Kalingga mengajak Freya mampir ke minimarket sebelum melanjutkan perjalanan pulangnya. Ia membelikan gadis itu sebotol minuman dingin. Selain untuk memuaskan dahaganya, Kalingga berharap minuman dingin itu akan dapat menenangkan perasaan Freya yang kini sedang tak karuan. Kemudian mereka duduk di kursi-kursi yang ada di depan minimarket itu; yang sengaja disediakan oleh manajemen minimarket agar para pelanggan bisa meluruskan kaki sebelum melanjutkan perjalanan atau sebagai tempat untuk sekedar menghabiskan minuman dan jajanan.
Mereka duduk dalam diam. Sebenarnya Kalingga ingin sekali bertanya lebih banyak, namun mengingat kepribadian Freya yang sedikit tertutup, ia enggan untuk bertanya lebih jauh. Bahkan untuk menjelaskan situasi tadi kepada Kalingga saja Freya nampak sangat kesulitan. Kalingga yakin, jika bukan karena kepalang tanggung dirinya telah mendengar semua yang diocehkan oleh Dokter Jihan, Freya tak akan pernah menceritakan masalahnya ini.
“Udah tiga tahun gue didiagnosa anoreksia sama dokter,” tutur Freya secara perlahan dan anehnya, tanpa keraguan sedikitpun. Seolah-olah Freya memang ingin menceritakan masalah personalnya ini kepada Kalingga.
Kalingga diam saja, ia bingung harus bereaksi apa. Ini masalah yang sensitif, pikirnya. Sekuat tenaga ia menjaga ekspresi wajahnya agar Freya tak merasa terhakimi atau tersinggung.
“Oh, sorry. Gue nggak tau,” ucap Kalingga pada akhirnya yang langsung disesalinya. Menurutnya reaksi ini kurang tepat. Kalingga langsung menatap Freya penuh perhatian, ia mencoba untuk membaca ekspresi gadis itu. Apakah kata-kata tadi membuatnya tersinggung?
“Gue udah berobat. Sempet sembuh bahkan, tapi setahun belakangan ini......... balik lagi.” Tak memedulikan reaksi Kalingga, Freya melanjutkan ceritanya. Terlihat jelas di wajahnya bahwa ia benar-benar butuh seseorang untuk mendengarkan curahan hatinya.
Kalingga masih diam saja, ia tak bertanya atau berusaha memancing agar Freya mengeluarkan seluruh unek-uneknya. Ia menunggu gadis itu siap bercerita tanpa paksaan. Masalah ini rasanya cukup berat, Freya butuh waktu untuk menguasai dirinya sendiri.
“It’s okay, take your time,” kata Kalingga saat melihat Freya yang tampak sedang berpikir keras. Freya yang sejak tadi memalingkan wajahnya dari Kalingga, akhirnya mulai menatap lelaki itu dengan tatapan yang sendu. Ia menghela napasnya yang terdengar berat beberapa kali.
“Pernah nggak sih lo merasa laper dan di hadapan lo tersaji berbagai jenis makanan yang enak-enak, tapi lo sama sekali nggak punya hasrat untuk memakannya. Kalaupun lo memaksa, entah kenapa tubuh lo selalu menemukan cara untuk menolak makanan tersebut?” keluh Freya dengan begitu cepat. Kalingga mengerti maksud ucapan Freya, ia pun pernah merasakan hal seperti itu; biasanya saat ia sakit. Tapi rasanya bukan ini yang dimaksud oleh Freya, oleh karena itu ia menggelengkan kepalanya secara perlahan.
“Kadang kalo nurutin nafsu kepengen makan apa, gue bisa makan walaupun sedikit. Tapi, yah lo tau lah gue makan kayak gimana,” sambung Freya. Kalingga mengangguk. Ia baru menyadarinya. Freya memang suka jajan, tapi sejauh pengamatan Kalingga, Freya tak pernah menghabiskan jajanannya. Ia hanya menyantap paling banyak dua potong selanjutnya Freya akan membagikan jajanannya itu kepada orang lain. Begitupun saat makan siang, tak pernah sekalipun Kalingga melihat Freya menyantap “makan siang”. Biasanya Freya hanya menyantap onigiri, roti lapis, atau kue jajanan pasar sebagai “makan siangnya”.
“Lo bukannya nggak doyan makan, tapi nggak bisa ya, Fey,” ucap Kalingga prihatin. Freya mengangguk lesu.
“Semua kata-kata lo waktu itu bener, Ling. Masalah-masalah kesehatan gue emang karena gue kurang nutrisi makanan. Gue kesel banget pas lo ngomong kayak gitu ya karena lo bener, tapi gue nggak bisa apa-apa.” Freya mengingat-ingat kejadian ketika Kalingga mengkritik habis-habisan gaya makannya yang tak sehat itu. Sementara Kalingga terpaku pada kata masalah-masalah. Bentuk jamak.
“Sorry, Fey. Gue nggak tau waktu itu. Kalo tau gue nggak bakal ngomel kayak gitu,” kata Kalingga penuh sesal. Freya tersenyum tipis.
“Ngapain minta maaf? Lo bener kok,” tegas Freya yang membuat Kalingga salah tingkah.
Suara kumandang adzan terdengar dari masjid yang letaknya persis di samping minimarket menjadi tanda bahwa hari sudah setengahnya berjalan. Kalingga melirik jam tangannya yang menunjukkan waktu hampir pukul dua belas. Freya menyandarkan kepalanya pada botol air mineral yang ada di hadapannya; matanya terpejam, dahinya mengernyit. Freya baru saja menjalani medikal cek up yang mewajibkannya puasa sejak pagi. Kini sudah tengah hari, tubuhnya pasti sudah memberikan sinyal-sinyal untuk segera diberi asupan energi.
“Bentar ya, Fey,” pamit Kalingga entah kemana, mungkin ke masjid. Freya hanya mengangguk pelan.
Sepuluh menit kemudian Kalingga kembali dengan sekantung belanjaan, isinya adalah berbagai jenis makanan yang biasa dibeli oleh Freya. Sudah masuk waktu makan siang, sebenarnya Kalingga ingin mengajak Freya untuk makan siang dengan benar. Akan tetapi mengajak makan seseorang – yang baru saja mengaku memiliki eating disorder – entah kenapa rasanya salah. Well, mungkin bukan salah. Lebih tepatnya Kalingga merasa dirinya kurang peka, walaupun tujuannya baik. Untuk itulah Kalingga memutuskan untuk membelikan “makan siang” yang biasa untuk Freya.
“Fey,” panggil Kalingga.
“Hmmm.” Freya hanya menggumam tanpa membuka matanya atau mengangkat kepalanya dari sandaran. Pasti dia mulai pusing, batin Kalingga.
“Gue nggak tau apakah tepat nyuruh lo makan ketika lo baru aja cerita kalo punya eating disorder. Tapi ini udah jam makan siang, lo dari tadi kan puasa. Makan dulu ya walaupun dikit,” ucap Kalingga dengan sangat hati-hati sambil meletakkan kantung belanjaan itu tepat di samping Freya.
“Udah minum kok,” sahut Freya masih sambil terpejam.
Mana cukup sih, batin Kalingga. Ia menghela napas panjang.
“Gue mau solat dulu. Titip ini ya.” Kalingga memutuskan untuk tak mendebat Freya. Takutnya dia malah jadi tersinggung. Kemudian ia meletakkan dompet, ponsel dan vitamin di meja dan menggesernya ke arah Freya. Gadis itu mau tak mau membuka matanya.
“Oke,” sahut Freya sambil melirik kantung belanjaan itu dengan tatapan enggan.
Lima belas menit kemudian Kalingga kembali. Ia tersenyum riang ketika mendapati Freya tengah asyik memainkan ponselnya sambil menggigit roti lapis. Di hadapannya ada dua bungkusan roti lapis yang sudah tak ada isinya serta sekotak susu yang sudah terbuka.
“Panas banget astaga,” celetuk Kalingga sambil memasukkan dompetnya kembali ke saku celana. Kemudian ia turut mengambil sebuah roti lapis dan langsung menyantapnya dengan lahap. Sebisa mungkin ia berusaha tak memperhatikan Freya yang tengah asyik makan dengan ekspresi yang jauh lebih tenang. Ia mengalihkan pandangannya pada kendaraan yang lalu lalang di tengah hari bolong ini.
Setelah menghabiskan roti lapisnya, Freya meletakkan ponselnya lalu menghabiskan susu kotaknya. Selanjutnya ia memeriksa isi kantung belanjaan tadi tapi sepertinya tak ada lagi yang menarik minatnya. Ia menghabiskan air mineralnya sebelum menelungkupkan kepalanya ke meja.
“Lo mau apaan, Fey?” tanya Kalingga. Mungkin Freya ingin makan sesuatu yang lain, pikirnya. Freya mengangkat tangannya, mengisyaratkan bahwa ia tak ingin apa-apa lagi.
“Mau pulang?” tanya Kalingga lagi. Freya mengangkat kepalanya lalu merapikan rambutnya yang tergerai berantakan.
“Kalo lagi kayak gini di kosan sendirian gue malah makin stres,” sahut Freya. Kalingga mengangguk.
“Fey,” panggil Kalingga pada Freya yang tengah melamun sambil memainkan rambutnya yang menjuntai dengan jari.
“Hmm,” sahut Freya sekenanya. Matanya masih menerawang jauh.
“Ini ada sebabnya kan? Bukan sesuatu yang tiba-tiba ada,” terka Kalingga dengan hati-hati. Freya hanya mengangguk tanpa berpaling.
“Ehm, kalo boleh tau..... apa penyebabnya?” pancing Kalingga. Mendadak Freya mengalihkan pandangannya pada Kalingga.
“Kalo gue nggak boleh tau nggak apa-apa kok,” sela Kalingga sebelum Freya sempat mengomel padanya. Freya menyeringai.
“Gue...... punya pacar. Mantan. Mantan pacar.” Freya mengoreksi kata-katanya.
“Namanya Bara. Bara Sasongko. Kita pacaran dari jaman kuliah semester enam kalo nggak salah. Dia baik banget, ganteng pula. Bahkan boleh dibilang dia itu berada di atas standar gue. Di angkatan gue banyak banget yang naksir sama dia, angkatan bawah? Nggak usah ditanya. Dia itu kakak tingkat favorit di kampus gue,” tutur Freya. Ia menghela napas panjang, sepertinya ceritanya akan panjang.
“Hubungan kami lancar. Walaupun tampangnya Bara kayak playboy dan sedikit genit tapi nggak pernah neko-neko sih. Semua masih dalam batas wajar pokoknya.” Wajah Freya tampak berseri-seri saat menuturkan ceritanya. Tampaknya ia sedang mengingat sebuah kenangan manis.
“Terus?” tanya Kalingga, membuyarkan pikiran Freya yang sedang diawang-awang.
“Yaaa, hubungan kita pada awalnya berjalan mulus sih, Ling. Tapi kemudian gue penasaran. Seperti yang gue bilang tadi, dia itu berada di atas standar gue. Ganteng banget lah pokoknya dibanding mantan-mantan gue yang dulu. Pertama-tama gue kepoin mantan-mantannya dia. Dan ternyataaa...... mantannya cantik-cantik banget, Ling. Tipikal model gitu deh. Tinggi semampai, kulit bagus, rambut bagus, badan bagus. Pokoknya seleranya dia oke banget,” seru Freya dengan antusias.
“Hmmm,” gumam Kalingga yang entah kenapa bisa menebak kemana arah ceritanya.
“Selanjutnya gue jadi insecure sendiri. Dia yang ganteng banget kok mau ya pacaran sama gue yang biasa aja ini. Okelah tampang gue emang gak mengecewakan tapi ya nggak selevel sama mantan-mantannya. Saat itu gue menahan diri untuk nggak jatuh cinta terlalu dalam sama dia. Gue takut dimainin terus malah jadi sakit hati. Ya nggak?” Kalingga menangkap banyak nada sarkasme dalam tuturan cerita Freya. Kalingga tak mengiyakan pertanyaan Freya yang menurutnya seperti jebakan.
“Tapi ternyata keresahan gue itu sama sekali nggak beralasan. Dia beneran sayaaaaang banget sama gue. Gue merasa beruntung banget punya dia tau nggak. Hubungan kami berlanjut dengan sangat baik. Sampai wisuda. Sampai masing-masing dari kita dapet kerjaan di bidang masing-masing.” Lagi-lagi ada nada sarkasme dalam nada suaranya Freya.
“Awet ya,” sahut Kalingga. Freya hanya mengangkat alisnya.
“FYI, dia anak broadcasting. Nggak lama abis wisuda dia ngelamar kerja ke stasiun TV baru yang lagi naik daun. Alhamdulillahnya langsung diterima. Dia dipercaya buat jadi tim produksi sebuah talkshow yang ngehits banget di stasiun TV itu. Lo pasti tau deh apa yang gue maksud.” Dahi Kalingga mengernyit, ia tampak sedang berpikir. Beberapa detik kemudian ia membulatkan mulutnya seraya berkata “oh”. Ia memahami maksud ucapan Freya.
“Terus terus?” tanya Kalingga dengan antusias. Freya mendengus.
“Nah udah mulai masuk masalahnya nih. Lo tau lah ya, Ling, kehidupan orang TV itu kayak gimana? Jadwal syuting padet banget, kadang lembur sampe malam bahkan beberapa kali sampai pagi. Saat itu komunikasi kita sempet sedikit terhambat. Jadinya sering berantem kecil-kecil.” Ada penyesalan yang tersirat di wajah Freya saat ia bercerita.
“Kan tadi gue bilang ya kalo dia itu sedikit genit, walaupun menurut gue itu masih di batas wajar. Nah sejak kerja di TV entah kenapa gue merasa sifat genitnya ini agak mengancam posisi gue. Gimana nggak merasa terancam kalo pacar genit lo tiap hari kerja bareng artis yang cantik-cantik banget? I mean, banyak skandal yang berawal dari sini kan?” ucap Freya dengan nada serius sambil memutar-mutar cincin yang berada di telunjuk kirinya.
“Oh, gue kayaknya tau nih arahnya kemana?” ucap Kalingga penuh percaya diri.
“Oh ya? I don’t think so,” cibir Freya. Kalingga hanya mengangkat bahunya.
“Jadiiiii, karena gue merasa sedikit terancam. Gue mikir, kayaknya gue perlu melakukan sesuatu nih. So, I tried to pleased him. Dengan cara mulai mengubah diri gue sedikit demi sedikit.” Freya sedikit bergidik saat mengucapkan kalimat terakhir, seolah-olah ia merasa hina akan pengakuan itu.
“Maksudnya?” sahut Kalingga tak mengerti maksudnya.
“Dari dulu gue tuh nggak pernah peduli sama yang namanya penampilan atau make up. Ya begini aja. Tapi untuk menyenangkan hatinya gue mulai belajar make up, belajar mix and match baju supaya modis. Pokoknya gue pengen dia melihat gue kurang lebih sama seperti pemandangannya sehari-hari. Penuh dengan kecantikan, keindahan, keglamoran dan sebagainya,” terang Freya. Kalingga mengangguk kecil.
“Gue tebak, dia nggak suka dengan perubahan lo?” tebak Kalingga sok tahu. Freya menggeleng kuat-kuat.
“Lo salah. Dia malah suka banget sama perubahan yang gue lakukan. Bahkan cenderung berlebihan, dia nggak ada habisnya muji gue cantik. Terus cara dia ngeliat gue juga berubah, kayak excited banget gitu, Ling. Sama kayak dia ngeliat artis-artis yang sering seliweran di depan matanya,” bantah Freya dengan bangga.
“Hmm,” sahut Kalingga asal.
“Sejak saat itu hubungan kami yang sempet renggang sedikit jadi membaik. Bahkan dia sering ajak gue ke studio TV. Gue dikenalin sama temen-temennya bahkan sama para artisnya. Saat itu gue bangga banget sama diri gue sendiri. Bangga akan keputusan gue untuk berubah. Tapi sayangnya ternyata keputusan itu malah jadi bumerang buat gue.” Antusiasme Freya yang sejak tadi mewarnai ceritanya mendadak menghilang. Berganti dengan nada sendu.