Please, PROTECT ME!

Charansa
Chapter #3

Bodyguard

BOMI

Mataku membulat ketika mendengar ucapannya, dia bilang dia akan menjadi pelindungku? Apakah ini maksud dari yang dikatakan Jenderal kemarin? Bahwa aku akan mendapatkan pelindung spesial?

Tiba-tiba aku merasa perutku seperti di tinju oleh beberapa tangan. Membuatku sedikit mual dan jantungku berdebar tak karuan. Aku akan dilindungi Shinichi?

“Mengapa kau melamun seperti itu?” tanya Shinichi membuatku kembali menatapnya. “Ah... bukan apa-apa. Aku hanya masih belum dapat percaya dengan apa yang kau katakan padaku.” Ujarku pelan. “Sebenarnya aku juga tidak dapat percaya dengan apa yang kukatakan tadi padamu. Aku tidak bisa percaya mengapa ayahku menyuruhku untuk menjadi pelindungmu, padahal jelas-jelas aku hanyalah seorang pelajar biasa.”

Aku menatap matanya dalam, sepertinya ia tidak menyukai keputusan ayahnya, ia terlihat begitu malas bahkan beberapa kali menghembuskan napasnya. “Kalau memang terpaksa, tidak perlu kau lakukan. Aku bisa melindungi diriku sendiri.” Ujarku sambil berbalik.

Sungguh, sebesar apapun aku menyukainya, sebesar apapun aku ingin berada disampingnya, sebesar apapun aku ingin dilindungi orang yang kusukai, aku tidak mau kalau orang itu merasa terpaksa dan hanya membebani hidupnya.

“Ah! Bukan itu maksudku, ah bagaimana ya... aku hanya merasa tugas ini begitu berat. Bukan karena aku dipaksa oleh ayahku. Kumohon jangan salah paham.” Ujarnya setelah menarik lengan kananku dan membuatku kembali menatapnya.

“Tapi... aku akan berusaha sebaik mungkin untuk melindungimu, karena aku sudah berjanji pada ayahku.” Lanjutnya membuatku menatap tangannya yang masih menggenggap tanganku.

“Tidak, aku tidak ingin membawa orang lain ikut kedalam masalahku.” Kataku membuat ia semakin menarikku agar aku kembali menatapnya. “Aku bukan orang lain.” Ujarnya membuatku menatapnya bingung.

“Ayahku sendiri yang terjun pada kasus ini, dan ayahku sendiri yang memohon padaku untuk melindungimu. Itu berarti aku bukan lagi orang lain bagimu. Aku adalah pelindungmu.”

Deg!

Tiba-tiba jantungku berdetak lebih cepat setelah mendengar kalimat terakhir yang ia ucapkan. Dengan wajah memerah aku memalingkan wajahku dan menatap langit biru tanpa awan. “Wakata[1].” Kataku gugup.

“Hei apa yang kalian lakukan disana? Kalian sedang berpacaran ya? Apa kalian tidak tahu kalau sekarang sudah masuk?” ujar seorang guru perempuan membuat tangan Shinichi yang sedari tadi menggenggamku melepaskan genggamannya dan memasukan tangannya kedalam saku celananya. “Ah! Aku lupa kalau sekarang pelajaran Wakate Sensei! Hah! Aku bisa-bisa di marahi habis-habisan!” ujarku saat melihat jam dan segera berlari setelah memberi hormat kepada guru perempuan itu.

Aku berlari dengan tergesa-gesa menuruni tangga berharap lebih cepat sampai di kelas terlebih dahulu sebelum Wakate sensei masuk kedalam kelas.

Bruak!

Aku segera membuka pintu dan syukurlah guru Matematika itu belum masuk kedalam kelasku. “Darimana saja kau Bomi-chan?” tanya Hanna saat aku sudah menghempaskan bokongku di bangku berwarna coklat. “Bukan dari mana-mana.” Jawabku sambil tersenyum padanya.

Ia hanya menatapku sambil menggelengkan kepalanya dan kembali membaca buku matematika. Aku juga mengeluarkan buku matematika sebelum Wakate Sensei masuk kedalam kelas. Kalau aku belum mengeluarkan buku matematika dan membacanya bisa-bisa aku di suruh maju kedepan dan namaku di tulis di ‘death note’ yang selalu ia bawa untuk menulis nama-nama siswa yang baginya menjengkelkan.

Syukurnya, selama ini aku belum pernah ditulis di ‘death note’ miliknya. Tidak terbayang olehku namaku akan tertulis di ‘death note’ miliknya dan di rapor semester milikku.

“Selamat pagi.” Wakate Sensei masuk kedalam kelas dan membuat kelas menjadi begitu hening dan sunyi hanya terdengar derit sepatu hitam miliknya yang berjalan mengitari ruang kelas untuk memeriksa apakah semua siswa membawa buku matematika atau tidak.

“Sangat menyesal mendengar Yamaguchi Eiko sudah tiada. Dia adalah salah satu siswa terbaik di kelas ini. Semoga, Yamaguchi dapat diterima disisinya.” Ujar Wakate Sensei.

Aku kembali menatap bangku yang biasa diduduki oleh Eiko. Lagi-lagi perasaan tidak enak muncul padaku. Aku kembali memijat dahiku yang sedikit berdenyut setiap kali mengingat Eiko.

><><><><>< 

Kring! Kring!

Bel istirahat berbunyi, semua siswa bernapas lega setelah menjalani waktu tiga jam bersama Wakate Sensei berturut-turut.

Aku mengambil kotak makanku yang kusimpan di kolong meja dan mengambil minum yang kusimpan di samping tas. “Hei!” ujar seseorang membuatku mendongakkan kepala dan sedikit terkejut.

“Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku saat melihat Shinichi yang berdiri dihadapanku sambil membawa sebuah buku dan pulpen serta sekotak makanan. “Sudah kubilang aku akan menjadi pelindungmu.” Ujarnya membuatku menatapnya bingung.

“Aku tahu, tapi ini kan kelas, dan ini di sekolah. Mana mungkin pelakunya ada disini?” ujarku malas. “Otou-san bilang, mungkin saja pelakunya adalah salah satu pelajar disekolah ini.”

Aku menatapnya tak percaya. “Apa maksudmu?” tanyaku sambil berbisik.

Saat Shinichi hendak berbicara, Tatsuki memanggil Shinichi. “Hei Shinichi! Apa yang kau lakukan disini? Mengapa kau membawa bekalmu kesini? Apa kau berkencan dengan Bomi?” tanya Tatsuki berturut-turut. Yang ditanya hanya diam saja dan kembali menatapku.

“Aku tidak bisa bercerita disini. Intinya, Otou-san mencurigai ada komplotan tersangka yang bersekolah disini.” Kata Shinichi.

Sebenarnya aku tahu siapa salah satu yang dimaksud oleh Shinichi. Komplotan tersangka itu adalah Fujiwara Natsumi yang hari ini absen sekolah. “Oh iya... apa kau bisa menuliskan kegiatan yang biasa kau lakukan sehari-hari?” tanya Shinichi membuatku kembali menutup mulutku. “Apa? Maksudmu dari bangun hingga tidur lagi?” tanyaku

Ia hanya mengangguk dan memberikanku bukunya serta pulpen miliknya.

Memangnya apa yang biasa kulakukan?

“Kau saja yang menulis, aku malas menulis. Lagipula kegiatan yang kulakukan tidak banyak. Aku bangun pukul 6 pagi, lalu pukul 7 pagi aku berangkat menuju stasiun. Pukul 8 sampai disekolah. Karena aku tidak punya klub, aku langsung pulang. Setelah pulang aku berolahraga sebentar dikamar, lalu bemain komputer, membuka twitter, menjadi fangirling, dan menonton drama Korea yang ku download. Setelah itu pergi tidur pukul 8 atau 9 malam.”

Dia hanya menatapku dengan tatapan seperti mengatakan ‘Hanya itu yang kau lakukan dalam hidupmu?’ “Hanya itu? kau tidak belajar malam?” tanyanya. “Untuk apa belajar lagi? Kan sudah belajar di sekolah.” kataku membuatnya menggelengkan kepalanya sambil berdecak.

“Terserah padamu.” Ujarnya sambil menuliskan kegiatanku sehari-hari. “Oh iya... aku belum punya nomor ponselmu.” Katanya sambil memberikan ponselnya padaku.

Wah! Dia meminta nomor ponselku! Wahahahaha... aku yakin sekarang wajahku terlihat begitu bahagia. Hihihihihi....

Lihat selengkapnya