Playlist Patah Hati Kalingga

irma nur azizah
Chapter #20

I Lay My Love On You

"Tolong tahan liftnya!” ucap sebuah suara dengan lantang. Freya yang sedang asyik bersandar di sudut lift langsung menekan tombol “tahan” pada lift tersebut. Tak berapa lama kemudian, sesosok pria jangkung memasuki lift dengan terburu-buru; terengah-engah dan berkeringat. Seolah pria itu baru saja menyelesaikan lari maraton.

“Makasih banyak ya, Mbak.” Pria itu berterima kasih kepada Freya sambil menyunggingkan senyum ramah yang manis. Freya membalasnya dengan senyuman malu-malu kucing. Ketika menunggu pintu lift itu tertutup, pria itu menyisir rambutnya yang ikal dengan menggunakan jarinya. Entah kenapa Freya terpana melihatnya.

“Eh, iya. Maaf, permisi, Mbak,” ucap pria itu yang tangannya bergerak menuju panel tombol lantai. Freya yang posisi bersandarnya sedikit menutupi panel tombol segera berpindah posisi.

“Oh iya, maaf keenakan nyender.” Freya memperhatikan bahwa pria itu menekan tombol angka lima belas. 

Freya merasa gelisah. Lift itu hanya diisi oleh mereka berdua dan sejak tadi ia merasa bahwa dirinya sedang diperhatikan. Bahkan Freya sempat memergoki pria itu sedang mencuri-curi pandang lewat cermin yang ada di sudut-sudut lift. Sampai pada akhirnya mata mereka bertemu di cermin, dan entah kenapa Freya jadi merasa malu dan salah tingkah.

“Kenapa ya, Mas?” tanya Freya dengan hati-hati agar tidak terkesan jutek.

"Eh, nggak apa-apa kok, Mbak. Sorry sorry.” Giliran pria itu yang jadi salah tingkah. Freya terheran melihatnya.

Lift berhenti di lantai lima belas dan pria tadi bersiap-siap untuk keluar. Begitu pintu terbuka, pria itu langsung melangkahkan kaki jenjangnya ke luar dari lift sambil mengucapkan :

See you, Mbak.” 

See you?” sahut Freya bingung. Lift kembali bergerak menuju lantai dua puluh satu tempat kantor Freya berada.

Begitu sampai di lantai dua puluh satu, Freya tak langsung memasuki ruangan kantornya seperti biasa. Ia malah sibuk mengambil foto selfie seluruh tubuhnya dengan bantuan kaca ruangan yang memantulkan bayangan tubuhnya. 

“Lo lagi ngapain sih, Fey? Tumben amat selfie di sini,” tegur Fauzan dengan heran. 

“Ah, lo bikin gue kaget aja, Jan!” seru Freya sambil menepuk bahu Fauzan. 

“Kok gue malah ditabok sih!” protes Fauzan kesal.

“Eh, Jan. Penampilan gue hari ini ada yang aneh nggak sih?” tanya Freya tanpa memedulikan protes Fauzan.

“Aneh gimana?” 

“Baju gue aneh atau di wajah gue ada sesuatu mungkin?” tanya Freya lagi sambil memutar tubuhnya perlahan agar Fauzan dapat melihat keseluruhan tubuhnya dengan jelas.

“Hmm, nggak ah. Normal semua kok. Kenapa emangnya?” 

“Masa tadi di lift gue diliatin sama cowok. Sampe gue salah tingkah gitu deh,” jawab Freya sambil menggandeng tangan Fauzan dan berjalan memasuki ruangan.

“Salah tingkah? Berarti cowoknya cakep ya, Fey?” terka Fauzan.

“Lumayan lah. Eh, kok lo tau sih?” sahut Freya penasaran.

“Gampang. Kalo lo diliatin cowok terus lo jadi malu atau salah tingkah, artinya cowok itu cakep. Tapi kalo lo diliatin cowok terus lo malah jadi jijik atau takut, artinya cowok itu jelek.” Fauzan memberikan penjelasan. 

“Wow, pengamatan yang sangat bagus!” puji Freya kagum. Fauzan mendengus.

“Hmph, ini bukan pengamatan yang bagus, Fey. Faktanya emang begitu kan? Standar ganda tau nggak!” tukas Fauzan yang malah terlihat kesal.

That’s what we called beauty privilege, darling,” sahut Freya sok bijak. Lagi-lagi Fauzan mendengus.

Btw, orangnya kayak gimana? Mungkin aja gue kenal. Gini-gini juga gue hampir kenal seluruh orang yang ada di gedung ini, Fey,” ujar Fauzan dengan rasa bangga yang berlebihan.

“Hmmm, orangnya tinggi, badannya proporsional. Rambutnya ikal rada panjang tapi nggak gondrong. Putih dan agak sipit. Wajahnya bersih. Bibirnya tipis. Oh ya, telunjuk kanannya dibalut plester luka,” ucap Freya sambil berusaha mengingat-ingat. Fauzan menghentikan langkahnya dan langsung menatap Freya dengan tatapan antara jijik atau heran.

“Lima menit di lift bareng dan lo udah dapet info sedetail ini? Bener-bener lo ya, Fey. Coba kalo gendernya dibalik. Pasti langsung dikatain cowok freak!” sahut Fauzan dengan ketus.

“Lo kenapa sih dari tadi ngomel terus? Tadi soal beauty privilege sekarang soal gender. Mau mens lo ya?!” omel Freya tak kalah kesal. 

Sorry, kelepasan.” 

“Jadi lo kenal nggak sama yang gue deskripsiin barusan?” tanya Freya.

“Hmmm.” Fauzan tampak berpikir sambil melanjutkan langkahnya. “Pake kacamata?”

Freya menggeleng.

“Ada satu atau dua orang yang kebayang sih, Fey. Nanti deh pas gue kumpul sama anak-anak gue coba cari tau.” 

“Oh, iya. Doi turun di lantai lima belas kalo itu bisa mempermudah pencarian lo.” Freya menambahkan. Fauzan tampak berpikir lagi, sepertinya ia benar-benar penasaran.

“Lo naksir ya, Fey?” tanya Fauzan penuh selidik begitu mereka sampai di ruangan.

“Nggak sih. Penasaran aja, hehe. Udah lama gue nggak diliatin kayak gitu sampe salting sendiri.” Freya meletakkan tasnya di meja dan mulai membenahi rambutnya supaya terlihat lebih rapi. Kemudian ia memalingkan pandangannya ke meja Kalingga yang masih kosong.

“Kalingga akhir-akhir ini datengnya agak siang ya, Jan. Ada apa ya?” tanya Freya yang terdengar khawatir.

“Masa sih? Nggak ah, sama aja. Kita aja yang kepagian kali, Fey. Eh, gue deh yang kepagian. Gara-gara harus ngedropin adek gue yang lagi training di Sarinah nih, makanya gue jalan agak pagian sekarang. Lo mah emang selalu nyampe jam segini kan?” sanggah Fauzan yang tak didengarkan sama sekali oleh Freya. Gadis itu masih memandangi kursi kosong milik Kalingga dengan tatapan hampa.

“Bentar lagi juga anaknya dateng. Nggak usah mikir aneh-aneh deh lo,” tegur Fauzan.

Dan benar saja, selang dua menit dari ucapan Fauzan; Kalingga memasuki ruangan sambil menelepon yang terdengar seru sekali. Wajah Freya langsung semringah.

“Pagi, Lingga!” sapa Freya dengan riang. Kalingga berhenti sejenak di depan meja Freya untuk melongo karena tak biasa-biasanya gadis itu menyapanya seramah dan seriang ini. entah kenapa pikirannya curiga. Tanpa menanggapi sapaan Freya, Kalingga kembali melangkah menuju mejanya.

“Oke kalo begitu, nanti kita bahas lagi deh ya. Pokoknya ini harus loh ya! Gue nggak menerima jawaban nggak. See you soon!” Kalingga mengakhiri panggilan teleponnya kemudian langsung menyiapkan meja kerjanya.

“Apa?” tanya Kalingga dengan galak kepada Freya dan Fauzan yang sejak tadi menatapnya.

“Siapa tuh?” tanya Fauzan.

“Oh, itu Zulfi, Jan. Dia lagi di Jakarta sampe hari Sabtu. Gue udah bilang kita harus ketemu. Nanti dia atur waktu katanya,” jawab Kalingga dengan penuh semangat.

“Oh, pantes kemaren si cungkring itu nge-DM gue di Instagram nanyain Warkop Bang Jamal masih buka apa nggak,” sahut Fauzan. “Kurang ajar tuh anak dateng ke sini diem-diem aja, biar gue gangguin tau rasa tuh!” 

“Trus lo kenapa senyum-senyum kayak begitu, Fey? Sehat?” ledek Kalingga. Tak seperti biasanya, jika Kalingga meledek Freya pasti akan langsung panas; kali ini Freya masih setia menyunggingkan senyum manisnya yang semakin membuat Kalingga curiga.

Happy banget kayaknya, Ling? Ada hal baik yang terjadi ya? Cerita dong ke gue!” seru Freya bertubi-tubi. Sebenarnya sejak Hara mengatakan bahwa ia akan mencoba berbicara kepada Kalingga mengenai perasaannya, Freya penasaran setengah mati perihal kelanjutannya. Hara hanya mengatakan bahwa semuanya berjalan cukup baik, tapi tak benar-benar membahasnya secara menyeluruh. Padahal sebelumnya Hara sudah berjanji akan menceritakannya kepada Freya.

“Ng, biasa aja kok, Fey. Gue harus cerita apa emangnya sama lo?” Kalingga balik bertanya. 

“Oh, oke. Btw, Hara gimana, Ling? Apa kabarnya da sekarang? Gue ngechat Hara kok jawabnya singkat-singkat doang ya? Lagi sibukkah dia?” tanya Freya lagi seolah-olah sudah lama ia tak berhubungan dengan Hara.

“Hara…. Baik kok, Fey. Dia kalo awal tahun emang selalu sibuk banget sih ngurus trip buat bos-bosnya dia. Tapi kemaren sih Ara bilang bosnya belom balik, jadinya belum sibuk banget. Alah, paling dia lagi sibuk drakoran, Fey. Temen lo satu itu kan maniak banget sama drakor. Jangankan chat dari lo, chat dari nyokap atau bokapnya aja sering nggak dipeduliin kalo dia lagi ngedrakor,” jawab Kalingga yang walaupun semakin heran dengan pertanyaan Freya yang tiak biasa ini, tapi tetap memberikan jawaban yang panjang lebar. 

“Lo kenapa sih hari ini? Kok kayaknya ada yang lain?” Kalingga bertanya sekali lagi untuk memastikan. 

“Dia lagi seneng, Ling, gara-gara ditaksir sama cowok lantai lima belas,” ujar Fauzan. Kalingga sedikit terkejut mendengarnya.

“Yang bener?” tanya Kalingga.

“Apaan sih lo, Jan! Jangan bikin gosip deh. Kapan sih gue bilang kalo dia naksir sama gue?” bantah Freya.

“Yah, either dia naksir lo or lo naksir dia. Intinya lo lagi berbunga-bunga kan sekarang?” desak Fauzan. Freya tak membantah. Ia malah bersungut-sungut karena kesal.

“Siapa orangnya?” tanya Kalingga penasaran. Freya hanya mengangkat bahunya. Saat Kalingga memalingkan wajah ke Fauzan untuk mendapatkan jawaban, Fauzan melakukan hal yang sama. 

“Lah, gimana sih? Naksir tapi nggak tau orangnya?” Kalingga terheran.

“Ya orang baru ketemu hari inii di lift,” sahut Freya sambil melipir ke luar ruangan dengan wajah yang ekspresinya tak dapat ditebak.

—-

Sebenarnya, Freya sudah mulai lupa akan sosok pria misterius itu karena walaupun Fauzan sudah mencari tahu mengenai sosoknya kesana kemari, tetap saja identitasnya tak bisa terungkap. Fauzan malah menuduh Freya berbohong kepadanya. Fauzan masih tak percaya bahwa - bahkan dengan koneksi pergaulannya yang sangat luas itu - ,  ternyata gagal membawa hasil yang memuaskan.

“Buat apa sih, Jan, gue bohong sama lo? Nggak ada gunanya tau nggak!” bela Freya saat Fauzan menuduhnya berdusta.

“Kalo menurut gue sih Freya nggak bohong, Jan. Paling dia lagi ngehaluin pacar animenya supaya bisa jadi nyata,” timpal Kalingga asal. 

“Heh, gue emang halu tapi nggak segitunya juga kali. Gue masih bisa bedain mana yang dua dimensi mana yang tiga dimensi,” sahut Freya kesal.

Sejujurnya, Freya tak pernah benar-benar berharap pada pria misterius itu. Sejak awal ia menganggap bahwa kejadian itu hanya angin lalu saja. Rasa penasaran yang sebelumnya pernah dikatakan kepada Fauzan pun sebenarnya hanya ucapan asal saja untuk melihat reaksi kedua temannya itu.

Akan tetapi, sosok pria misterius itu kembali terbayang di benak Freya karena belakangan ini ada kejadian yang tak biasa.

Yang pertama terjadi tepat lima hari setelah pertemuannya dengan pria misterius itu. Ruangan kerja terlihat kosong saat Freya memasukinya. Hanya ada tas Fauzan dan Kalingga yang pemiliknya entah kemana. Saat Freya menghampiri meja kerjanya, ia diherankan dengan keberadaan setangkai mawar merah. Mawar yang duri di tangkainya sudah disingkirkan itu teronggok hampir layu di atas meja kerjanya. Merasa itu bukan miliknya dan untuknya, serta menyadari bahwa salah satu temannya yaitu Fauzan memiliki kebiasaan untuk meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya; maka Freya memutuskan untuk membuang setangkai mawar merah itu ke dalam tempat sampah tanpa rasa bersalah.

Yang kedua terjadi hari ini, tepat enam hari setelah pertemuannya dengan pria misterius itu. Dan hal ini mengubah seluruh perasaannya tentang bunga yang dibuangnya kemarin.

Tak seperti sebelumnya, kali ini “sesuatu” yang diletakkan di meja kerjanya Freya memang diperuntukkan olehnya.

“An apple a day keeps a doctor away, people said. Yah, emang bukan apel beneran sih, soalnya susah nemu yang jual apel deket sini. Sebagai gantinya jus apel aja ya. Sama-sama apel kok. Freya, sekarang udah masuk musim hujan, cuacanya bakal dingin terus. Banyak-banyak minum vitamin C ya biar sehat terus. Have a good day!!” 

Freya membaca kertas ucapan yang diketik rapi itu dengan perasaan bingung. Kemudian ia mengambil sebotol jus apel dingin yang mulai berembun karena perbedaan suhu.

“Ini kerjaan siapa sih? Baik banget ngasih gue ginian,” gumam Freya pelan. Freya bergerak ke luar ruangan untuk mencari Mas Anto untuk menanyakan ulah siapakah ini. Namun nihil, Mas Anto mengatakan bahwa sejak pertama kali ia masuk ke ruangan untuk bersih-bersih, botol jus itu sudah ada di sana. 

Freya kembali ke ruangan dengan perasaan yang lebih bingung lagi. Begitu Freya kembali, sosok Kalingga sudah ada di sana, sibuk dengan komputernya.

“Ling, ruangan kita tuh kalo udah selesai jam kantor dikunci nggak sih?” tanya Freya tiba-tiba. 

“Nggak lah, buat apa? Nggak ada yang penting juga. Paling yang dikunci ruangan utama sama ruangan Bu Mina tuh. Kenapa emangnya?” jawab Kalingga tanpa memalingkan mata dari layar komputer.

“Terus ruangan kita ini ada CCTV nggak?” tanya Freya sambil menengadah untuk mengecek kamera CCTV.

“Dulu sih ada, cuma rusak dan nggak pernah dibenerin. Soalnya aman sih, jadi budget CCTV dipake untuk hal lain,” jelas Kalingga sambil menunjuk salah satu sudut yang tampak seperti bekas kamera CCTV. 

“Kenapa sih emangnya? Ada barang lo yang hilang?” Kalingga terlihat sedikit khawatir.

“Nggak. Nggak ada yang hilang kok. Cuma……” Freya bangkit dan menghampiri meja Kalingga. Ia menyodorkan botol jus tadi kepada Kalingga.

“Makasih ya,” ucap Kalingga sambil meraih botol jus itu. 

“Bukan buat lo ya, gue cuma mau ngasih liat aja.” Tangan Kalingga yang sedang sibuk membuka tutup botol jus itu langsung berhenti saat mendengar kata-kata Freya.

"Oh, kirain, haha.” Kalingga menyodorkan kembali botol jus itu kepada Freya. Sementara itu Freya kini menyodorkan kertas ucapan yang langsung dibaca oleh Kalingga.

“Kemaren ada yang naro bunga mawar di meja gue. Gue pikir itu kerjaan Ojan yang suka asal naro barang jadi gue buang aja. Nah hari ini ada yang naro jus botolan, pake kertas ucapan segala lagi. Gue jadi merasa bersalah, jangan-jangan bunga kemaren juga dari orang yang sama buat gue. Tapi….. gue juga jadi takut sih.” 

“Takut kenapa?” tanya Kalingga heran.

“Takut aja. Kalo gue diracun gimana?” jawab Freya asal.

“Ngapain juga orang ngeracunin lo, Freya? Liat aja botolnya, masih segel nggak? Liat expirednya, masih lama nggak?”

“Masih bagus semua sih.” 

“Nah, ya udah. Anggep aja rejeki nomplok pagi-pagi. Kalo lo nggak mau minum buat gue juga nggak apa-apa kok,” sahut Kalingga sambil berusaha merebut botol itu dari tangan Freya. “Jus mahal tuh.” Kalingga menambahkan.

“Enak aja!” Freya berkelit dan memukul tangan Kalingga dengan botol jus.

“Ada apa sih pagi-pagi udah pertengkaran rumah tangga aja!” tegur Fauzan yang memasuki ruangan sambil membawa setumpuk dokumen.

“Freya punya pengagum rahasia. Dari kemaren dapet hadiah terus. Kemaren bunga, hari ini jus mahal. Kali aja besok sertifikat rumah atau kunci motor, Fey,” jawab Kalingga asal.

“Heh, jaman sekarang masih ada yang kayak begituan?” timpal Fauzan.

“Ada, ini buktinya,” sahut Freya sambil menyodorkan botol jus dan kertas ucapan kepada Fauzan. “Jangan diminum, jus mahal itu.” imbuhnya.

“Terus, lo tau nggak siapa orangnya?” tanya Fauzan.

“Lo itu ngerti arti kata rahasia nggak sih, Jan?” sahut Freya jengkel sambil mengambil kembali botol jusnya, membuka tutupnya dan meminum isinya dengan ekspresi yang berlebihan untuk meledek kedua temannya.

“Ahhh, seger. Jus mahal emang beda ya!” Baik Fauzan maupun Kalingga sama-sama melempar tatapan sebal kepada Freya.

“Eh, Fey. Mungkin ini dari cowok misterius dari lift itu?” seru Fauzan tiba-tiba.  

  “Masa sih?” Freya tak yakin.

“Mungkin aja.” Fauzan terdengar yakin. “Gini ya, first impression kalian berdua sama-sama bagus. Siapa tau cowok ini beneran tertarik sama lo, terus dia cari tau tentang lo. I knew we’ve been looking for him for the past few days but we got nothing. Instead of we finding him, he’s finding you. It’s a good thing, right?” Fauzan memberikan analisisnya.

Umm, still not sure actually,” ujar Freya. 

“Gue jadi makin penasaran, kayak apa sih orangnya,” sahut Kalingga. 

“Atau mungkin Mas Anto! Lo kan baik banget sama Mas Anto, Fey. Siapa tau Mas Anto jadi baper.” Analisis Fauzan terdengar semakin asal.

“Ngaco lo ah, masa iya Mas Anto ngirim bunga ke cewek lain. Mas Anto kan udah punya anak istri di kampung,” bantah Kalingga.

“Lo tau kan, Ling, ada yang istilah yang disebut main gila,” timpal Fauzan.

“Elo yang gila, Jan. Makin sembarangan aja tuh mulut kalo ngomong. Kalo didenger orang lain bisa salah paham jadinya,” omel Freya. “Lagian gue udah tanya ke Mas Anto kok, katanya sejak tadi pagi dia masuk ke ruangan, botol jus ini udah ada di meja gue.”

“Ya udah sih tinggal diterima aja, Fey. Nggak usah dibikin ribet. Anggep aja rejeki buat lo,” saran Fauzan.

“Bukan maksud mau bikin ribet sih sebenernya. Kalo ngasihnya secara anonim gini kan gue jadi bingung ngucapin makasihnya gimana,” ucap Freya. “Pake repot-repot segala beli beginian, gue kan jadi nggak enak.” 

“Gue yakin, orang yang ngasih hadiah secara anonim itu udah paham akan resiko ditolak atau diterimanya. Dan gue juga yakin, kalo orang itu pasti tau kalo lo berterima kasih atas pemberiannya. Entah bagaimana caranya.” Kalingga menasihati dengan bijak. 

“Jadi, balik lagi ke elo mau menyikapinya kayak gimana. Saran gue sih, hargai aja. Jarang-jarang kan ada yang kayak begini jaman sekarang,” sambung Kalingga sambil menepuk-nepuk pundak Freya.

“Bener juga lo, Ling. Thanks ya,” ucap Freya.

Sore harinya, sebelum pulang Freya menyempatkan diri untuk menulis pesan singat di selembar post it berwarna hijau. Pesan yang ditulis tangan oleh Freya itu berbunyi :

Hey, you. Siapapun diri lo, terima kasih banyak ya untuk hadiah kecilnya. Have a good day too!” 

Keesokan paginya, Freya yang masih sangat mengantuk karena malamnya ia secara impulsif menamatkan game perang zombie favoritnya; mendadak segar bak habis diguyur oleh air dingin ketika melihat meja kerjanya yang bersih.

“Ling, Ling, Ling, post it gue hilang!!!” seru Freya dengan heboh. 

“Ng, Freya. Kalo ada barang yang hilang lo seharusnya panik nggak sih? Bukannya malah seneng. Iya sih post it itu murah tapi kan…..” Belum sempat Kalingga menyelesaikan kalimatnya, Freya sudah menarik tubuhnya duluan.

"Ih, maksud gue tuh post it yang kemaren sore gue tulis di sini!” ucap Freya tak sabar sambil menunjuk satu titik di mejanya, tempat kemarin ia menempel post it tersebut.

“Oooh, post it yang ucapan terima kasih itu toh. Bagus dong, artinya pesannya tersampaikan,” sahut Kalingga datar yang kelihatannya tak tertarik. “Terus itu apaan gantinya? Permen?” Kalingga menunjuk dua buah permen yang diletakkan di meja itu. 

Freya mengambil dua buah permen Sugus rasa nanas itu dengan gembira. “Ini pasti dari dia.”

“Heh, nggak modal. Ngasih kok cuma dua biji. Kalo mau ngasih tuh satu bungkus dong. Permen murah padahal,” ledek Kalingga. 

“Sirik aja lo, Ling! Mau dikasih berapa biji kek, yang penting kan niatnya tulus,” sahut Freya sambil membuka satu bungkus permen itu dan langsung memakannya. “Lo mau?” Freya menyodorkan satu bungkus permen kepada Kalingga, yang langsung ditolak mentah-mentah olehnya.

“Nggak, makasih. Ntar malah gue yang kena peletnya bukannya elo,” ucap Kalingga sambil berjalan kembali ke mejanya.

Hari-hari seperti ini terus berlanjut. Freya sudah tidak heran lagi kala setiap pagi ia menemukan hadiah-hadiah kecil di mejanya. Walau penasaran setengah mati akan sosok pengirim hadiah-hadiah ini, tapi Freya terlihat sangat menikmatinya. Rasanya seperti kembali ke masa-masa SMA. Masa ketika cinta monyet sedang gencar-gencarnya mencuri perhatian. 

Selain karena perlakuan yang diterima Freya membuatnya teringat akan masa SMA, ada hal lain yang membuatnya merasa nostalgia; yaitu hadiah-hadiah yang diberikan. Setelah sebelumnya sosok misterius itu memberikan Freya bunga, jus botolan dan juga permen. Hadiah untuk hari-hari berikutnya sungguh tak biasa. Mulai dari gulali, permen cicak, cokelat koin sampai kue bolu kering sudah pernah Freya terima. Sampai-sampai Freya curiga jangan-jangan sosok misterius yang mengiriminya semua hadiah ini memiliki warung jajanan jadul di rumahnya. 

Berkat hadiah dari sosok misterius ini, hari-hari Freya jadi jauh lebih berwarna. Hal ini membuat Freya jadi lupa akan niatnya untuk menginterogasi kelanjutan hubungan Kalingga dan Freya. Setiap harinya Freya sibuk memikirkan atau menerka-nerka akan kejutan apa yang akan diterimanya. Dan sejauh ini, apapun hadiah yang diberikan oleh sosok misterius itu tak pernah gagal untuk membuat Freya terkagum. Seperti misalnya hari ini, di atas mejanya ada sebuah amplop putih yang bertuliskan “I Dare You.” 

Freya membuka amplopnya dan di dalamnya ia menemukan secarik kertas yang bertuliskan : 

“Freya, inget nggak sih waktu kecil dulu permen karet ini terkenal banget. Kita disuruh ngumpulin huruf nama merknya sampai lengkap biar dapet hadiah. Tapi nggak pernah ada yang berhasil karena kita semua selalu kesulitan dalam menemukan huruf N yang mitosnya emang nggak pernah dicetak. Satu generasi dikerjain sama produsen permen karet. Gokil nggak tuh. Tapi Freya, setelah beberapa dekade, akhirnya huruf N yang katanya cuma mitos itu muncul tuh. Dan sekarang, gue mau nantang lo. Berani nggak lo kirim bungkus permen karet yang tulisannya udah lengkap itu ke produsennya. Gue nggak tau sih campaign itu masih ada atau nggak. Tapi….. lo penasaran nggak sih? Haha. Kabarin ya kalo misalnya hadiahnya bener dikirim. Good luck!!”

Kemudian Freya mengeluarkan lima buah permen karet. Ia membuka bungkus permen karet itu satu per satu dan menjejerkannya di meja. Lengkap sudah lima huruf yang kalau dirangkaiakan membentuk nama merk dagang dari permen karet tersebut. Freya benar-benar terpukau sampai tak tahu harus berkata apa. 

“Kenapa lo?” tanya Kalingga heran saat melihat ekspresi Freya yang tampak sangat terharu. Di belakangnya, Fauzan terlihat cemas. Freya menggeleng sambil menghapus air mata yang ada di sudut matanya.

“Lo tau permen karet ini nggak sih?” Freya menggeser bungkus permen karet itu agar kedua temannya dapat lebih jelas melihatnya.

“Oooh, Yosan. Tau lah! Eh, ini hurufnya udah lengkap?! Lo beli di mana, Fey?” seru Fauzan dengan antusias. Freya kembali menggeleng.

“Ini dari pengagum rahasia lo?” tanya Fauzan yang terlihat semakin antusias. Kalingga sampai heran sendiri melihatnya. Freya mengangguk.

“Fey, dengerin gue ya. Kalo lo udah berhasil tau siapa orangnya, please banget jangan dilepas, Fey. Orang kayak gini jarang banget ada di dunia.” Fauzan menasihati secara berlebihan. 

“Heh, apa istimewanya? Permen karet doang kok.” Kalingga mencibir. Fauzan langsung geleng-geleng kepala heran melihatnya.

“Denger ya, Kalingga Rasendriya. Kalo ada orang yang dengan tulus ikhlas memberikan kulit ayam saat lo makan di KFC atau MCD, begitupun dengan orang yang memberikan bungkus permen Yosan yang hurufnya N; orang itu nggak boleh dilepaskan!! Karena artinya, orang itu sayang banget sama lo. Orang itu cinta banget sama lo.” Gantian kini Fauzan menasihati Kalingga.

“Heh, teori dari mana pula itu? Ngarang aja lo, Jan!” bantah Kalingga. 

“Itu udah teori umum, Kalingga. Percaya kata-kata gue deh.” 

“Terus lo beneran mau kirim? Emang lo tau alamatnya?” tanya Kalingga. Freya langsung mengangguk penuh semangat sambil menyerahkan amplop tadi pada Kalingga.

“Luckyly, secret admirer gue udah ngasih tau alamat pengirimanya juga. Jadi apa salahnya dicoba,” sahut Freya. Tiba-tiba Fauzan bertepuk tangan secara dramatis. Kemudian dengan wajah sok bijaknya Fauzan mendekati Freya, memegang kedua pundaknya dan berkata :

“Fey, kalo udah ketauan siapa orangnya, langsung nikahin. Percaya sama gue,” ucap Fauzan dengan suara tenang yang sulit dibedakan apakah dibuat-buat atau tidak. Yang jelas baik Kalingga maupun Freya merasa jijik mendengarnya.

“Temen lo udah sinting, Ling,” ledek Freya.

“Kan gue bilang juga apa.” Kalingga menimpali. 

Lima hari berlalu tanpa ada kehebohan. Lima hari pula sosok misterius itu absen memberikan Freya hadiah-hadiah kecil. Hal ini membuat Fauzan, Freya dan Kalingga berspekulasi macam-macam. 

“Jangan-jangan dia sakit,” pikir Freya.

“Atau warungnya udah bangkrut,” timpak Kalingga.

“Udah punya pacar beneran kali,” ujar Fauzan yang terlihat kecewa.

Entah kenapa hal ini membuat Freya dan Fauzan tak bersemangat seperti biasanya. Prospek “gebetan misteriusnya” Freya ini memang sudah menjadi topik pembicaraan seru untuk dibahas tiap harinya tak hanya oleh mereka berdua, bahkan Bu  Mina setiap harinya selalu bertanya, “Dapat surprise apa hari ini, Freya?”

Hanya Kalingga yang tampak tak tertarik.

Sampai suatu siang, Freya terlihat sedikit jengkel pada kurir ekspedisi pengiriman yang entah kenapa ngotot ingin bertemu dengannya untuk mengantarkan paket.

“Ih, Mas, titip di resepsionis aja kenapa sih? Saya kalo nerima paket juga pasti dari resepsionis kok. Nggak pernah dari kurir langsung. Tenang aja resepsionisnya juga udah kenal sama saya kok. Paketnya nggak mungkin nyasar,” keluh Freya saat sudah ketiga kalinya kurir itu menelepon. Tampaknya kurir itu masih berargumen dengan Freya karena panggilan masih belum berakhir dan wajah Freya tampak semakin kesal.

“Ya udah deh, saya ke sana,” sahut Freya pada akhirnya.

Lihat selengkapnya