Saat bayi pertama kali berbicara, semua orang bergembira. Walau cuma sekedar: ‘Ma’, ‘Pa’, atau mungkin ‘Pis’. Saat aku berbicara pertama kalinya setelah siuman, kupikir mereka juga bahagia, meski penuh air mata. ‘Kanina’, ujarku pada dokter waktu itu. Merasa aneh, seperti alien yang baru mendarat di planet asing, kulihat semua orang yang menangis itu kompak saling berpandangan. ‘Dia udah bisa ngomong, setelah tiga tahun tidur’, kalimat itu karanganku saja. Aku tak pernah bertanya mengapa mereka begitu ‘heran’ atau ‘kaget’ saat aku terbangun dari komaku. Apa mereka tak mengharapkan aku kembali begitu cepat ke dunia ini? Tiga tahun tidak cukup? Ah, lagi pula, siapa mereka? Dan siapa aku bagi mereka? Waktu itu aku enggak punya clue apa-apa.
Biar kuperkenalkan diriku, sesuai dengan sisa-sisa ingatan yang masih tertinggal dari kepalaku yang untungnya masih selamat. Aku udah bilang tadi, aku Kanina. Berpikir kalau aku dulu mantan model. Umur hampir kepala tiga. Sekarang sedang memasuki tahap insecure kronis. Tiba-tiba saja aku jatuh di suatu tempat asing yang tak pernah kulihat sebelumnya. Walau tempat sebelumnya lagi itu, aku tetap tak ingat juga. Pokoknya riweh sekali.
“Heni! Aku beneran model kan?!” tanyaku sambil fokus pada es krim rasa vanilla dan tv bergantian. Masih pagi dan rasanya aku hampir mengembang karena terlalu lama kepanasan. AC di kamar mati, jadi kuhidupkan kipas angin besar bekas properti restoran, langsung hadap-hadapan dengan wajah. Lima kali tetesan es terbang dan menempel beku di pipi dan hidungku. Heni, adikku yang masih di bangku SMP, menggeleng-geleng miris melihat ke-gabutan kakak sintingnya ini. Aku yakin dia berpikir begitu.
“Yaa...” balasnya tak acuh, sambil mengenakan sepatu.
“Model apa ayo?”
“Tanya ibu,”
Pukul kepalaku dengan ekskavator di depan rumah kami, kalau dia jujur.
Oke, anggap itu benar. Kan tragis sekali jadinya. Dari seorang bintang di majalah, iklan tv, dan catwalk, sekarang terdampar di ‘pulau’ bernama takdir. Salju kehidupan gemilangku telah mencair. Luruh seperti lilin yang telah padam. Bekerja membantu orang tua di restoran Padang dan menjadi pekerja sambilan di pabrik garmen tante, tentu tak dapat menyaingi pekerjaanku dulu. Nasib sedang main-main denganku.
Tentu ada sendu, dan kadang air mata. Terjebak di lubang kekalutan memori acak, yang terkadang tak ada keyakinan bahwa itu milikku. Berkelabat seperti kibasan angin yang menyambar, membawa bisikan: ‘Kanina’, ‘seorang model’, ‘berjalan di catwalk’, ‘ibu di rumah sendiri’, ‘ibu menyiapkan bekal’, ‘mobil mogok’, dan semacamnya.
Ini akibat yang kuterima dari kecelakaan yang kualami lima tahun lalu. Semua ledakan emosi, redaman amarah, lirih hidup, air mata dan segalanya itu, tak begitu membekas lagi di ingatanku. Karena memang ingatanku yang tertinggal juga tak kalah sedikitnya. Rasanya seperti sesuatu yang pernah terjadi dan aku tak bisa menceritakannya dengan baik lagi.
Ingatanku hanya sesederhana ini; aku pernah ke sana, dengan seseorang, dan sebagian besar tak tahu detail apa yang terjadi di sana, seperti aku tak tahu waktunya, nama tempatnya, dan bagaimana perasaanku sebenarnya saat itu. Terkadang, kurasa bukan aku yang berada di peristiwa itu, seperti orang yang diberitahu, seolah-olah ini adalah bagian dari cerita orang lain, atau aku mencomot sebuah adegan kehidupan orang lain. Bahkan kebanyakan tak dapat kubayangkan secara visual, hanya berupa pemikiran-pemikiran yang terkadang tak dapat kuabaikan.
Kata dokter syaraf tempat aku berkonsultasi dulu, aku mengalami semacam masalah ketidak mampuan secara mental untuk membayangkan kejadian yang pernah kualami dulu, akibat dari geger otak yang kualami. Namun ketika kukatakan ibuku berpikir aku sering mengatakan hal yang tidak terjadi di hidupku, dan hampir semuanya adalah cerita yang tidak benar, keruwetan masalahnya bertambah. Orang yang mengalami amnesia, ingatannya memang suka ngawur. Dan aku ngawur dalam kesadaran penuh. Sangat yakin dengan ceritaku.
Garis perubahan yang ada di otakku dengan kenyataan, ditarik hampit melengkung 180 derajat, membingungkan. Seakan-akan, kuambil kulit salak, sedangkan isinya telah kutukar dengan jeruk.
“Dengan siapa kamu tinggal di sana?”
“Ibu, aku cuma punya ibu, ayahku sudah lama meninggal,”
“Umur kamu berapa?”
“28 tahun,”
Kening dokter paruh baya itu sedikit berkerut. Aku menatap semua orang asing yang sedang menatapku balik dengan sorot khawatir. Aku menjawab dengan baik, katanya, di beberapa pertanyaan. Masalahnya, aku menjawab salah, katanya, di sebagian besar pertanyaan lainnya.
“Aku tinggal dengan ibuku yang lumpuh di kontrakkan kami. Aku nggak punya saudara. Kerjaan aku model di majalah, catwalk, dan aku nggak ingat siapa kalian semua. Kenapa bukan ibu yang di sini?”
Kenapa otakku seperti menyaring ikan yang yang salah? Kasihan, dokter itu sampai bingung harus menjawab apa. Aku koma tiga tahun. Tiga tahun! Tiga tahun umurku berlalu seperti debu disapu angin. Tak ada yang dapat kuraih kembali, semuanya pergi. Menatap wajahku di cermin, kupikir siapa orang yang menatapku balik dengan mata cekung dan pipi kopong seperti tengkorak itu? Aku tak kenal dia, tapi dia terus mengikuti kedikan kepala, kedipan mata, dan bahkan air mata yang bergulir di pipi.
“Kamu siapa?” bisikku pada diri sendiri. Tak ada jawaban. Hanya kehampaan yang memekakkan kesendirianku.
Ayah, ibu, Heni dan juga Gita, orang-orang yang mengisi seluruh hidupku dahulu –yah, ini hanya katanya sih, aku hanya dapat cerita dari orang lain− tak ada dalam bayangan masa laluku. Seperti ceritaku sebelumnya, aku berpikir aku anak tunggal, dan orang tuaku hanya tinggal ibu seorang. Tidak punya teman, sering mabuk-mabukkan, dan punya pacar artis. Tiga kata terakhir itu, ‘punya pacar artis’, kuucapkan dengan penuh percaya dirinya waktu itu. Kulihat ekspresi mereka semua yang syok mendengarnya, maybe kasihan. Akhir-akhir ini, di saat-saat senggang dan tak ada hal lain yang bisa kupikirkan, kucoba memilah-milah isi otakku kembali, berujung dengan diriku yang merasa malu sendiri.
Seharusnya mereka sudah lelah menungguiku. Mungkin seharusnya mereka lepaskan saja obat-obatan yang tersambung ke tubuhku. Tapi mereka tak begitu, mereka megharapkanku. Mereka mencoba membantuku memperbaiki imajinasiku itu, dengan kebenaran yang mereka ceritakan padaku: aku punya ayah dan ibu yang masih sehat, adik perempuan yang masih SMP, dan sahabat dekat yang sudah punya seorang anak. Aku melafalkannya berulang-ulang di malam-malam sepi saat hanya ada detak jam yang menemaniku selama di rumah sakit. Berharap kesalahan yang terjadi di otakku dapat diperbaiki lagi. Mereka begitu yakin dengan riwayat hidup Kanina versi mereka. Setidaknya saat itu aku pikir mereka yakin.
“Ibu... dimana ibu?” aku mengingat wajahnya samar-samar, bahkan nyaris tak bisa kujelaskan bagaimana bentuknya. Apakah mancung atau pesek? Berisi atau tirus? Ada tahi lalat atau tidak? Aku tak yakin aku akan mengenali ibuku jika pun kami berpapasan. Sering terjadi, aku menangis. Tak ada siapapun yang benar-benar kuyakin kukenali. Aku merasa sendiri.