Rambut cokelat Kara dikuncir. Wajahnya dipoles dengan sedikit bedak, agar tidak tampak pucat. Kemudian, tak lupa lipstik untuk bibir tipisnya. Dia hanya mengenakan kaus lengan pendek warna kuning. Kemudian dipadukan dengan celana jeans warna biru muda. Tak lupa, sepatu kets putih kesayangannya. Tas selempang kecil yang tergantung di belakang pintu diambilnya, lalu ponselnya dia taruh ke dalam sana.
"Lo mau ke mana?"
Pertanyaan itu mengudara ketika Kara melewati ruang keluarga. Fiona Ghazzani, sepupunya itu sedang maskeran di sofa tunggal. Oh iya, Kara hampir lupa, ini hari kedua dia tinggal bersama keluarga Paman Edi; adik kandung mendiang ayahnya.
Sejak kebakaran yang merenggut nyawa orangtuanya, Kara tinggal di panti asuhan sampai ada yang mau mengadopsinya. Saat itu keluarga pamannya bahkan tidak peduli. Tapi, sekarang pamannya memungutinya ketika dua hari yang lalu tidak sengaja melihatnya sedang dipukuli oleh ibu angkatnya. Kara tidak tahu apakah dia harus berterima kasih atau tidak pada pamannya yang telah mengeluarkannya dari keluarga angkat yang terus menyiksanya.
Dia sebenarnya juga tidak betah tinggal di rumah pamannya. Nirmala, istri Paman Edi atau yang dia panggil Bibi Mala, tampak kurang suka dengan kehadirannya. Pun Fiona yang seperti itu. Ditambah sejak kedatangannya, dia dipinta menjadi kasir di mini market mereka yang tepat berada di depan rumah. Katanya, itu dihitung sebagai biaya makan dan menetap di rumah mereka. Dan Kara mengiyakannya hanya karena dia merasa bosan di siang hari.
"Lo mau ke mana?" ulang Fiona karena yang dia dapatkan hanyalah lamunan Kara.
"Mau gue ke mana pun, bukan urusan lo." Kara pun berlalu, tak peduli kalau sepupunya itu dibuat kesal olehnya.
***
Malam semakin larut, orang-orang semakin ramai berdatangan. Kara mondar-mandir mengantarkan minuman. Berisiknya suara musik dan juga lampu kelap-kelip sudah familier baginya. Menjijikkan. Ketika tangan-tangan nakal mendarat di pinggangnya, atau hampir ke tempat lainnya, yang berhasil dia tangkis dengan pelan. Mau bagaimana lagi?
Itulah nasibnya. Dunia memang kejam. Dia bekerja di tempat hiburan malam, mulanya ketika umurnya tujuh belas tahun, dia diperlakukan seperti babu di rumah keluarga angkatnya. Makan mungkin hanya sekali sehari, jadi dia langsung mau ketika ditawarkan di tempat itu. Atau tidak dia akan mati dalam kelaparan. Walaupun sebenarnya dia tidak punya tujuan hidup. Hidup terlalu monoton baginya.
Pamannya tidak tahu dia bekerja di sana. Kara masih menimang antara lanjut kerja atau mengundurkan diri. Namun, lagi-lagi dia sudah terbiasa dengan tempat itu.
***
Semalam Erland menginap di studio. Dia mengulas senyum ketika sudah bersiap-siap untuk pergi kuliah. Ah, sebenarnya bukan ke kampus dulu. Alasan di balik senyum semangatnya itu adalah dia tidak sabar untuk mampir di mini market depan dan bertemu Kara.