Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, riset adalah penyelidikan (penelitian) suatu masalah secara bersistem, kritis, dan ilmiah untuk meningkatkan pengetahuan dan pengertian, mendapatkan fakta baru, atau melakukan penafsiran lebih baik. Bagi penulis lepas seperti Freya, riset adalah pengamatan dan penelitian yang ia lakukan sebelum ia menulis sesuatu. Apa pun topik yang akan Freya jadikan sebagai tema ceritanya, ia selalu melakukan riset trelebih dahulu agar hasilnya akurat. Walaupun yang ditulisnya hanyalah fanfiksi belaka, Freya tetap berdedikasi untuk melakukannya dengan sungguh-sungguh.
Intinya, arti umum dari kata riset tak jauh-jauh hubungannya dari pengamatan atau penelitian. Tapi tidak bagi Fauzan. Baginya, kata riset kini memiliki makna yang berbeda. Itu semua karena Kalingga dan Freya. Menurut Fauzan, kedua orang itu dengan sukses berhasil membuat kata riset bergeser maknanya. Kini, kapan pun Kalingga dan Freya menyebut kata riset, Fauzan akan menganggapnya sebagai kencan terselubung.
Hampir setiap akhir pekan kini Kalingga rutin menemani Freya untuk “riset”. Berawal dari Freya yang sedang mengalami writer’s block sehingga ia kesulitan untuk melanjutkan ceritanya, Kalingga bersedia mengajak Freya ke tempat-tempat yang menurutnya relevan dengan jalan cerita yang sedang ditulis Freya. Museum, taman, rumah sakit, pujasera yang selalu ramai oleh para pelanggan, kantor polisi atau bahkan hanya berjalan-jalan tanpa tujuan sambil mengamati peristiwa-peristiwa random yang terjadi di sekitar mereka. Apa pun, kemana pun, dan siapa pun mereka sambangi demi keperluan riset.
“Riset, bukan kencan, kita kan nggak pacaran.” Begitu yang Kalingga tegaskan secara berulang-ulang kapan pun teman-teman kantornya mulai meledeknya.
Nggak pacaran. Atau belum pacaran lebih tepatnya, batin Fauzan yang sedikit geregetan. Sebagai orang yang sangat berharap sekaligus mendukung kemajuan hubungan Kalingga dan Freya, dirinya cukup kecewa ketika Kalingga membantah dugaannya.
“Lo yang nggak-nggak aja deh, Jan. Gue masih belum mau pacaran dulu ah. Masih belum siap,” bantah Kalingga ketika Fauzan bertanya apakah ia menaruh rasa kepada Freya.
“Yakin? Kalo gitu boleh dong gue deketin Freya kalo lo emang nggak berminat?” pancing Fauzan. Mendengar hal ini Kalingga malah terkekeh.
“Hmm, I’m not sure she’s really your type actually,” sahut Kalingga sambil menepuk bahu Fauzan kemudian berjalan meninggalkannya di belakang. Fauzan tertegun mendengarnya, entah kenapa ia merasa kalimat tadi sangat ambigu maknanya.
—
“Ra, lo udah vaksin dua kali kan?” tanya Kalingga pada Hara melalui sambungan telepon di suatu siang.
“Udah. Kan kita barengan vaksinnya, gimana sih?” sahut Hara.
“Oh iya gue lupa. Baguslah kalo begitu,” balas Kalingga.
“Kenapa emangnya?” tanya Hara penasaran.
“Lo buka link yang gue kirim di Instagram deh, Ra.” Tanpa menyahut, Hara langsung melakukan apa yang Kalingga suruh. Matanya berbinar begitu ia melihat dan menelusuri halaman web yang linknya baru saja Kalingga kirimkan.
“What??? For real???!” seru Hara kegirangan.
“I know!!!” seru Kalingga tak kalah girangnya. “Mau kan?” tanya Kalingga.
“Mau lah, Ling! Lo nggak usah nanya lagi. Oh My God, kapan ya terakhir kali kita nonton pertunjukan sirkus? Kayaknya udah lama banget ya?” Suara Hara terdengar semakin antusias.
“Udah lama banget, Ra. Kayaknya pas Bang Guntur masih SMA nggak sih?” kata Kalingga sambil berusaha mengingat-ingat. “Eh, tawarin Abang lo sekalian, Ra. Pasti dia seneng deh,” saran Kalingga.
“Halah, Bang Guntur mah sekarang udah sibuk sama anaknya, Ling. Kalaupun dia mau, pasti dia akan ajak anaknya. Mana mau dia main sama kita lagi, hahaha.”
"Oh, iya juga ya. Ya udah, Sabtu atau Minggu ini lo free nggak?” tanya Kalingga sambil memeriksa kalender mejanya.
“Sekalipun gue ada acara weekend ini, Ling. Gue akan sukarela membatalkannya demi bisa nonton sirkus ini! So, yeah! Ayo kita pergi Sabtu ini!” seru Hara.
“Okey, Saturday it is,” kata Kalingga sambil melingkari tanggal di hari Sabtu pekan ini. Setelah mengonfirmasi jadwal dengan Hara, Kalingga langsung memesan tiket pertunjukan sirkus yang dijual secara online itu. Ia membeli tiga tiket, jaga-jaga siapa tahu Bang Guntur mau ikut serta demi nostalgia masa kecil.
Kalingga bergegas menuju tempat printer untuk mengambil tiket pertunjukan yang memang harus dicetak sebagai syarat masuknya. Ketika itu, Freya yang sebelumnya sedang asyik berbincang-bincang dengan beberapa karyawan lain langsung tergopoh-gopoh menghampiri Kalingga. Rasanya seperti ada sesuatu yang penting untuk ia sampaikan.
“Ling, Ling, Ling,” panggil Freya dengan cepat sambil menyusul Kalingga yang sudah akan kembali ke ruangan.
“Oit, kenapa, Fey?” Kalingga menghentikan langkahnya.
“Forensik,” tutur Freya dengan antusias.
“Hah?” sahut Kalingga bingung.
"Topik gue selanjutnya. Forensik. Lanjutan cerita gue nanti ada unsur-unsur yang berhubungan dengan forensik. Lo ada ide nggak kita harus riset ke mana? Sebenernya sih gue udah dapet beberapa tempat yang mungkin bisa dikunjungi, nyari di internet. Tapi kali aja lo punya koneksi yang berhubungan dengan bidang ini kayak yang sebelum-sebelumnya,” balas Freya panjang lebar. Memang selama ini riset Freya juga turut dibantu oleh beberapa teman Kalingga. Kalingga punya sebuah grup pertemanan yang berasal dari Twitter, yang berisikan orang-orang dari berbagai bidang pekerjaan. Belakangan ini, orang-orang itulah yang senantiasa bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaannya Freya yang macam-macam.
“Hmm, kayaknya nggak ada yang berhubungan daengan forensik deh, Fey. Nanti deh gue make sure dulu ke grup ya,” kata Kalingga sedikit tak yakin. “Tempat yang bisa dikunjungi itu ada di mana, Fey?” tanya Kalingga penasaran. Freya menunjukkan ponselnya kepada Kalingga.
“Oh, kayaknya gue pernah lewat deh,” kata Kalingga ketika membaca alamat yang ditunjukkan oleh Freya.
"Oh ya?! Bagus dong! Sabtu ini bisa temenin gue riset?” pinta Freya.
“Waduh, kalo Sabtu ini nggak bisa, Fey. Sorry banget. Gue udah ada rencana sama Hara,” sesal Kalingga.
“Oooh, ya udah nggak apa-apa. Bisa lain hari kok.” Freya memaklumi. Kalingga kembali melanjutkan langkahnya menuju ruangan diikuti oleh Freya.
“Mau ke mana emang?” tanya Freya hati-hati agar tidak terkesan terlalu ingin tahu urusan orang. Kalingga menyerahkan lembaran tiket yang tadi dicetaknya.
“Sirkus?” seru Freya sambil membaca lembaran tiket itu. “Emang udah boleh ngadain acara beginian ya sekarang?”
"Boleh. Tapi yang bisa masuk khusus yang udah vaksin lengkap,” jelas Kalingga. Freya mengangguk-angguk.
‘‘Lo suka nonton beginian ya?” tanya Freya penuh selidik.
“Banget! Dulu pas masih kecil, gue dan Hara sering banget diajak sama abangnya Hara nonton sirkus pasar malam. Pas abangnya Hara udah mulai kerja kita beberapa kali diajak nonton sirkus Rusia yang jauh lebih megah dibanding sirkus pasar malam. Hara seneeeenng banget kalo diajak nonton beginian,” terang Kalingga panjang lebar.
“Ooh,” sahut Freya memaklumi. Dasar bocah, batin Freya.
“Tunggu, jangan bilang lo belom pernah nonton sirkus sama sekali?” tebak Kalingga ketika melihat reaksi Freya yang tak seantusias dirinya. Freya menggeleng.
“Gue ngeri, Ling. Apalagi pas liat pemain akrobat yang badannya bisa melar-melar aneh gitu. Hiy, serem,” sahut Freya sambil bergidik ngeri.
“Ooh, gitu.” Kalingga memahami. “Eh, tapi biasanya nggak cuma pertunjukan sirkus aja kok, Fey. Ada karnaval kayak pasar malam gitu. Banyak wahana permainan. Yah walaupun nggak sebanyak di Dufan sih. Tapi tetep seru.”
“Oh gitu. Nah, kalo karnaval baru gue suka, Ling!” seru Freya yang langsung antusias. Kalingga jadi semakin semringah.
“Eh, Fey.” Kalingga menghentikan langkahnya tepat sebelum membuka pintu ruangannya.
“Hmm?” sahut Freya asal.
“Mau ikut gue sama Hara nggak? Anggep aja riset. Kali aja bisa kepake untuk bahan tulisan lo selanjutnya,” tawar Kalingga.
“Hmmm,” gumam Freya sambil mengusap dagunya, terlihat jelas sedang mempertimbangkan masak-masak.
—
“Duh, cantik bener yang mau nostalgia masa kecil,” ledek mama Kalingga ketika melihat Hara yang sedang menanti Kalingga di ruang tamu. Hara memang terlihat jauh lebih manis dari biasanya. Ia mengenakan sweater rajut berwarna merah marun yang dipadukan dengan rok tartan sedengkul berwarna cokelat muda. Rambut panjangnya tergerai rapi, poni yang biasa menghiasi bagian dahinya kini ditahan dengan menggunakan sebuah bandana yang warnanya persis seperti lolipop. Penampilan Hara terlihat jauh lebih muda dari yang seharusnya, jika tak ingin dibilang kekanak-kanakkan.
“Kita mau recreate foto ini, Ma.” Hara menunjukkan sebuah foto lama dari galeri ponselnya. Foto dirinya, Kalingga dan juga Bang Guntur saat pertama kali mereka mengunjungi sirkus pasar malam. Baju yang dikenakan Hara saat itu bisa dibilang sama persis dengan yang dikenakannya hari ini.
“Oooh. Pasti buat challenge-challenge di Instagram, ya?” sahut mama Kalingga. Hara hanya meringis cengengesan.
“Namanya juga budak konten, Ma,” timpal Kalingga sambil menuruni tangga. Ia mengenakan kaus berwarna merah walaupun tingkat kemerahannya sedikit berbeda dari yang dikenakannya dahulu atau sweater yang digunakan Hara saat ini.
“Kayak yang sendirinya nggak aja,” cibir Hara pelan. “Mama ikut yuk? Kemaren Lingga pesen tiga tiket buat jaga-jaga kalo Bang Guntur mau ikut. Tapi ternyata Abang nggak mau,” ajak Hara dengan penuh semangat.
“Duh, nggak deh, Ra. Mama pengen di rumah aja. Pengen istirahat, kemaren abis masak katering buat acara nikahan undangannya seribu orang. Capek,” tolak mama sambil meregangkan badannya.
“Yuk, jalan,” pamit Kalingga tanpa menghiraukan ucapan sang mama. Mereka berdua pamit lalu bergegas berjalan menuju stasiun MRT.
Setengah berlari Hara menyusuri lorong-lorong stasiun MRT. Bak anak kecil yang kegirangan karena diajak oleh orang tuanya pergi ke mall, seperti itulah tingkah Hara saat ini. Bersemangat dan antusias. Sementara Kalingga hanya mengikuti Hara di belakang dengan santai, sambil sesekali memainkan ponselnya.
“Ling, cepetan! Keretanya udah dateng nih,” seru Hara setengah berteriak. Entah Kalingga tak mendengarnya atau sebenarnya ia dengar tapi lebih memilih untuk mengabaikannya, Kalingga sama sekali tak menanggapi Hara yang kelewat bersemangat. Ia masih sibuk dengan ponselnya sambil sesekali celingak-celinguk seperti sedang mencari seseorang. Hara sedikit kesal melihatnya.
“Di mana?” tanya Kalingga pada seseorang di sambungan telepon. Sepertinya orang yang ditelepon oleh Kalingga posisinya sudah dekat sehingga beberapa detik kemudian Kalingga langsung berbalik badan sambil menyimpan ponselnya ke saku.
“Udah dari tadi?” sapa Kalingga pada gadis yang berjalan terburu-buru ke arahnya. Itu adalah Freya.
“Udah, tadi gue beli minum dulu. Di sana pasti mahal,” sahut Freya yang terengah-engah.
“Loh, Freya,” seru Hara terheran sambil melirik Kalingga. Kalingga terlihat salah tingkah.
“Eh, gue belom bilang ke lo ya, Ra? Karena tiketnya Bang Guntur nggak jadi dipake, gue ajak Freya deh. Gapapa kan? Dia belum pernah nonton sirkus, gue bilang ke Freya mungkin aja ini bisa jadi referensi bahan tulisannya.” Seolah bisa membaca pertanyaan yang ada di benak Hara, Kalingga langsung menjelaskan perihal kehadiran Freya yang di luar rencana awal mereka.
“Ooh,” sahut Hara. Freya tersenyum kepadanya dan Hara membalas senyuman itu dengan singkat. “Ya nggak apa-apa dong,” sambung Hara yang entah kenapa di telinga Freya terdengar sedikit canggung.
“Serius nggak apa-apa? Kalo emang ini event spesialnya kalian berdua gue jadi nggak enak nih tau-tau nimbrung,” sahut Freya yang merasa tak enak hati.
“Event spesial apaan sih, Fey? Cuma jalan begini doang kok,” sambar Kalingga yang membuat Hara sedikit terkejut.
"Iya, Fey. Nggak apa-apa kok, malah lebih rame jadi lebih asyik. Ya kan, Ling?” timpal Hara dengan riang sambil merangkul Freya. Lagi-lagi Kalingga tak menanggapi, ia malah berjalan persis ke depan peron karena kereta yang mereka tunggu sudah akan tiba.
Di dalam kereta, mereka sibuk dengan ponsel masing-masing. Hara bolak-balik menggeser foto demi foto yang ada di galeri ponselnya. Sesekali ia memergoki Kalingga dan Freya yang tampak sibuk mengetik pesan sambil tertawa kecil dalam jangka waktu yang berdekatan, seolah-olah mereka berdua sedang larut dalam percakapan yang menggelikan. Entah kenapa Hara sedikit kesal melihatnya. Ia merasa tersisih dari dua orang itu.
Hara terus menggeser foto demi foto yang ada di galeri ponselnya sampai ia terpaku pada satu foto. Foto yang tadi ditunjukkannya kepada mama Kalingga. Foto dirinya, Kalingga dan Abang Guntur bersama dengan pemain sirkus yang memakai egrang. Ia mengusap foto itu dengan penuh arti, seolah-olah ada memori spesial tersendiri di foto itu.
Yah, sebenarnya memang ada. Foto itu diambil ketika Hara dan Kalingga masih berusia sembilan tahun. Beberapa jam sebelum foto itu diambil, Hara menangis tersedu-sedu karena seluruh temannya meledek potongan rambutnya yang aneh. Saat itu, Hara dengan nekat memotong habis seluruh poninya karena sang ibu tak kunjung sempat mengantarnya ke salon sementara poninya sudah semakin panjang. Atas saran Kalingga, Hara memutuskan untuk memotongnya sendiri dan Kalingga meyakinkan bahwa hasilnya sudah bagus.
Tapi ternyata penilaian anak laki-laki cuek berusia sembilan tahun tidaklah sama dengan penilaian anak-anak perempuan berusia sembilan tahun yang sudah mulai mengerti akan penampilan. Akibatnya, Hara ditertawakan habis-habisan dan ia marah sekali kepada Kalingga. Sementara Kalingga yang tak sepenuhnya memahami kesalahannya, pusing bukan main karena tangisan Hara tak kunjung berhenti. Sebagai upaya menebus kesalahan, Kalingga mengajak Hara jalan-jalan ke pasar malam. Saat di pasar malam, Hara merengek kepada Kalingga untuk diajak menonton pertunjukan sirkus. Namun Kalingga tak menurutinya karena uangnya sudah habis untuk membelikan Hara macam-macam jajanan. Lagi-lagi Hara marah, menurutnya Kalingga tak sungguh-sungguh berusaha menebus kesalahannya.
Beruntung saat itu Bang Guntur, kakak sulungnya Hara ada di sana. Berkat bantuannya mereka berdua bisa menonton sirkus, walaupun Bang Guntur harus menguras seluruh uang jajannya hari itu. Tapi Bang Guntur bersedia karena Kalingga berjanji akan mencucikan sepedanya setiap minggu selama sebulan sebagai gantinya. Win-win solution. Semua orang senang.
Begitu menonton sirkus, secara ajaib Hara lupa akan kemarahannya pada Kalingga. Hara kecil begitu terpukau dengan aksi-aksi pemain sirkus yang menurutnya sangat luar biasa. Kalingga dan Hara kembali berbaikan dan sejak saat itu, pergi ke karnaval pasar malam dan menonton sirkus adalah agenda rutin mereka. Kapanpun rombongan karnaval dan sirkus mengunjungi kota, mereka tak pernah absen untuk melihatnya.
Bagi Hara, itu adalah kenangan manis yang sulit terlupakan. Bagi Hara, hari itu sangatlah spesial. Sebagai anak tengah yang lebih sering merasa terabaikan, untuk pertama kalinya Hara merasa benar-benar disayang, dipedulikan dan dimanjakan. Dan semua itu berkat kegigihan Kalingga yang benar-benar ingin berbaikan dengannya.
It is special, Lingga. It is always special, batin Hara dalam hatinya sambil memerhatikan interaksi Kalingga dan Freya dalam-dalam. Rupanya, ia masih terpaku pada kata-katanya Kalingga tadi.
—
Semarak, begitulah kesan pertama yang muncul di benak Freya begitu mereka memasuki gerbang karnaval untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Hiasan dan balon yang berwarna-warni, aroma manis gula-gula kapas dan berondong jagung yang menguar di udara, gelak tawa atau jerit tangis anak kecil yang mengamuk lantaran tak dibelikan mainan oleh orang tuanya, semuanya bersatu padu membentuk keramaian yang gegap gempita. Sesuatu yang sudah lama tak mereka saksikan. Mereka bertiga tak berusaha menyembunyikan rasa antusiasme. Sebaliknya, mereka justru malah ribut sendiri menentukan apa yang pertama kali akan mereka lakukan.
"Main wahana yuk?”
“Ke sirkus!”
“Gue pengen permen kapas deh,” seru Kalingga, Hara dan Freya berturut-turut. Mereka sempat berdebat sebentar sebelum akhirnya perdebatan ini dimenangkan oleh Hara. Mengantisipasi hari yang semakin sore akan semakin ramai, maka mereka memutuskan untuk menonton sirkus terlebih dahulu, karena pertunjukan sirkus ini merupakan highlight dari karnaval ini.
"Eh, Ling, liat deh. Warna dan model tendanya hampir sama kayak yang dulu!” seru Hara sambil menunjuk tenda besar tempat pertunjukan sirkus akan ditampilkan. Kalingga dan Freya otomatis turut melihat ke arah yang ditunjuk oleh Hara.
“Oh, iya bener,” sahut Kalingga.
“Fey, nanti minta tolong fotoin kayak begini ya,” pinta Hara sambil menunjukkan foto masa kecilnya tadi. Freya mengambil alih ponsel Hara untuk melihatnya lebih jelas. Ia memperbesar foto itu berkali-kali sambil mengamati orang-orang yang ada di foto itu dengan seksama. Hara, yang wajahnya tak jauh berbeda dengan saat ini, hanya saja yang dulu terlihat lebih kurus dan mungil. Kalingga, yang ternyata dahulu memakai kacamata. Wajahnya tak sejutek saat ini. Dan satu anak laki-laki yang terlihat lebih tua tiga atau empat tahun dari Kalingga dan Hara, Freya yakin itu adalah kakaknya Hara karena wajah mereka cukup mirip.
“Cute,” puji Freya sambil menyerahkan ponselnya kembali pada Hara. “Pantesan hari ini outfitnya samaan, janjian ya,” sambung Freya.
“Tuh, permintaannya Hara,” timpal Kalingga.
“Tenang, Ra. Hari ini gue bakal jadi fotografernya kalian pokoknya,” sahut Freya sambil mengacungkan jempolnya.
“Lo dulu pake kacamata. Sekarang udah nggak. Pakai softlens atau lasik?” tanya Freya penasaran sambil mengikuti Kalingga yang sudah mengantri masuk ke tenda pertunjukan sirkus.
“Lasik pas lulus SMA. Udah nggak betah abisnya,” jawab Kalingga.
“Soalnya Kalingga pesek, jadi kacamatanya nggak mau nyangkut hahaha,” ejek Hara sambil tertawa geli.
“Kayak hidung lo mancung aja, Ra,” balas Kalingga kesal.