“Gue. Benci. Hujan!” ucap Freya yang rasa kesalnya semakin terasa di tiap katanya. Waktu sudah menunjukkan hampir setengah sepuluh pagi dan Freya baru saja tiba di kantor. Terlambat tiga puluh menit dari waktu yang seharusnya. Baju dan rambut gadis itu basah kuyup. Ini cukup menjelaskan alasan keterlambatannya.
Di dalam ruangan itu hanya ada Fauzan, yang kini sedang menatapnya dengan prihatin. Freya melirik ke meja Kalingga, yang walaupun kosong tapi Freya tahu bahwa Kalingga sudah datang lebih dahulu dari dirinya.
Kok bisa sih dia nggak kehujanan, batin Freya sedikit kesal.
Freya membanting tasnya ke meja dengan kesal. Lalu ia mulai mengeringkan rambutnya yang basah dengan menggunakan tisu. Fauzan sedikit memundurkan kursinya ke arah jendela. Ia menyibak tirai dan melihat bahwa hujan yang turun sudah tidak begitu deras. Hanya sisa gerimis kecil saja. Tapi entah kenapa Freya malah terlihat basah kuyup. Bahkan sesekali masih ada tetesan air yang berjatuhan dari rambutnya.
Pintu ruangan terbuka dan Kalingga masuk dengan terburu-buru sambil membawa beberapa bungkusan plastik. Ia mematung kala mendapati Freya yang basah kuyup. Mata Fauzan mendadak waspada.
“Lo tau kan, Fey, kalo ada penemuan umat manusia yang disebut dengan payung dan jas hujan,” kata Kalingga dengan nada yang sedatar mungkin. Ini jelas dibuat-buat karena sebenarnya Kalingga sedang berusaha mengejek Freya. Fauzan menghembuskan napas pasrah sambil menggelengkan kepalanya.
Kalingga goblok, kalo begini lo bangunin macan tidur namanya, keluh Fauzan dalam hatinya.
“Diem lo! Nggak usah komentar!” seru Freya dengan galak sambil meneruskan kegiatan mengeringkan rambutnya. Kalingga melihat Fauzan yang sedang menggelengkan kepalanya beberapa kali; memberi isyarat kepadanya untuk tidak melanjutkan ejekannya.
“Fine,” ucap Kalingga tanpa suara dan segera bergerak menuju mejanya.
Kalingga meletakkan bungkusan plastik itu di atas mejanya lalu ia menunduk. Ia membuka laci paling bawahnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah hoodie berwarna hijau botol yang terlihat sangat hangat.
Kalingga kembali bergerak ke meja Freya dan meletakkan hoodie tersebut di atas meja Freya.
“Siapa yang beli mie instant?” tanya Freya yang hidungnya sedang mengendus-endus. Aroma sedap mie instant menguar di udara, menggugah selera siapapun yang menciumnya.
“Gue tadi beli di bawah. Buat kita makan rame-rame,” jawab Kalingga. Freya melirik Fauzan yang tengah menuang bungkusan plastik berisi mie instant ke dalam mangkuk.
“Ini apa?” tanya Freya sambil menunjuk hoodie tersebut.
“Hoodie. Sana ganti baju, jangan sampe lo masuk angin kayak gue kemaren. Nggak enak tau rasanya,” balas Kalingga yang walaupun terdengar ketus, tapi Freya tahu bahwa ia tulus.
“Thank you,” sahut Freya dengan senang hati. “Pas naik ojek dari stasiun sebenernya gue udah pakai jas hujan, Ling. Cuma sialnya pas turun di gerbang kantor ada mobil yang seenak jidat jalan kenceng di jalanan yang becek. Jadilah gue kena cipratannya.” Freya menjelaskan tanpa diminta.
“Idih, berarti lo kena air becekan dong. Jorok, ih! Mandi sana,” ejek Fauzan. Kalingga ikut terkekeh mendengarnya, tapi ketika melihat tatapan sinis Freya, ia menghentikannya.
“Udah sana cepet ganti baju. Abis itu kita makan mie rebus,” kata Kalingga yang sebenarnya mencegah agar Freya tak lebih kesal lagi. Freya mendengus kesal kepada mereka berdua lalu dengan langkah kaki yang sengaja dihentak-hentak, ia berjalan menuju ke toilet.
Mood Freya terlihat lebih baik setelah ia menyantap semangkuk mie rebus instant dalam balutan hoodie tebal dan hangat yang dipinjamkan oleh Kalingga. Kehangatan, memang itu yang saat ini dibutuhkan oleh Freya setelah rasa dingin akibat hujan dan pendingin ruangan yang menerpa dirinya.
“Celana lo nggak basah, Fey?” tanya Fauzan dengan penuh perhatian.
“Agak lembab sih, tapi nggak apa-apa kok. Nanti juga cepet kering. Kalo baju gue tadi beneran basah kuyup,” jawab Freya sambil menyeruput teh hangatnya.
“Kalo misalnya emang nggak nyaman lo pake bawahan mukena aja, Fey,” saran Kalingga.
“Ngaco lo, ah!” omel Freya.
“Yah, kan gue cuma ngasih saran, Fey. Apa lo mau pake sarung gue?” tanya Kalingga dengan usil. Di belakangnya Fauzan hanya bisa meringis heran.
Kenapa sih Kalingga hobi sekali mengusik Freya yang menurutnya sama seperti mengusik macan tidur? Batin Fauzan.
“Mood gue udah oke nih, Ling. Lo jangan mancing-mancing biar gue bete deh,” protes Freya yang hanya ditanggapi Kalingga dengan cibiran.
—
Menurut Freya, Selasa adalah hari yang jauh lebih menyebalkan dibanding hari Senin. Selain karena harinya entah kenapa selalu terasa lambat, ada saja hal-hal menyebalkan yang terjadi di hari Selasa. Misalnya saja hari ini, insiden yang melibatkan mobil dan genangan air. Atau Selasa sebelumnya, ketika tali tas punggungnya yang mendadak putus saat ia sedang mengejar kereta. Padahal beban tasnya tidaklah berat. Atau ketika ia kesulitan mendapatkan ojek dari stasiun dan ketika lembaran uang seratus ribunya terbang tertiup angin saat ia hendak membayar air mineral. Yah, ia tak sepenuhnya yakin bahwa semua kejadian itu terjadi di hari Selasa, sih. Tapi intinya, Freya benci hari Selasa. Baginya, hari Selasa adalah hari sial.
“Bengong aja lo! Kesurupan loh ntar.” Kalingga melempar sebuah paper clip kepada Freya, membuatnya tersadar dari lamunannya. Ia hanya melempar tatapan sebal pada Kalingga. Tiba-tiba Freya teringat akan sesuatu. Ada beberapa hal yang ingin ia sampaikan kepada Kalingga.
“Ling, gue mau minta tolong dong.” Freya bergerak menuju ke meja Kalingga sambil menyeret kursinya.
“Apa tuh?” tanya Kalingga yang terdengar ramah dan penuh perhatian. Freya menghela napasnya.
“Sabtu lalu gue konsul lagi ke dokter, terus dikasih ini.” Freya meletakkan sebuah botol yang tampaknya seperti obat di mejanya Kalingga. “Suplemen katanya,,” sambung Freya.
Kalingga meraih botol itu. Ia membaca labelnya kemudian memutar-mutar botol itu. “Gue juga pernah suplemen ini. Bagus tuh.,” tutur Kalingga.
“Oh ya?” seru Freya. Kalingga mengangguk kecil. “So… what can I do for you?”
“Jadi alarm gue, please. Gue nggak suka minum obat dan gue pelupa banget. Gue bener-bener bertekad untuk bisa lewat dari kondisi ini. Gue sebenernya udah minta tolong ke Ojan juga, tapi lo tau lah Ojan sama aja kayak gue. Kalo kepentok lupa. So…. will you help me?” Freya memohon. Kalingga tersenyum kecil.
“Okay, gue bakal jadi alarm lo.”
"Yeay, thanks!” seru Freya dengan riang. “Terus satu lagi…….” Freya terlihat jauh lebih gugup dari sebelumnya.
“Apa lagi? Ngomong aja nggak usah sungkan. Kalo gue bisa bantu pasti akan gue bantu kok, Fey.” Kalingga meyakinkan Freya.
"Bukan soal sungkan sih, tapi…….” Freya terlihat bingung bagaimana ia harus meneruskan kalimatnya.
“Minggu lalu gue ketemuan sama Anin, Ling,” kata Freya yang sangat berhati-hati saat ia mengucapkan nama mantan pacar Kalingga.
“Oh, oke?” sahut Kalingga asal. Ia terheran akan sikapnya Freya. Ia sudah tahu bahwa Freya dan Anin masih sering bertemu untuk hangout atau sekedar pulang bersama. Kenapa pula Freya terlihat gugup akan hal ini?
“Gue nggak tau apakah Anin udah ngasih tau lo soal ini atau belum tapi….. Anin mau nikah, Ling. Bulan depan. Kemaren sebenernya Anin nawarin gue untuk jadi bridesmaidnya tapi gue nggak bisa,” terang Freya.
Kata “Anin”, “Nikah” dan “Bulan depan” berputar-putar di kepala Kalingga. Entah kenapa rasanya sulit sekali mencerna kata-kata itu. Seolah kata-kata itu adalah kata asing yang baru didengarnya.
“Eng, Ling? Lo denger omongan gue nggak sih?” tanya Freya karena Kalingga sama sekali tidak bereaksi seperti yang diharapkannya.
Duh, kayaknya salah nih gue ngomong. Lingga pasti masih patah hati, batin Freya dengan penuh sesal.
“Kenapa lo nolak jadi bridesmaid, Fey? Lo kan cukup dekat sama Anin," tanya Kalingga setelah tersadar dari lamunannya.
"Yah, gue kan masih harus konsul tiap minggu, Ling. Nggak ada waktu,” jawab Freya. Itu tidak benar. Sebenarnya bisa saja ia menjadwalkan ulang sesi konsultasinya di hari lain. Tapi entah kenapa hanya alasan itulah yang dapat terpikir olehnya kala menolak tawaran Anin dan menjawab pertanyaan Kalingga. Mengingat alasan Freya sebenarnya bisa dibilang cukup tak masuk akal. Alasan sebenarnya Freya menolak permintaan Anin adalah karena ia ingin menghargai perasaannya Kalingga. Padahal ia yakin benar itu tak perlu dilakukan. Jika Kalingga tahu alasan yang sebenarnya pun Freya yakin Kalingga akan marah padanya. Sejujurnya, ia merasa buruk jika ia menerima permintaan Anin dan bersenang-senang di pernikahannya; sementara Kalingga tentunya akan merasa terpuruk atau sedih akan pernikahan sang mantan terindahnya. Freya tahu benar walau akhir-akhir ini Kalingga sudah jarang membicarakan soal Anin, tapi jauh di dalam lubuk hatinya Kalingga masih belum bisa melupakan Anin, sang mantan terindah.
“Hmmm, sayang banget. Kan lumayan, Fey, dapet gaun pesta gratis,” sahut Kalingga dengan asal.
“Hah?” Freya heran dengan respon asal dari Kalingga.
Wah, otaknya udah rusak gara-gara gagal move on, ucap Freya dalam hatinya.
“Haha, nggak. Bercanda kok,” ucap Kalingga sambil beranjak ke luar ruangan, meninggalkan Freya yang masih terbengong akan ucapannya barusan.
Okey, kayaknya Kalingga nggak suka deh kalo harus ngomongin Anin. Mungkin hatinya masih terluka, batin Freya yang berusaha memaklumi.
TING! TING! TING!
Freya segera mengusap layar ponselnya untuk melihat pesan dari siapa yang baru saja masuk. Matanya melotot saat ia membaca nama kontaknya. Anin. Kemudian matanya semakin terbuka lebar dan mulutnya sedikit ternganga saat membaca isi pesannya.
"Oh my God!” serunya dengan sedikit panik.
—
Ketika jam pulang, Freya pamit terlebih dahulu kepada kedua rekannya. Bahkan ia menolak tawaran Fauzan yang hendak mengantarnya ke stasiun.
“Kenapa lagi tuh anak?” tanya Fauzan heran.
“Gak tau. Janjian sama orang kayaknya, dari tadi ngeliatin jam terus soalnya,” balas Kalingga sekenanya.
Sementara itu di lobby kantor, Freya terlihat sedang berdiri dengan gelisah. Ia berusaha mengintip ke dalam taksi yang datang ke lobby. Sepertinya dia sedang menunggu kehadiran seseorang.
“Aduh, buruan dong,” keluh Freya sambil melihat ke arah belakang dengan gelisah. Memerhatikan siapa-siapa saja yang hendak menuju ke luar gedung.
TIN! TIN!
Meski tak yakin bunyi klakson itu diperuntukkan padanya, namun Freya tetap bergegas menuju mobil yang membunyikan klaksonnya itu. Begitu mengintip melalui kaca jendelanya, ia yakin bahwa bunyi klakson tadi memang untuknya. Akan tetapi Freya sedikit heran ketika penumpang di dalamnya malah menunjukkan tanda-tanda akan segera turun dari mobil.
"Loh bukannya….?” gumaman Freya terpotong begitu melihat sosok yang ada di dalam mobil tadi benar-benar turun dari mobil, menutup pelan pintunya dan melambai singkat kepada pengemudinya. Sosok itu adalah Anindya Ranggawuni.
“Loh, kok turun mobil sih, Nin? Bukannya tadi lo ngajakin makan angkringan ya?” tanya Freya dengan heran.
“Iya, emang. Angkringannya di belakang gedung ini kok,” jawab Anin. Freya tertegun, memang sih tadi Anin tak menyebutkan ke mana mereka akan pergi. hanya saja Freya tak menyangka bahwa tujuannya berada di sekitar sini.
“Lo lupa ya? Dulu kan gue sering bilang kalo gue sama Lingga sering banget makan angkringan di belakang sini. Menurut gue yang paling enak ya di sini.” Anin menambahkan.
“Oh iya gue lupa,” dusta Freya. Mana mungkin ia lupa? Pasalnya dahulu Anin sering sekali bercerita bahwa setiap kali Kalingga mengajaknya makan angkringan di belakang gedung ini, ia selalu merasa seperti berada di rumahnya. Selain makanannya yang enak, suasana di sekitarnya pun cukup mendukung. Suasana kaki lima di mana motor dan mobil ramai berlalu-lalang ditambah celoteh dari pengunjung yang menurut Anin selalu saja ramah.
“Hoi, kok bengong sih?” tegur Anin. Sebenarnya Freya bukan bengong, akan tetapi sedang berpikir. Tempat makan angkringan yang disebutkan oleh Anin merupakan tempat yang cukup populer bagi para pekerja di gedung ini. Banyak pekerja di gedung ini yang kerap mampir ke sana walau hanya untuk memesan segelas susu jahe hangat atau nasi kucing. Tak terkecuali Kalingga. Minimal sekali dalam seminggu Kalingga, Fauzan dan beberapa rekan kerja lain akan berkumpul di angkringan itu. Semoga saja hari ini tidak. Lagipula, kenapa sih Anin masih mau mendatangi tempat yang notabene memiliki banyak kenangan dengan sang mantan pacar?
“Ah, gapapa. Ya udah, yuk!” ajak Freya buru-buru. J
Jangan sampai Kalingga dan Anin saling bertemu, pikirnya.
“Eh, bentar. Sebelum gue lupa lagi.” Anin menahan tarikan tangan Freya. Ia membuka tas jinjingnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah undangan berwarna hijau muda yang terlihat sangat elegan. Anin menyerahkan undangan itu kepada Freya.
“Harusnya gue kasih minggu kemaren pas kita ketemu. Tapi gue malah lupa karena kita keasyikan ngobrol,” kata Anin dengan riang. Freya menerima undangan yang di amplopnya tertera tulisan “Freya Laksani Haslam dan Partner” dengan senang hati. Di dalam hatinya, ia sangat gembira karena akhirnya sahabatnya akan segera menikah. Sesuatu yang sudah sangat Anin idam-idamkan sejak lama. Akan tetapi perasaan gembiranya mendadak buyar kala mendengar tawa renyah Kalingga, Fauzan dan Mas Anto yang saling susul-menyusul dari arah belakangnya. Mereka baru saja turun dari lift dan sedang bergerak menuju lobby.
No, no, no. Mereka nggak boleh ketemu. Kasian Lingga, batin Freya.
Ia sebenarnya ingin langsung mengajak Anin pergi dari tempat itu tapi rupanya ia terlambat. Baik Anin maupun Kalingga telah menyadari kehadiran masing-masing.
Mampus deh, umpat Freya dalam hatinya.
“Anin,” sapa Kalingga dengan sopan.
“Lingga.” Anin turut menyapa dengan kesopanan yang terdengar sedikit berlebihan.
“O-ow, awkward situation. Yuk, Mas kita duluan aja,” ucap Fauzan sambil menyeret Mas Anto menjauhi Freya, Kalingga dan Anin. Sambil berlalu Fauzan masih sempat mengatakan “good luck with that” kepada Freya tanpa bersuara. Freya hanya mendengus kesal melihatnya.
“Apa kabar, Ling?” tanya Anin yang berusaha terlihat ramah.
“Oke, Nin. Lo sendiri gimana?” Kalingga balik bertanya.
“Great,” balas Anin dengan meyakinkan. Seolah-olah ingin menunjukkan bahwa keadaannya sekarang sudah jauh lebih baik. Kalingga hanya mengangguk kecil.
“Good,” sahut Kalingga pada akhirnya. Anin hanya tersenyum tipis. Senyuman yang walaupun tipis tapi bagi Kalingga merupakan senyuman paling indah. Suasananya menjadi canggung karena ini adalah pertama kalinya lagi Kalingga dan Anin bertemu langsung setelah berakhirnya hubungan mereka. Ditambah, kini Kalingga sudah tahu bahwa Anin akan segera menikah dengan pria pilihannya. Pria yang dapat mengerti keinginan dirinya.
Duh, sial jadi dingin begini sih situasinya, keluh Freya. Sejak tadi ia berusaha kuat mencari cara untuk mencairkan suasana tapi ia tak terpikirkan satu cara pun.
“Lo kurusan ya? Pipi gembil lo nggak begitu keliatan sekarang,” kata Anin kepada Kalingga.
“Kemaren gue sempet sakit, Nin,” jawab Kalingga sambil tersenyum tipis.
“Ooh, ya ampun. Jaga kesehatan, Ling. Musimnya lagi nggak bagus,” tutur Anin dengan lembut dan penuh perhatian. Kalingga tertegun, bahkan setelah semua ini perhatian dan kelembutan Anin tak pernah berubah.
“Sedangkan lo, Freya. Wow, girl! You look fresh! Happy banget ya kayaknya kerja di sini? Nggak stres tiap malem lagi ya, Fey? Duh, boleh dong kalo ada lowongan di sini gue diangkut.” Anin meledek Freya.
“Ah, masa sih? Bisa aja lo, Nin. Hahahaha,” balas Freya dengan tawa yang terkesan dipaksakan. Lalu Anin dan Kalingga turut tertawa kecil. Sangat terasa bahwa mereka sedang berusaha mencairkan suasana. Akan tetapi tiba-tiba mata Kalingga terpaku pada sebuah benda yang sejak tadi dipegang oleh Freya. Undangan itu. Freya langsung tersadar dan segera bermain mata kepada Anin, mengisyaratkan agar Anin bisa memberikan penjelasan. Tapi entah kenapa, pandangan mata Anin terlihat serba salah.
“Oh, soal itu……” Anin terlihat sangat berhati-hati saat membuka kalimatnya. “Yah, gue nggak tau kalo setelah putus kita akan berhenti berteman, Kalingga. Gue agak kesulitan menghubungi lo jadi…. maaf kalo lo harus tau dengan cara seperti ini.” Anin melanjutkan kalimatnya. Kalingga mengernyitkan dahinya, ia tak mengerti maksud ucapan Anin.
“Hah, maksudnya?”
“Lo…. ngeblock gue dari semua sosmed. Nomor handphone gue juga lo block kan, Ling? Makanya gue nggak bisa ngasih kabar kalo gue mau nikah atau menyampaikan undangan. Yah, gue juga nggak yakin sih lo bersedia datang atau nggak ke nikahan gue,” balas Anin yang terdengar sedikit ketus. Sebenarnya ia tak benci kepada Kalingga. Anin memang cukup kecewa kepada Kalingga tapi untuk benci, rasanya tidak. Kalingga selalu baik kepadanya dan mereka pun putus baik-baik. Mereka bisa menerima keputusan masing-masing tanpa harus bertengkar hebat. Satu hal yang tak dimengerti oleh Anin adalah mengapa seolah-olah Kalingga berusaha menghindari dirinya. Apakah putus hubungan percintaan juga berarti putus hubungan pertemanan bagi Kalingga? Sungguh kekanak-kanakan, pikir Anin.
“Oh, shit. Bukan gitu maksudnya. Gue cuma…..” Kalingga menghentikan kalimatnya. Alasan apa yang akan dikatakannya? Haruskah ia jujur? Haruskah ia mengatakan kepada Anin bahwa alasan sebenarnya ia memblock Anin dari semua sosmed bahkan sampai ke nomor ponselnya adalah karena Kalingga tak kuasa melupakan gadis itu? Apalagi ketika melihat postingan Anin saat ia bertunangan dengan lelaki yang meminangnya. Melihat itu saja membuat hati Kalingga terasa perih. Maka dari itu untuk mencegah agar hatinya tak semakin perih, agar dirinya bisa cepat move on serta mencegah agar dirinya tak membenci Anin; Kalingga memutuskan untuk memblock semua aksesnya menuju Anin. Membenci Anin adalah hal yang paling tidak ingin Kalingga lakukan.
“Maaf, Nin. Gue lupa buka blocknya. Harusnya itu hanya untuk sementara.” Kalingga mengaku dengan jujur. Memang Kalingga hanya berniat memblock Anin untuk sebulan saja. Tapi entah kenapa ia lupa. Entah kenapa ia bisa lupa akan rasa kehilangannya pada mantan gadis kesayangannya. Apakah karena akhir-akhir ini ia sibuk? Atau karena akhir-akhir ini seluruh perhatiannya tercurah akan masalahnya Freya? Entahlah ia tak yakin.
“I know. Gue juga minta maaf ya, Ling, udah memojokkan. Gue tau kalo lo perlu waktu,” sahut Anin dengan ramah. Sepertinya ia mengerti bahwa sang mantan pacar memang butuh usaha lebih untuk melupakannya.
“Lo… bersedia nggak datang ke pernikahan gue, Ling?” tanya Anin dengan hati-hati.
“Kalau lo undang, gue akan datang, Nin,” balas Kalingga dengan tulus sambil tersenyum canggung. Anin tersenyum simpul. Ia segera membuka tas jinjingnya kembali.
“Yah, gue nggak bawa undangannya lagi. Masih ada sih di rumah, besok deh ya gue anter lagi ke sini undangannya,” tutur Anin dengan penuh sesal.
“Eh, nggak usah repot-repot lo anter juga nggak apa-apa kok, Nin. Toh kan lo sendiri yang ngundang gue langsung. Sama aja kan?” ucap Kalingga.
“Iya sih. Tapi gue nggak enak ah, Ling. Kesannya kayak nggak resmi. Nggak sopan ah, masa Freya gue kasih undangan fisiknya tapi lo cuma dari mulut doang. Besok gue anter ya.” Anin bersikukuh.
“Nggak usah, Nin. Gue nggak mau ngerepotin ah, beneran deh, lo ngundang gue begini aja udah cukup. Nggak usah sungkan.” Kalingga juga bersikukuh akan kata-katanya.
“Okey, begini aja.” Freya menengahi mereka. Ia takut jika perdebatan ini terlanjur situasinya akan canggung kembali. Freya mengeluarkan sebuah pulpen dari tasnya. Ia membuka plastik yang membungkus undangan tadi, mencoret kata partner yang tertera di sana dan menggantinya dengan tulisan nama Kalingga Rasendrya.
“Case closed,” ucap Freya dengan bangga sambil menunjukkan tulisan tangannya yang tak rata di amplop undangan tadi. Kalingga dan Anin saling melempar pandang sambil tersenyum simpul.
“Ya, boleh juga idenya,” sahut Kalingga dan Anin berbarengan. Mereka berdua terkejut saat mendengarnya lalu tertawa lepas.
“Jangan mempersulit hal-hal yang mudah,” tutur Freya dengan bijak sambil mengangkat alisnya.
“Ini yang gue kangenin dari lo, Freya. Ide-ide lo yang selalu out of the box,” ucap Anin sambil memeluk Freya dengan hangat. Meskipun saat masih satu kantor mereka sering sekali berselisih paham soal pekerjaan, tapi tak bisa dipungkiri untuk hal-hal yang tak berkaitan dengan pekerjaan mereka sangat kompak.