah yang terlihat sangat lega.
“Told you,” ujar Kalingga sambil mengangkat cangkir kopinya disusul oleh gelak tawa Fauzan.
---
“Fey, lo udah selesai datang bulan belom?” Sosok Kalingga tiba-tiba menyembul dari pintu pantry seraya melontarkan pertanyaan yang membuat hampir seluruh orang menoleh ke arahnya.
“Heh kenapa?” tanya Kalingga polos saat suasana ramai pantry yang mendadak senyap karena kehadirannya. Atau lebih tepatnya pertanyaannya.