“Aku yang nulis?!” Jengah dengan kemungkinan jawaban yang kudapat, ditambah pria ini yang sepertinya terserang penyakit kaku mulut dadakan, kucengkram kemejanya. Aku yang bikin? Dan gadis putus asa ini....? Dia sakit kan? Aku tertawa dalam hati, serius?
Pria yang kutanyai memperbaiki kaca matanya yang melorot ke ujung hidung. Kubiarkan sorot matanya mencapai mataku. Kami bertatapan, berhadapan, dipisahkan oleh meja kasir, dan disaksikan oleh para pembeli di tokonya yang menikmati adegan layaknya livestreaming ini.
“Ya,” jawabnya singkat dengan anggukan.
Aku benci dia. Seharusnya aku bertanya, ‘Bagaimana bisa aku menulis buku ini?’, sehingga jawaban yang kudapatkan mungkin akan sepanjang satu bab novel. Tapi urung kulakukan, aku menukar pertanyaan.