Hal pertama yang dilakukan Kalingga ketika sampai di rumah adalah memberitahu sang mama bahwa mulai besok dan seterusnya sang mama tak perlu lagi menyiapkan porsi makanan untuk Freya. Kalingga memutuskan untuk berhenti membantu Freya, sampai setidaknya kata-kata itu meluncur sendiri dari mulutnya.
“Kamu pasti berantem lagi ya sama Freya?” tuduh sang mama usai Kalingga menceritakan situasinya.
“Hmm. Ya dan tidak,” sahut Kalingga asal.
“Maksudnya?”
“Mungkin kami,..... agak berantem?” Kalingga terdengar tak yakin. Sementara mata sang mama menatapnya tajam. “Agak berantem itu gimana sih, Dek?”
Mama menghentikan kegiatan menyiangi sayurannya di dapur dan menghampiri bujang semata wayangnya itu yang sedang duduk dengan gelisah di kursi ruang makan.
“Yah, bukan berantem kayak waktu itu sih, Ma. Cuma….. ternyata apa yang selama ini aku lakukan untuk bantu Freya sama sekali nggak membuat Freya lebih baik. Malah bikin keadaan tambah buruk. Kata Ojan aku terlalu gegabah ambil keputusan secara sepihak. Kata Ojan bukan begini caranya bantu Freya. Emang sih, Freya nggak ngomel atau bilang marah sama aku tapi kayaknya sih dia marah, Ma. Keliatan banget kalo dia benci sama aku. Ah, aku pusing jadinya!” jelas Kalingga panjang lebar. Sang mama yang sama sekali tak mengerti konteksnya hanya bisa berusaha memaklumi segala keluh kesah anaknya.
“Emang sebenernya ada masalah apa sih, Dek? Kok kayaknya rumit banget.” Bagaimanapun sang mama berusaha memaklumi, hatinya tetap diliputi rasa penasaran.
Kalingga menatap mata mamanya dalam, ia terlihat sedang mempertimbangkan.
“Nggak sekarang deh, Ma. Aku nggak mau salah langkah lagi. Nanti kalo aku cerita tanpa sepengetahuan Freya malah makin benci dia sama aku,” sahut Kalingga. Freya mungkin bisa memaafkan saat Kalingga bercerita pada Fauzan, mengingat Freya dan Fauzan cukup akrab. Tapi dengan sang mama yang jelas-jelas tak ada hubungan pertemanan sama sekali. Rasanya Freya tak akan pernah memaafkan kelancangannya yang satu ini.
“Ya udah kalo gitu, mama juga nggak maksa kamu untuk cerita. Mama cuma mau pesen, apapun masalahnya sebisa mungkin dicari jalan keluarnya. Jangan dibiarkan berlarut-larut. Malu ah, udah pada dewasa berantemnya masih kayak anak SMA,” nasihat sang mama. Kalingga hanya mengangguk kecil lalu ia bergelung di pangkuan sang mama.
“Udah jangan gelisah terus ah, nggak baik. Kamu nih akhir-akhir ini gampang banget emosi deh, Dek. Apalagi kalo udah berkaitan sama Freya, kayaknya kamu kesel terus. Jangan-jangan……..” Sang mama tak melanjutkan kalimatnya.
“Jangan-jangan apa?” sahut Kalingga kesal.
“Jangan-jangan kamu suka ya sama Freya?” tebak sang mama sambil tersenyum usil.
“Hah?! Ya enggak lah! Emang aku terlihat sedesperate itu apa sampe mama mikir aku naksir sama Freya?” Mendadak Kalingga bangkit dan entah kenapa terlihat berang sekali akan ucapan mamanya barusan.
“Ya udah nggak usah marah dong, Dek. Mama kan cuma tanya, kamu nggak perlu ngomong kayak begitu,” tegur sang mama. “Freya itu kan anaknya baik, cantik, manis lagi. Jadi mama pikir…….”
“Udah ah, nggak usah ngebahas Freya lagi. Mama nih bikin aku tambah jengkel aja deh.” Kalingga mengomel sambil bergegas naik ke kamarnya dengan jengkel.
“Nanti kalo jatuh cinta awas yaaa…..” ucap sang mama pelan dengan wajah yang mengejek sambil kembali menyiangi sayurannya.
—
Semakin diamati, Kalingga semakin menyadari bahwa Freya memang terlihat jauh lebih nyaman dengan semua bantuan yang diberikan oleh Fauzan. Sebagai contohnya, kini Fauzan-lah yang mengambil tugas Kalingga yang dulunya selalu menyiapkan makanan untuk Freya. Dan Freya selalu menerimanya dengan senang hati, tanpa protes atau wajah cemberut dari Freya. Memang pendekatan yang dilakukan Fauzan dan Kalingga cukup jauh berbeda. Jika sebelumnya Kalingga cenderung memaksa Freya mengonsumsi makanan berat yang ternyata di luar batas kemampuan makannya. Maka Fauzan hanya memberikan “secuil” makanan yang sedang ia makan. Setiap kali Fauzan sedang makan atau mengudap sesuatu, ia pasti langsung membagi dua makanan itu dan memberikan separuhnya kepada Freya. Sedikit-sedikit memang, tapi cukup sering. Sehingga tanpa disadari Freya telah memasukkan berbagai jenis makanan ke dalam perutnya.
“An apple a day keeps the doctor away,” ujar Fauzan sambil melempar apel yang sudah terbelah dua kepada Freya. Begitu menerimanya, Freya langsung menggigit potongan apel itu dengan lahap.
“Nih, udah gue ambilin biar lo nggak usah pada berebut sama cewek-cewek ganas itu.” Fauzan menyerahkan sebuah boks makanan kepada Kalingga.
“Heh, dari mana?” Kalingga menerimanya dengan heran. Ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore. Jika boks makanan ini ditujukan untuk makan siang, maka sudah terlewat cukup jauh waktunya.
“Ci Yinha ulang tahun. Orangnya nggak bisa dateng makanya ngirim makanan,” jelas Fauzan.
“Huu padahal kalo orangnya dateng kita bisa party ya, Jan,” keluh Kalingga.
Fauzan menyeret kursinya dan duduk di sebelah Freya yang sejak tadi sedang serius menatap layar komputernya.
“Lagi apa sih, Fey?” tanya Fauzan penasaran sambil membuka boks makanan. Matanya berbinar kala melihat isinya yang berupa nasi kuning komplit dari layanan katering yang sudah cukup terkenal di kalangan perkantoran.
“Gue mau pindah kos!” seru Freya dengan jengkel. Matanya masih tak lepas dari layar komputer, menelusuri situs-situs yang menyediakan jasa penyewaan rumah kos.
“Loh kenapa? Yang sekarang kan enak.” Fauzan menyodorkan sesuap nasi kuning di depan mulut Freya.
“Abis gue kesel,” keluh Freya dengan mulutnya yang penuh dengan nasi kuning. “Masa tiba-tiba seluruh penghuni kos bakal ditagih biaya tambahan sebesar dua ratus ribu mulai bulan depan. Katanya gara-gara WFH kemaren tagihan wifi dan listrik jadi membengkak,” sambung Freya setelah menelan makanannnya.
“Padahal kan gue nggak pernah pake wifi kosan. Lemot banget! Gue pake modem sendiri kok. Sedangkan untuk listrik, emang gue pake apa sih selain laptop, AC, lampu sama charger HP? Magic com aja gue nggak pake! Enak aja mau dipukul rata!” Freya masih mengomel dan Fauzan masih terus menyuapinya dengan makanan.
“Ya nggak bisa gitu dong harusnya. Rugi yang nggak pake wifi dong,” susul Fauzan sambil mengigit sepotong ayam.
“Emang biaya tambahannya itu cuma buat bulan depan apa seterusnya?” Kalingga berusaha menengahi.
“Sampe seterusnya! Gila nggak? Alasannya karena masih banyak yang WFH. Heran gue, mau naik haji kali ya yang punya.” Freya menggerutu.
“Hmmm. Coba diomongin aja dulu,” saran Kalingga.
“Percuma, buang-buang energi aja.” Freya sedikit melempar mousenya karena kesal tak kunjung menemukan rumah kos baru yang sesuai dengan kriterianya. Ia melirik Fauzan yang masih asyik makan.
“Pisangnya boleh buat gue?” pinta Freya sambil menunjuk sebuah pisang yang diletakkan Fauzan di atas tutup nasi boks.
“Makan aja. Nih kalo kurang?” tawar Fauzan sambil menyodorkan boks nasi yang merupakan jatahnya Freya.
“Nggak usah, buat lo bawa pulang aja. Gue cukup ngerecokin lo makan,” tolak Freya. Fauzan kembali menyuapinya makanan.
“Coba di belakang gedung ini, Fey. Kan banyak rumah kos tuh,” saran Kalingga.
“Mahal, Ling. Kalo gaji gue dua digit sih gapapa,” keluh Freya.
“Hmm,” gumam Kalingga. Ia sudah buntu. Ia sudah mengeluarkan semua saran terbaiknya.
“Coba buka link ini deh,” saran Fauzan sambil menunjukkan satu link website yang dari ponselnya. Freya meraih ponsel itu dan mulai mengetik linknya.
“Kalo ga salah di web itu kita bisa sekalian masukin budget,” ucap Fauzan.
“Wah, iya bener!” seru Freya. Ia langsung bersemangat lagi untuk mencari rumah kos baru yang sesuai dengan kriterianya.
Freya masih asyik menelusuri halaman web tersebut sambil sesekali membuat mencatat alamat kos yang menjadi incarannya. Ia sudah mendapat beberapa kandidat, selanjutnya tinggal survei lokasi.
“Eh, nama jalan ini nggak asing deh. Pernah denger ga?” tanya Freya pada Kalingga. Namun sayangnya Kalingga tak terlalu mengenal daerah itu sehingga ia menggeleng.
“Ini mah jalan di belakangnya gedung Da Vinci,” seru Fauzan saat membaca alamatnya. “Lo serius harga segitu ada di wilayah itu?” tanya Fauzan heran. Pasalnya wilayah yang alamatnya dicatat oleh Freya masih termasuk wilayah yang cukup elit. Rasanya sedikit mustahil kalau biaya sewa kosnya ternyata cukup terjangkau.
“Gedung Da Vinci?” Freya berusaha mengingat-ingat. Rasanya ia tak asing dengan nama itu.
“Itu loh apartemen yang nuansanya klasik. Yang selalu lo bilang museum atau galeri seni.” Kalingga memberitahunya.
“Ooh gedung itu. Hah, itu apartemen?” seru Freya tak percaya. Kalingga mengangguk.
“Masa sih? Kok kayaknya tiap gue lewat kayak nggak berpenghuni ya? Kesannya malah angker,” sahut Fauzan.
“Itu apartemen. Model penthouse gitu sih, jadinya eksklusif banget. Kalau mau bertamu pun nggak bisa sembarangan,” timpal Kalingga.
“Oooh,” sahut Freya dan Fauzan berbarengan.
“Rakyat jelata kayak kita mah nggak bisa relate, Fey, hahaha,” celetuk Fauzan sambil terkekeh.
“Unitnya disewakan terbatas hanya untuk tiga puluh keluarga. Jadi ya, lo bayangin deh seekslusif apa keluarga-keluarga yang tinggal di sana, haha.” Kalingga melanjutkan informasi yang diketahuinya.
“Dalemnya kayak apa ya? Gue penasaran,” seru Freya yang wajahnya terlihat terkesima.
“Pasti angker, dari luar aja udah keliatan kayak gitu. Dalemnya pasti banyak setannya. Kayak rumah-rumah di film horor,” balas Fauzan sok tahu.
“Nggak kok. Luarnya emang terkesan nggak terawat. Tapi dalemnya mewah banget, kayak kastil-kastil di Eropa deh. Dan cukup modern juga kok, soalnya ada spa, gym, sauna dan semacamnya,” bantah Kalingga.
“Kok lo tau banyak sih, Ling? Lo pernah ke sana?” tanya Freya yang penasaran karena dari caranya bercerita, seolah-olah Kalingga sudah pernah masuk ke gedung itu.
“Sering waktu SMA,” jawab Kalingga dengan enteng. Fauzan terkejut sampai ia hampir tersedak minumannya.
“Hah? Lo pernah ke sana? Kata lo kan bahkan untuk bertamu aja susah.” Fauzan keheranan, ia tahu bahwa Kalingga termasuk keluarga yang cukup berada. Tapi ia tak pernah menyangka bahwa Kalingga cukup berada bahkan untuk memiliki kerabat yang tinggal di sebuah penthouse mewah dan eksklusif.
“Susah bukan berarti nggak bisa kan, Jan? Emang sih harus punya janji temu dulu terus pas di dalem pun bakal dianter bahkan ditungguin sampe urusannya selesai sama petugas di sana,” terang Kalingga.
“Lo punya keluarga yang tinggal di sana, Ling?” tanya Freya dengan antusias.
“Bukan keluarga. Tapi dokter gue. Inget kan gue pernah cerita kalo pas SMA itu gue sempet rutin terapi sama psikiater tiap minggu? Nah, dokter gue itu tinggalnya di Da Vinci.”
“Gila! Berapa tarif dokternya kalo dia tinggalnya di sana?” Pertanyaan Fauzan malah di luar konteks pembicaraan. Kalingga jadi tertegun.
“Iya juga ya? Gue nggak pernah tanya ke nyokap sih. Ah, elo, Jan! Bikin gue jadi penasaran aja!” protes Kalingga yang sekarang beban pikirannya bertambah satu. Dulu ia rutin konsultasi dengan psikiater yang tinggal di apartemen itu seminggu sekali selama empat bulan lamanya. Katakanlah tarif sekali konsultasi di masa itu adalah lima ratus ribu paling mahalnya. Berarti ia sudah menghabiskan uang sekitar…… delapan juta.
“Gila, dulu gue kerjanya ngabisin duit nyokap ternyata.” Kalingga mendadak tersadar. Freya dan Fauzan saling berpandangan.
“Ngomong-ngomong soal dokter. Sabtu lalu gue udah ketemu sama dokter Jihan,” tutur Freya dengan nada serius. Kalingga langsung menggeser kursinya agar bisa duduk lebih dekat dengan Freya dan Fauzan.
“Terus?” tanya Kalingga dengan hati-hati.
“Dokter Jihan belum nyuruh gue apa-apa selain nyuruh cek darah dan urin. Katanya nanti diputuskan dari situ. Terus…… gue juga minta rekomendasi psikiater dari dia.” Freya mengeluarkan dompet dari tasnya dan menarik sebuah kartu nama yang diselipkan di belakang kartu ATMnya.
“Gue disuruh menemui dokter ini, katanya beliau bagus. Walaupun udah cukup berumur tapi nggak kolot, malah kekinian banget. Paham sama isu-isu terkait mental illness terkini. Dan kata dokter Jihan, dokter ini nggak judgy so…….” Kalingga dan Fauzan saling berpandangan. Ia memahami apa yang sebenarnya ditakutkan oleh Freya jika ia memutuskan untuk berkonsultasi dengan psikiater : penghakiman atau penilaian. Freya memang benci hal itu.
“Syukurlah kalo begitu,” sahut Kalingga dengan lega.
“Tapi,.....” Freya tampak ragu. “Gue takut,” kata Freya sambil meringis malu.
“Wajar sih kalo takut. Dulu gue pas pertama kali juga begitu kok tapi nanti….”
“Mau gue temenin?” tawar Fauzan yang memotong ucapan Kalingga.
“Lo mau nemenin gue?” Freya bertanya balik dengan wajah yang terlihat lebih lega.
“Kenapa nggak mau? Kasih tau aja jadwalnya.” Fauzan bangkit untuk membuang boks makanan yang telah kosong lalu bergegas ke toilet untuk mencuci tangannya. Di kursinya, terlihat Freya sedang tersenyum dengan semringah. Kalingga memperhatikannya dengan seksama, sepertinya hanya Fauzan yang bisa membuat Freya merasa nyaman. Entah kenapa hal ini membuat hatinya gundah, mengetahui bahwa Fauzan dapat memenangkan hatinya Freya. Ia jadi bingung sendiri.
“No way,” celetuk Kalingga pelan namun cukup bisa didengar dengan jelas oleh Freya. Kini, gadis itu yang geleng-geleng kepala keheranan saat melihat tingkah Kalingga.
—