Please, PROTECT ME!

Charansa
Chapter #2

Friend

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku dan bangun dari tidurku. Aku melihat sekeliling, kamarku. Tidak ada yang berbeda, apa yang tadi itu adalah mimpi? Tiba-tiba kepalaku terasa begitu sakit dan terasa ingin pecah. “Kau sudah bangun?” Mama masuk kedalam kamarku lalu duduk disampingku sambil memegang keningku. “Sudah turun.” Ujarnya. “Mama, ini sudah jam berapa?” tanyaku lalu melihat jam dindingku. “Mama, mengapa tidak membangunkanku dari tadi? Ini sudah hampir telat.” Ujarku lalu bangun dari tempat tidur.

“Apa kau yakin ingin berangkat sekolah?” tanya Mama. “Memangnya kenapa?” tanyaku balik. “Apa kau lupa dengan kejadian kemarin?” tanya Mama sambil menarikku untuk kembali duduk di tempat tidur.

“Eiko, di temukan meninggal dengan 2 tusukan yang dalam di dadanya dan beberapa pukulan benda tumpul pada tubuhnya. Karena kau menelepon seorang polisi dan tidak sempat mengatakan apa-apa, polisi tersebut curiga lalu segera melacakmu menggunakan ponsel milikmu. Dan saat kau ditemukan pingsan di dalam toilet kedai ramen, ditemukan juga Eiko yang sudah tidak bernyawa di dalam bangunan tua.” Ujar Mama membuat napasku kembali tercekat.

Ternyata ini bukan mimpi.

“Bohong...” hanya kata itu yang bisa kuucapkan. Mama segera memeluk tubuhku dengan erat. “Mama tidak bohong nak, apa yang Mama katakan adalah benar.” Jawabnya.

“Mama akan mengantarmu ke tempat pemakamannya. Sekarang kau pergi mandi dan gunakan pakaian yang sopan. Mama akan menunggumu di ruang TV.” Ujar Mama sambil menepuk bahuku dan beranjak keluar dari kamarku.

Aku menatap kosong kamarku dan segera melihat ponselku yang tergeletak diatas tempat tidur. Aku membuka ponselku dan melihat beberapa gambar yang kuambil bersama Eiko. Tiba-tiba air mata menetes dan tepat jatuh diatas gambar wajah Eiko yang tersenyum begitu lebar.

Dan berhentilah gerakan tanganku untuk memindah setiap gambar saat melihat gambar lokasi TKP dengan Eiko yang terbujur lemah diatas ubin yang dingin dengan di kelilingi 11 pria dan Fujiwara.

Ya! Aku baru mengingatnya, semua kejadian kemarin terus berputar di kepalaku bagai kilatan petir. Aku segera masuk kedalam kamar mandi dan membasahi tubuhku dengan air dingin.

><><><><>< 

Aku berjalan pelan menuju tempat pemakaman dengan menggunakan gaun hitam yang kembar dengan milik Mama. Di sana ternyata sudah penuh dengan beberapa teman dan guru yang terlihat berduka serta beberapa polisi yang sedang berbincang.

Saat aku memasuki ruangan dimana tempat penghormatan terakhir dilakukan, suasananya begitu kelam dan pengap. Bulu kudukku terasa berdiri saat melihat sebingkai foto Eiko yang tersenyum begitu manis di depan kamera. Napasku terasa begitu berat seperti ada yang menahanku, langkahku begitu berat hanya untuk tiga langkah lagi. Dan saat itulah air mataku kembali menetes.

Bruk!

Tubuhku tersungkur didepan Eiko. Hati ini terasa begitu sakit.

Eiko... mengapa kau begitu cepat pergi? Apa kau lupa dengan janji yang telah kau berikan padaku? Kau bilang padaku akan mengajarkan sesuatu padaku. Harusnya kau tepati janjimu padaku. Bukannya pergi seperti ini!

Eiko, aku benar-benar merindukanmu. Aku ingin mendengar ocehanmu. Aku ingin mendengar suaramu yang kadang membuat telingaku sakit. Aku ingin membuatmu kesal lagi. Aku ingin kita bernyanyi bersama lagi. Aku ingin kita membuat lagu bersama lagi. Aku ingin kita tertawa bersama lagi. Aku ingin menertawakan orang lain bersamamu lagi. Aku ingin kau kembali.

Maafkan aku... maafkan aku Eiko. Maafkan aku, harusnya aku segera menelongmu harusnya aku segera menyelamatkanmu. Bukannya pergi kabur dan meninggalkanmu, maafkan aku Eiko...

Hiks... hiks...

Eiko... aku menyesal. Maafkan aku.

“Bomi-chan...” ujar seseorang sambil mengelus kepalaku. “Tolong doakan Eiko agar ia pergi dengan selamat.” Ujar Ibu dari Eiko. Wajah tuanya begitu terlihat pucat, matanya pun terlihat bengkak. Aku yakin, ia sudah menangis berkali-kali sejak kemarin.

“Okaa-san[1].... kumohon, tegarlah.” Ujarku pelan dan air mata kembali menetes dari wajah ibunya yang sudah dimakan usia. “Eiko... dia sangat menyayangimu sebagai sahabatnya. Ia berterimakasih karena sempat menjadi sahabatmu selama menjadi siswa SMA ini.”

Mendengar hal tersebut air mataku kembali keluar dan perlahan kutatap wajah Eiko yang tersenyum manis. Aku mengingat ucapan yang pernah ia katakan padaku.

“Bomi-chan. Setiap manusia kan pasti akan meninggal. Aku takut aku akan pulang lebih cepat, jadi kumohon, kau bisa memaafkan kesalahan yang pernah kubuat padamu kan?”

“Kau ini bicara apa sih? Jangan suka berbicara seperti itu. Jangan menakutiku ya!”

Aku bangun dan berjalan mendekati meja tempat abu Eiko diletakan. Aku segera meletakan karangan bunga yang kubawa lalu memberikan penghormatan terakhir padanya.

Eiko... maafkan aku karena tidak bisa menjadi sahabat yang baik sampai kau pergi. Maafkan aku, karena selama ini, aku tidak pernah menganggapmu sebagai sahabatku, selama ini aku hanya menganggapmu sebagai teman sekolah biasa. Maafkan aku karena baru menyadarinya setelah kau pergi, bahwa kau sangatlah berharga bagi hidupku. Sahabatku, aku mencintaimu.

Aku kembali bangkit sambil menghapus air mataku dengan kasar. Dan segera berbalik sebelum aku kembali menangis bila menatap wajah Eiko yang dibingkai hitam itu.

Dari kejauhan terlihat seorang polisi yang berdiri di pintu. Dengan perlahan ku keluarkan ponsel yang kusimpan di saku milikku dan kembali membuka foto yang kuambil kemarin.

Kalau aku menyerahkan bukti ini, ini berarti aku bisa membantu menangkap pelaku pembunuhan yang kabur itu kan?

Aku berjalan pelan dan melewati beberapa teman yang memanggilku, aku takut bila aku menengokan kepalaku, keberanian yang sudah bulat untuk menyerahkan bukti hilang begitu saja.

“Sepertinya, pelaku pembunuhan ini sama seperti pelaku pembunuhan sebelum-sebelumnya.” Ujar seorang polisi.

Jangan-jangan... yang dimaksud dengan polisi ini adalah... pelaku pembunuhan Eiko, mungkin juga adalah pelaku pembunuhan berantai yang heboh beberapa minggu ini?

Lihat selengkapnya