Playlist Patah Hati Kalingga

irma nur azizah
Chapter #13

Fix You

Freya datang pagi-pagi sekali. Bahkan sebelum Mas Anto si office boy membuka pintu ruangan. Akibatnya Freya harus menanti sekitar sepuluh menit sampai akhirnya Mas Anto datang dan buru-buru membuka ruangan.

“Tumben, Mba, pagi bener,” ucap Mas Anto yang tangannya sibuk memilah kunci ruangan.

“Iya nih, saya bangun kepagian tadi. Langsung jalan aja deh ke kantor,” sahut Freya dengan ramah. Itu benar, hari ini Freya memang bangun lebih pagi dari biasanya. Bahkan ia mendahului alarm yang selalu berdering pada pukul lima pagi untuk membangunkannya. Hari ini Freya bangun pagi sekali, ketika speaker masjid-masjid di sekitar kosnya masih melantunkan suara ngaji yang memang biasa terdengar sebelum kumandang adzan subuh.

Semalam tidurnya nyenyak sekali. Mungkin karena lelah setelah aktivitas di hari sebelumnya dan juga pikirannya yang sedikit lebih tenang setelah menceritakan beberapa masalahnya kepada Kalingga, pada pukul sepuluh malam ia sudah terlelap. Ini bisa dibilang rekor untuknya karena biasanya Freya baru akan bisa terlelap ketika waktu sudah melewati tengah malam. Kualitas tidur yang baik memang kunci dari segalanya, Freya berpikir. Hari memang masih pagi, akan tetapi Freya bisa mengatakan bahwa hari ini akan menjadi hari yang baik untuknya. Ia merasa segar dan bersemangat. Moodnya hari ini benar-benar sedang dalam kondisi baik. 

Freya melakukan aktivitas rutin paginya sambil mendengarkan musik dan sesekali menyesap teh hangat yang dibawanya dari kosan; juga mengudap bakwan jagung hangat pemberian Mas Anto. Sekali lagi Freya berpikir, hari ini akan menjadi hari yang baik. Ketika derap-derap langkah para karyawan mulai terdengar ramai berlalu-lalang, Freya baru teringat bahwa ia harus melakukan sesuatu. Ia kemudian mengeluarkan sebuah map dengan logo rumah sakit dari tasnya dan mulai berjalan menuju ruangan Bu Mina. Setelah meminta izin kepada Mas Anto untuk memasuki ruangan Bu Mina, Freya segera meletakkan map tadi di meja kerja Bu Mina. Ia terlihat ragu untuk sejenak tapi akhirnya setelah meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja, Freya keluar ruangan dengan hati yang lebih tenang.

Ketika kembali ke ruangan Freya sedikit terkejut kala mendapati sebuah kotak makan berwarna ungu yang teronggok di mejanya. Sesuatu yang tak ada di sana saat ia meninggalkan mejanya. Ia melirik meja Kalingga, belum ada tanda-tanda kehadirannya jadi tak mungkin kotak makan ini miliknya. Lalu melirik meja Fauzan, yang juga belum menunjukkan tanda-tanda kehadiran pemiliknya. 

“Masa punya Mas Anto, sih?” gumam Freya sambil meraih kotak makan itu dan bergegas ke luar ruangan untuk menemui Mas Anto. 

“Aduh!” Fauzan dan Freya sama-sama mengaduh kesakitan ketika pintu ruangan terbuka. Fauzan yang abai dengan sekitarnya karena sedang sibuk mengeringkan tangannya yang basah terantuk pintu ruangan yang Freya buka dengan tergesa.

Sorry, Jan, gue nggak lihat,” seru Freya penuh sesal. 

“Aduh, hidung gue patah nih, Fey. Lagian lo mau kemana sih? Buru-buru amat,” protes Fauzan sambil menggosok hidungnya yang terkena ujung pintu.

“Mau nyari Mas Anto. Ini maksudnya apaan naro beginian di meja gue,” kata Freya sambil memperlihatkan kotak makan ungu itu kepada Fauzan.

“Ooh itu mah dari gue, Fey. Isinya jagung rebus, nyokap gue yang bikin. Makan deh buat sarapan, rejeki lo karena dateng pagi tuh,” ucap Fauzan. Freya meliriknya curiga. Pasalnya selama ia bekerja di sini, tak pernah sekalipun Fauzan membawa makanan dari rumah. Berbanding terbalik dengan Kalingga yang tak pernah absen membawa masakan buatan sang mama. 

“Tumben,” sahut Freya heran. Ia masih menatap Fauzan penuh selidik. Apakah Kalingga sudah menceritakan perihal masalahnya kemarin kepada Fauzan? Mengingat dua orang itu berteman sangat dekat. Jika benar sebenarnya tak masalah sih. Toh, Freya sendiri tak pernah meminta Kalingga untuk merahasiakan hal ini. Akan tetapi rasanya akan lebih baik jika Kalingga meminta izin dulu.

“Nggak tau tuh nyokap gue tau-tau bikin jagung rebus banyak banget. Karena kebanyakan gue disuruh bawa deh ke kantor, nanti di rumah malah nggak ada yang makan,” jawab Fauzan.

“Hmmm,” gumam Freya yang masih belum memutuskan apakah akan mempercayai jawaban Fauzan atau tidak.

“Makan, Fey. Mumpung masih hangat, enak deh. Manis!” Oke, sepertinya Fauzan cukup meyakinkan. Freya membuka kotak makan dan aroma khas jagung rebus yang manis langsung menguar di udara. Ia mengambil sepotong dan mulai mencicipinya. 

“Beneran manis loh!” seru Freya dengan riang, satu tangannya menyodorkan kotak makan itu pada Fauzan.

“Abisin aja, gue udah makan banyak tadi di rumah. Gue mau turun dulu Fey, lo mau nitip apa?” tolak Fauzan. Freya menggeleng. 

“Nggak usah, makasih. Gue udah punya banyak makanan,” tolak Freya sambil menunjuk bakwan yang ada di mejanya.

“Ya udah.” Fauzan melesat pergi. Seperti biasa, jika ia datang terlalu pagi Fauzan akan turun dulu ke parkiran untuk merokok bersama dengan para cleaning service, office boy atau karyawan lain. Biasanya juga, Freya akan meminta tolong untuk dibelikan beberapa jenis jajanan pasar yang dijual oleh salah satu cleaning service di sana.

Freya melirik jam dinding dengan gelisah. Ia tak sabar menanti kehadiran Kalingga. Ia ingin bertanya apakah Kalingga sudah menceritakan masalahnya kepada Fauzan atau belum. Tapi tak seperti biasanya, Kalingga belum juga menampakkan batang hidungnya. 

“Tumben banget lo belum nyampe, Ling,” tutur Freya kepada kursi Kalingga yang kosong.

“Apaan?” tanya Kalingga yang baru saja memasuki ruangan, membuat Freya terkejut. 

“Ah, elo ngagetin gue aja, Ling!” omel Freya sambil langsung menghampiri Kalingga yang sedang berjalan menuju mejanya.

“Tumben baru dateng,” kata Freya.

“Ada urusan bentar,” balas Kalingga sambil menyampirkan jaketnya ke lengan kursinya. “Kenapa?” Kalingga memperhatikan wajah Freya yang sedikit cemas.

“Ada yang pengen gue omongin,” ucap Freya dengan ragu-ragu. Kalingga buru-buru bangkit untuk menutup pintu ruangan. Sepertinya Freya ingin berbicara dengan serius, dan dirinya ingin memberi privasi untuk Freya.

“Okay, lo bisa ngomong sekarang,” ucap Kalingga sambil membelakangi pintu. Satu tangannya berada di belakang badannya untuk memegangi gagang pintu; berjaga-jaga jika ada seseorang yang seenaknya masuk.

“Eh, iya.” Freya kembali ke mejanya sambil memperhatikan Kalingga. Ia heran akan sikapnya. Sedetik kemudian, berkat sikap Kalingga barusan, Freya jadi menyadari sesuatu. Lalu ia terkikik geli sambil menggelengkan kepalanya.

“Kenapa, Fey?” Sekarang giliran Kalingga yang heran dengan sikap Freya.

Freya beranjak dari kursi dan mengambil kotak makan berisi jagung tadi. “Nggak apa-apa, gue cuma mau nawarin ini. Dari Ojan. Makan deh, mumpung masih hangat. Manis!” Freya mengulang kata-katanya Fauzan tadi. Kalingga sungguh terheran, dengan ragu-ragu ia mengambil kotak makanan yang disodorkan Freya.

“Lo mau ngomong ini?” tanya Kalingga tak percaya. Freya mengangguk mantap. Kalingga mengambil sepotong jagung yang sebenarnya sudah mulai dingin dan mulai menggigitnya. Memang manis, batin Kalingga. 

JDUK!!

“Awwww!” Kalingga mengaduh kesakitan saat pintu terbuka dengan kasar dan membentur sikunya, seluruh tangannya terasa bergetar sekarang.

“Pelan-pelan kenapa sih!” Omel Kalingga sambil mengusap-usap sikunya.

Sorry, sorry. Lagian kenapa pintunya lo tahan sih, Ga? Emang kalian lagi ngapain?” si pelaku, Fauzan langsung melontarkan protes.

“Eh?”

“He?” Kalingga dan Freya menyahut asal saat mendengar pertanyaan Fauzan. Entah kenapa situasinya mendadak canggung. Kalingga dan Freya saling menghindari kontak mata.

“Nggak ngapa-ngapain, orang kita lagi makan jagung rebus,” seru Freya sambil mengambil kembali kotak makan berisi jagung. Kalingga masih meringis kesakitan.

“Oh,” sahut Fauzan yang dari nadanya terdengar mencurigakan, matanya masih tak lepas dari Kalingga dan Freya yang terlihat salah tingkah. Hari ini kenapa banyak sekali kejadian yang tak biasa sih? batin Fauzan.

Mereka kembali ke meja masing-masing untuk memulai pekerjaan. Ketika Fauzan melewati mejanya, Freya langsung menatapnya penuh arti. Entah apa maksudnya. Kemudian gadis itu mengendus-endus.

“Iiiiih Ojan kan udah gue bilang kalo abis ngerokok tuh pake parfum kenapa sih? Bau asap tau nggak!” omel Freya sambil menyemprot tubuh Fauzan dengan body mistnya secara berlebihan sampai Fauzan terbatuk-batuk karena aromanya yang terlalu menyengat.

“Adududuh gila lo mau bunuh gue ya?!” omel Fauzan sambil menghindar dari serangan wewangian Freya. Well, yah. Ini baru hal yang biasa terjadi, batin Fauzan sambil terkekeh.

“Mama,” panggil Kalingga dengan riang kepada sang mama yang tengah sibuk memasak makan malam di dapur. Sang mama tak menanggapi, mungkin karena panggilan lembut Kalingga teredam oleh suara desis dari tumisan yang sedang dimasaknya. Melihat hal ini Kalingga langsung menghampiri sang mama.

“Mama.” Kalingga mengulang panggilannya. Kali ini sang mama mendengarnya dan langsung menoleh kepada Kalingga.

“Kamu mau minta izin apa lagi hah?” desak sang mama yang sudah paham sekali akan tabiat anaknya. Kapanpun Kalingga merengek seperti ini, pasti ada sesuatu yang dipintanya.

“Hehe, mama tau aja,” sahut Kalingga sambil mesam-mesem. Mama menatapnya penuh selidik.

“Mau ngapain kamu? Mau pergi?” tanya sang mama bertubi-tubi sambil mencicipi masakannya.

“Nggak,” sanggah Kalingga.

“Terus?” desak sang mama. Satu tangannya sibuk mematikan kompor sementara tangan yang lain mengisyaratkan Kalingga untuk mengambilkannya piring.

“Mau minta tolong,” kata Kalingga sambil menyerahkan piring kepada sang mama.

“Tolong apa?” sang mama masih dengan gesit bergerak di dapur. Mempersiapkan segala lauk pauk dan juga membereskan dapur. Kalingga terus mengekor gerakannya sampai sang mama kagok sendiri.

“Ih, ngapain ngintilin mamanya sih, Dek! Udah ngomong aja cepetan jangan sepotong-potong gitu,” hardik mamanya dengan kesal karena anaknya malah merecokinya.

“Minta tolong mulai besok bawa makannya lebihin ya, Ma,” pinta Kalingga yang menimbulkan reaksi heran dari sang mama.

“Selama ini kurang?” tanya sang mama.

“Nggak sih. Cukup kok. Cuman nggak cukup kalo buat dua orang,” jawab Kalingga yang tangannya sedang usil mencomot lauk pauk.

“Dua orang?” Sang mama heran, tumben sekali anaknya meminta jatah makanan untuk dua orang. “Ih, kamu udah cuci tangan belum? Asal comot aja!” Mama mengomel sambil memukul tangan Kalingga dengan sendok.

“Iya. Satu lagi buat Freya,” sahut Kalingga yang tak menghiraukan omelan mamanya. Ia masih saja sibuk mencomot lauk pauk dengan tangan kosongnya.

“Yang waktu itu pingsan? Emang dia kenapa, Dek?” Ekspresi kekhawatiran khas seorang ibu mendadak muncul di wajah sang mama. Membuat Kalingga salah tingkah, bagaimana ia akan menjelaskan semuanya kepada sang mama?

“Eng, intinya Freya lagi butuh bantuan. Aku pengen bantuin, salah satu caranya ya begini,” jelas Kalingga. Mama mengernyitkan dahi, ia tak memahami maksud perkataan anaknya yang berbelit-balit.

“Mama nggak ngerti,” sahut sang mama sambil melipat kedua tangannya di dada.

“Duh. Aku nggak bisa cerita lebih banyak karena Freya belum ngasih aku izin buat cerita. Pokoknya intinya gitu deh. Aku mau bantuin Freya,” kata Kalingga dengan serba salah. Ia tak ingin menyembunyikan sesuatu dari mamanya tapi tak mungkin ia bercerita tentang masalah Freya tanpa sepengetahuan gadis itu.

“Hmmm,” gumam sang mama berusaha memaklumi anaknya.

“Boleh ya?” Kalingga memohon.

“Iya boleh. Tapi emang kamu yakin Freya suka sama masakannya mama?” Kalingga bersorak kegirangan.

“Siapa sih yang nggak suka sama masakannya mama? Masakannya mama tuh terenak sedunia,” puji Kalingga sambil memeluk mamanya.

“Ah, kamu mah lebay. Udah sana mandi, kamu bau matahari. Abis itu kita makan malam,” kata sang mama sambil menepuk pipi Kalingga. 

“Makasih ya, Ma.” Kalingga mempererat pelukannya sampai sang mama mengaduh kesakitan. Kemudian ia segera lari menuju ke lantai atas sebelum sang mama memukulnya kembali dengan sendok.

“Apaan nih?”

“Makanan.”

“Gue juga tau itu, Kalingga. Maksud gue buat apa?”

“Buat dimakan.”

“Gue juga ta - -. Maksud gue kenapa lo nunjukkin makanan ini ke gue? Mau pamer apa gimana sih?”

“Bukan. Itu makanan dari nyokap gue, buat lo. Buat makan siang.” 

Freya memicing. “Okay, what the hell?” 

Kalingga merangkul tubuh Freya kemudian berbisik, “gue mau bantuin lo, Fey. Mulai sekarang, gue akan bawain lo makan siang. Lo harus terima, gak boleh protes!” 

Wait, what?” Freya sangat terkejut saat mendengar pernyataan Kalingga. Siapa yang memberinya izin untuk melakukan hal itu? 

“Jatah gue mana, Ga?” tanya Fauzan dengan tiba-tiba. Sejak tadi ia memang asyik sekali memerhatikan gerak-gerik mencurigakan Kalingga dan Freya. Tampaknya mereka berdua sedang sangat serius berbicara sampai-sampai tak menyadari kehadirannya. Mendengar hal ini, sontak Freya dan Kalingga saling menjauh. Situasi menjadi sedikit canggung. Fauzan jadi semakin curiga. Ia hanya memandang Freya dan Kalingga dengan pandangan penuh tanya, membuat Freya sedikit gelisah.

“Apanya yang mana?” tanya Kalingga berusaha mencairkan suasana yang tegang sambil berjalan kembali ke kursinya.

“Freya doang nih yang dikasih?” cibir Fauzan sambil melirik makanan yang ada di mejanya Freya.

“Oh, itu—”

“Ini tuh bisnis tau!” sela Freya sebelum Kalingga menjawab. Ia tak ingin Kalingga salah menjawab.

“Hooo,” sahut Fauzan asal. Ia masih tak sepenuhnya percaya karena baik Freya masih berdebat dengan sembunyi-sembunyi. 

TING! TING! 

Dering notifikasi pesan masuk di ponsel Freya mengakhiri situasi canggung ini. Dengan segera ia mengusap layar ponselnya untuk membaca pesan yang masuk. Matanya kembali memicing kala membaca pesan tersebut, yaitu :

“Dimakan ya, Fey. Itu masakan seorang ibu. Kalo ga dimakan, dosa!” Freya bisa membayangkan suara menyebalkan Kalingga saat ia membaca pesan dari Kalingga yang baru saja diterimanya. Di seberang Freya, terlihat Kalingga sedang tersenyum penuh kemenangan. Freya semakin jengkel melihatnya.

Pada awalnya Freya merasa terbebani dengan makanan yang diberikan oleh Kalingga karena dua alasan. Pertama, karena makanan ini secara khusus disiapkan oleh mamanya Kalingga; padahal ia belum begitu mengenal dekat mama Kalingga, tapi beliau sudah bersedia menyiapkan makan siang untuknya. Tentu saja Freya tak kuasa menolaknya. Dan yang kedua, karena ia tak terbiasa untuk makan berat. Selama hampir setahun terakhir ini pola makannya sama sekali tak sehat dan tak beraturan. Freya selalu merasa gelisah kala membuka kotak makan dan melihat berbagai jenis makanan sehat yang dibuatkan untuknya. 

“Brengsek, beban moral gue gede banget!” keluh Freya sambil menatap sedih makanan itu. Freya menghela napas beberapa kali sebelum akhirnya mulai menyantap makanan tersebut. Ia melirik kiri dan kanannya, kosong; karena hampir seluruh penghuninya sedang turun untuk makan siang. Baguslah, pikirnya. 

Well, not bad,” batinnya pada suapan pertama. Ternyata, tak butuh waktu lama bagi Freya untuk menghabiskan makanan itu. Entah karena terbuai oleh rasa masakan mama Kalingga yang memang sangat memanjakan lidah atau memang tubuhnya yang sudah sangat merindukan makan siang yang lengkap; lima belas menit kemudian Freya merasa heran sekaligus kagum sendiri saat melihat kotak makanannya yang sudah bersih tanpa sisa. 

“Gue…. bisa makan sebanyak ini?” tanya Freya pada diri sendiri. Kemudian ia memandang kursi Kalingga yang kosong karena pemiliknya sedang makan siang di kantin bawah. 

I hate you,” seru Freya sambil beranjak menuju pantry untuk mencuci kotak makannya.

Lihat selengkapnya