“Jan, lo inget nggak kapan terakhir kali Kalingga pegang kemudi?” tanya Hara kepada Fauzan melalui sambungan telepon. Kejadian di sirkus tadi benar-benar mengusik hatinya.
“Hmm, seinget gue sih terakhir kali ya pas kejadian Anin itu, Ra.” Butuh waktu bagi Fauzan untuk menjawab pertanyaan Hara karena ia sedang berusaha mengingat-ingat kejadian yang sudah beberapa tahun berlalu.
“Tuh kan, bener dugaan gue,” sahut Hara.
“Kenapa lo ujug-ujug nanya begitu, Ra?”
“Lo tau nggak sih, Jan? Tadi di tempat sirkus Kalingga bawa mobil….”
“OH YA?” Fauzan memotong ucapan Hara dengan ekspresi kaget.
“..... mainan yang kayak Boom Boom Car gitu loh. Jan.” Hara menyelesaikan kalimatnya yang terpotong tanpa memedulikan reaksi dari Fauzan.
“Oooh cuma mainan. Gue pikir mobil beneran,” sahut Fauzan maklum. “Eh, tapi itu termasuk kemajuan sih, Ra, kalo menurut gue.”
“Hmm,” gumam Hara. Apa yang dikatakan Fauzan memang ada benarnya.
“BTW, kok bisa?”
“Freya…. Freya ikut ke sirkus. Diajak sama Kalingga. Pas nunggu gue yang lagi antri beli makanan, mereka malah main Boom Boom Car berduaan,” tutur Hara yang menjaga agar nada bicaranya sedatar mungkin agar Fauzan tak salah paham.
“Hmmm, interesting,” sahut Fauzan singkat.
“Interesting? Apanya yang interesting?”
“Yah, kita udah sama-sama taulah, Ra, gimana usaha nyokapnya Kalingga untuk nyuruh dia belajar mobil lagi dan selama ini selalu gagal. Bahkan yang terakhir kali mereka sampai berantem cukup gede kan?” jelas Fauzan.
“Oh iya. Gue inget kejadian itu.”
“Nah, kenapa Freya ujug-ujug bisa ngajak Kalingga? Dan Kalingganya pun mau?”
“Karena itu hanya permainan? So it’s not a big deal?” Hara terdengar sedikit ngotot. Entah kenapa ia merasa kesal saat Fauzan sedikit “berpihak” kepada Freya.
“Ra, lo itu sebenernya kenal sama Kalingga atau nggak sih? Lo lupa temen lo yang satu itu penakutnya kayak apa? Traumanya kayak apa?”
Hara tak menanggapi ucapan Fauzan. Hatinya masih sulit menerima bahwa ia telah dikalahkan secara telak oleh Freya.
“Maybe it’s a sign.” Fauzan menambahkan.
“Sign?”
“Sign that he started to fall for her? Somehow, Freya bisa membuat Kalingga merasa aman dan nyaman makanya Kalingga bisa begitu.”
“Gitu ya?” sahut Hara datar.
“Mungkin sih. Kalingga tiap gue ledekin soal Freya masih berkilah terus soalnya. Menurut lo gimana, Ra?”
“Entahlah, akhir-akhir ini gue susah banget menjangkau Kalingga, Jan. Dia kayak lebih banyak menyendiri gitu.” Nada suara Hara terdengar sedikit kecewa.
“Even lo aja yang deket banget sama Kalingga masih susah menjangkaunya ya, Ra. Ya udah, biarin dia sendiri dulu deh sampe puas. Ntar kalo moodnya udah bagus lagi pasti nyari kita,” ucap Fauzan dengan yakin. Hara hanya menghela napas panjang. Ia tak sepenuhnya yakin dengan ucapan Fauzan. Entah kenapa Hara mulai merasa “kehilangan” sosok Kalingga.
“Ngomong-ngomong soal Kalingga, lo udah nyari kado ultahnya, Ra?” tanya Fauzan.
“Belom nih, dari kemaren belom sempet. Besok sih gue mau ke Grand Indonesia sama Freya. Semoga aja dapet yang cocok di sana. Lo udah beli?” Hara bertanya balik.
“Udah dong!” seru Fauzan dengan bangga.
“Lo beli apaan?”
“Rahasia lah.”
“Ah, elo, Jan. Kasih tau dong ke gue, ntar ternyata kadonya samaan lagi sama gue.”
“Nggak. Nggak mungkin sama. Kado dari gue sangat eksklusif soalnya. Lo nggak bakal kepikiran deh,” kata Fauzan dengan yakin.
“Sok banget lo, Jan!” omel Hara. “Ya udah deh, gue cuma mau nanya itu doang tadi. Gue capek, mau mandi dulu. Bye, Ojan,” pamit Hara sambil memutus sambungan telepon.
—
Senin harinya di kantor, bahkan sejak pagi mood Freya sudah terlihat tidak bagus. Baik Fauzan maupun Kalingga tak ada yang berani mengusik Freya hari itu. Kalingga heran sekali, padahal saat di sirkus Freya terlihat sangat senang. Kenapa mendadak hari ini suasana hatinya memburuk ya? Kalingga jadi overthinking, apakah dirinya melakukan kesalahan yang berpengaruh pada suasana hati Freya hari ini?
“Cewek tuh kenapa rumit banget sih?” gerutu Kalingga sambil meninggalkan ruangan.
Fauzan yang jengah melihat keadaan kedua temannya -yang menurutnya sangat aneh-, memutuskan untuk mengambil jalan tengah. Entah apa lagi yang sedang terjadi di antara mereka, tapi Fauzan bertekad untuk “mendamaikan” mereka.
“Kenapa sih lo, Fey? Dari tadi merengut aja, PMS lo?” tanya Fauzan. Freya hanya mendengus kesal.
“Gue lagi kesel sama barista kedai kopi seberang, Jan,” jawab Freya.
“Kenapa? Orderan lo salah?” tanya Fauzan lagi sambil menggeser kursinya mendekati meja Freya.
“Bukan. Mereka kan baru aja launching tumbler edisi winter ya, Jan. Gue naksir tuh satu tumbler. Jumat kemaren gue udah nitip sama baristanya buat disimpenin dulu untuk hari ini gue beli. Eh, pas pagi-pagi gue ke sana ternyata tumblernya udah terjual ke orang lain. Baristanya kelupaan sama titipan gue,” jelas Freya panjang lebar.
“Emang cuma ada satu doang?”
Freya mengangguk. “Iya, limited edition soalnya. Banyak yang ngincer.”
“Ooh,” sahut Fauzan sambil mengangguk-angguk. Apa yang dikatakan Kalingga tadi benar, cewek itu memang sangat rumit. Perkara tumbler saja bisa jadi seperti ini.
“Ya udah, ntar aja cari di Grand Indonesia sekalian. Di sana kan juga ada kedai kopinya, malah lebih besar kan? Kali aja stoknya banyak di sana,” hibur Fauzan.
“Loh, emang gue bilang mau ke Grand Indonesia ya?” tanya Freya heran. Seingatnya dia belum bilang kepada siapapun mengenai rencananya itu.
“Eh, hari Sabtu gue telporan sama Hara. Dia minta temenin lo ke Grand Indonesia kan? Dia mau nyari kado buat si anak Tuhan,” balas Fauzan.
“Anak Tuhan?” Freya tak memahami maksudnya. Mata Fauzan melirik bangku Kalingga.
“Emang kapan Kalingga ulang tahun?” tanya Freya lagi. Fauzan langsung mencibir menatapnya.
“Seriously, Fey?’ sahut Fauzan kesal. Freya masih bergeming, ia masih belum memahami maksudnya Fauzan.
“Anak Tuhan, Freya! Look at the decoration!”
Dengan malas Freya mengamati dekorasi ruangan yang Jumat lalu baru dihias dengan meriah oleh Mas Anto. Sudah memasuki bulan Desember, itu artinya hiasan bernuansa natal sudah boleh dipasang. Freya mengamati pohon natal yang ada di sudut ruangan serta hiasan gantung bernuansa merah dan hijau, warna khas natal.
“Oh, anak Tuhan. I get it now, haha. Bego lo ah, Jan.”
“Elo yang bego. Gitu aja lama banget mikirnya.” Fauzan tak mau kalah, Freya tak peduli. Ia masih sesekali menertawakan lelucon yang tadi dibuat oleh Fauzan.
“Kayaknya enak juga ngeledek Kalingga dengan panggilan anak tuhan, haha. Eh, tapi ini offensive nggak ya?” batin Freya.
“Dari tahun ke tahun, sejak kita masih kuliah. Tiap Kalingga ulang tahun pasti mamanya akan undang temen-temen terdekatnya Kalingga untuk makan-makan di restoran. Syukuran, katanya. Nah kita yang dateng biasanya pada bawa kado gitu, Fey.” Tanpa diminta Fauzan menjelaskan tradisi ulang tahunnya Kalingga.
“Kayak anak kecil aja sih,” sahut Freya.
“Sebenernya nggak wajib sih. Yah, anggep aja sebagai balasan karena udah ditraktir makan.”
“Jadi gue harus ngasih hadiah ke Kalingga?” tanya Freya yang terdengar berat hati.
“Terserah lo. Kalingga sih nggak bakal minta apa-apa. Tapi……”
“Tapi apa?”
“Siapa sih yang nggak suka dikasih hadiah dari orang yang spesial di hari spesialnya, Fey? Apalagi, akhir-akhir ini kan Kalingga udah banyak bantu lo. In my opinion, a little gift for him would be great,” tutur Fauzan dengan bijak sambil mengedipkan sebelah matanya dan memandang Freya dengan penuh arti.
“Hah? Maksud lo apa sih spesial-spesial? Lo nyuruh gue beliin Kalingga martabak spesial?” keluh Freya dengan polosnya. Fauzan tak menghiraukan reaksi Freya. Lelaki itu malah berjalan ke luar ruangan sambil menyelipkan sebatang rokok di telinganya.
“Orang nggak jelas!” omel Freya.
---
“Ra, gue nunggu di depan Lobby Rama ya. Lo masih lama nggak nyampenya?” Begitu sampai di lokasi Grand Indonesia Freya langsung mengonfirmasi keberadaannya. Tadi Hara sempat memberitahu bahwa ia akan sedikit terlambat makanya Freya mau tak mau harus menunggu.
“Lo kalo mau masuk dulu sambil liat-liat juga nggak apa-apa sih, Fey. Nanti kasih tau aja lo ada di outlet mana. Takut bete nunggu sendirian di lobby. Gue paling cepet sepuluh menit lagi baru bisa jalan. Bos gue rese nih, kebiasaan banget kalo minta apa-apa pasti selalu last minute!” sahut Hara panjang lebar dengan nada kesal.
“Nggak deh, Ra. Gue di sini aja. Kalo gue muter duluan takutnya malah main cari-carian lagi. Jujur gue belom hafal banget sama mall ini soalnya. Kegedean.”
“Haha ya udah kalo begitu. Sorry banget ya, Fey, lo jadi harus nunggu.”
“It’s okay, Ra. Gue nunggu lo sambil baca thread panjang di Twitter tentang perselingkuhan kok, jadi gak bosen. Lo santai aja.”
“Ok, then. See you, Freya.”
“See you, Hara.”
Seperti yang Freya katakan, ia sama sekali tak merasa bosan walaupun telah menunggu Hara hampir setengah jam. Gadis itu benar-benar tenggelam dalam ponselnya sampai-sampai tak menyadari bahwa sejak dua menit yang lalu Hara sudah berada di sampingnya.
“Seru banget kayaknya, Fey. Baca apa sih?” tegur Hara. Freya terlihat sedikit terkejut melihatnya.
“Lah, cepet amat?” seru Freya.
“Cepet apanya? Orang gue telat setengah jam kok. Emang nggak berasa pegel lo nunggu selama itu?”
“Nggak tuh. Biasa aja.”
“Masih kuat tawaf nggak lo?”
“Tawaf?”
“Kelilingin mall.”
“Lah, emang lo belom tau apa yang mau dibeli, Ra?”
“Belom. Keliling aja dulu, ntar kalo nemu yang bagus gue beli.”
“Hmm, gitu ya.”
“Kenapa?”
“Ah, nggak. Lo kebalikan dari gue banget ya, Ra. Gue jarang banget keliling mall. Biasanya kalo udah tau mau beli apa dan di mana, gue langsung ke tempat yang gue tuju.”
“Ooh. Tapi ini gak apa-apa kan? Maksud gue, lo mau kan kelilingin mall sama gue?”
“It’s okay. Sesekali gue juga pengen belanja ala wanita seutuhnya kayak gini, haha. Yuk!”
Mereka mulai memasuki satu demi satu outlet yang ada di sana. Mulai dari outlet sepatu, pakaian, tas sampai ke outlet jam tangan mewah, -yang ternyata kisaran harganya di luar anggarannya Hara-, tetapi Hara masih belum menemukan apa yang ia cari. Freya yang awalnya excited dengan window shopping ini lama-kelamaan jadi bosan. Rasa pegal mulai menghinggapi kaki mungilnya, setelah tiga puluh menit berdiri menunggu kehadiran Hara disusul dengan “tawaf” mengelilingi mall ini yang sudah berlangsung sekitar satu jam. Freya heran sekali pada Hara, yang masih dengan penuh energi melangkahkan kakinya kesana-kemari, padahal saat ini Hara tengah mengenakan sepatu yang haknya cukup tinggi.
“Ke situ lagi yuk. Fey. Tadi gue sempet naksir satu barang sih, kayaknya gue mau beli itu aja buat Kalingga.” Hara mengajak Freya memasuki kembali outlet yang pertama kali mereka masuki.
“Okey,” balas Freya singkat yang mulai terlihat bosan. Dengan langkah yang sedikit gontai Freya menyusul Hara. Freya sungguh berharap Hara benar-benar menemukan apa yang dicarinya di outlet ini karena ia sudah lelah sekali dan juga bosan. Perjalanan hari ini terasa lebih hening tanpa adanya obrolan dari Hara dan Freya. Meski sebenarnya tak ada masalah, entah kenapa hari ini mereka saling mendiamkan. Tak seperti biasanya yang selalu punya topik tertentu untuk dibahas. Atau seperti yang sebelum-sebelumnya, tiap kali bertemu dengan Hara, Freya pasti akan mengeluhkan soal Kalingga. Kali ini tidak, sebisa mungkin Freya tak ingin membahas soal Kalingga hari ini, entah kenapa.
Freya mengikuti langkah Hara sampai ke section jaket dan sweater. Sementara Hara asyik memilih-milih beberapa pakaian, Freya lebih memilih untuk mengistirahatkan kakinya di salah satu bangku yang ada di sana. Freya duduk dengan santai sambil kembali asyik dengan ponselnya. Hara yang sejak tadi diam-diam mengamati pergerakan Freya, entah kenapa jadi terlihat sedikit murung.
“Capek ya, Fey,” ucap Hara sambil duduk persis di sebelah Hara. Tangannya menggenggam sebuah sweater berwarna abu-abu yang terlihat cukup elegan.
“Iya nih, terasa juga ya ternyata. Kayak abis lari sprint deh, haha,” balas Freya tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. Hara hanya menanggapinya dengan senyum singkat.
Hara masih terus memperhatikan seluruh gerak-gerik Freya dengan teliti. Wajah Hara terlihat gusar dan juga bimbang. Sejak tadi pikirannya berkecamuk. Sebenarnya selain berbelanja, Hara ingin sekali bertanya tentang satu hal kepada Freya. Tapi sejak tadi hatinya terus diliputi rasa ragu dan juga takut. Bagaimana jika apa yang selama ini ia takutkan benar-benar terjadi?
“Freya….” panggil Hara dengan suara yang penuh keraguan. Freya hanya menanggapinya dengan gumaman tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. Sepertinya Freya benar-benar bosan.
“Lo suka ya sama Kalingga?” tanya Hara dengan lugas dan sedikit terdengar intimidatif. Hal ini berhasil mengalihkan perhatiannya Freya.
“Hah?” sahut Freya heran dengan pertanyaan yang tiba-tiba ini.
“Please, jangan bohong sama gue, Fey. Kalo emang lo beneran suka sama Kalingga, gue nggak apa-apa kok. Gue cuma pengen lo jujur aja, Fey,” sambung Hara dengan cepat. Gadis itu telihat gugup. Freya semakin heran melihatnya.
“Kenapa lo bisa ngomong begitu, Ra?”