PLOT HOLE

Ade Agustia Putri
Chapter #3

Part. 2 (Perbaiki)

Aku menutup diri awalnya, setelah melihat kondisi fisikku. Ingatan lumpuh, kaki juga setengah lumpuh. Namun ayah dan ibu (yang baru kukenali ini), tak kuasa aku kecewakan lagi. Aku tak ingin yang menyebut dirinya ibu itu, menangis diam-diam saat aku tak melihat. Aku tak ingin sosok ayah berambut putih sebagian itu (yang kurasakan sangat janggal, karena sisi diriku yang lain menegaskan bahwa tidak ada ayah di sepanjang hidupku) mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan kakiku ke Singapura. Aku masih bisa berdiri, bahkan berjalan dengan baik sekarang. Tidak seperti dulu.

Suatu hari, di salah satu siang tergelap yang pernah ada −membuat keraguan, apa jam milikku yang rusak atau cuaca yang memang horor begini− kakiku melangkah pelan di sepanjang jalanan pertokoan yang tertata rapat. Seperti onggokan sarang lebah yang menganga menunggu pelanggan yang hanya berputar-putar kian kemari. Sesekali aku menoleh, hanya untuk mengintip barang terbaru apa yang mereka jual hari ini. 

Pemandangan sekilas isi toko tidak bertahan lama, hanya sesaat saja sebelum langkah kakiku menarik tubuhku menjauh. Di sebuah kaca kafe yang lebar, aku berhenti sesaat. Menatap wajahku yang pucat dibingkai dengan rambut yang diikat kuat karena mudah kusut. Dua lensa minus menggantung di hidungku yang hanya sedikit maju.

Kanina, menghilang saja dari dunia ini! batinku, seakan kalimat tersebut adalah sebuah mantra.

Ya Tuhan, kenapa aku seperti ini, bisikku putus asa. Jika di filem Harry Potter –yang kutonton dengan bersemangatnya di rumah sakit, padahal Heni bilang aku sudah sering menontonnya dahulu− ada Myrtel Merana, maka di sini ada Kanina Merana. Bahkan Myrtel Merata tidak berjalan terseok-seok, dia terbang!

Seperti deru langkah kaki, tetes-tetes hujan jatuh ke bumi. Aku lari mengelak seperti diberondong peluru. Rasa tidak nyaman mengalir seperti sentruman kecil dari tungkai kiriku. Aku masih bisa mengabaikan nya, tapi... petir menggelegar dengan garangnya, membuat bulu tengkukku langsung berdiri. Kakiku melangkah lebih lebar, aku tidak ingin menjadi balok es sebelum sampai rumah. Kutahan perih saat kakiku berkelok...

Bak!

Lenganku mendorong pintu salah satu toko terdekat. Ah, syukurlah. Mengedarkan pandangan ke sekitar. Suasananya sangat sepi. Ada seseorang yang sedang mondar-mandir di sudut toko, seseorang lainnya yang sedang mengamati sesuatu, dan seseorang lagi yang sedang duduk membaca buku di meja kayu yang tersusun rapi seperti di perpus. Tertulis dalam huruf kapital di atas sana ‘YANG BOLEH DIBACA DI SINI HANYA BUKU YANG TELAH DIBELI”.

Aku bersitatap dengan si penjaga toko yang terlihat kaget. Aku kaget balik dong.

Ada apa? Ada apa dengan wajahku? begitu isi benakku yang geger otak lima tahun lalu itu. Walau sekarang sudah berfungsi cukup prima, karena sering kulatih dengan menonton tivi. Yeah, cuma itu yang bisa kulakukan.

Kamu mendobrak pintu tokonya zheyeng! jawaban tiba-tiba dari sel otakku otomatis menerbitkan cengiran malu di wajah.

Tatapan pria itu meredup. Syukurlah dia tidak punya penyakit jantung.

Si kasir menunduk seperti berdoa di depan meja kasir. Tangannya yang kurus mengatup ke sisi cangkir yang isinya menguarkan uap... aromanya sampai ke hidungku... kopi. Dia mengangkat kepalanya kembali, seulas senyuman tampak di bibirnya. Sambil menyunggingkan senyuman balasan kepada pria itu, aku berjalan masuk. Sekilas aku bisa melihat baju kaus bergambar doraemon dibalik kemejanya. Imut. Orangnya juga.

Toko ini menjual buku. Jujur saja ya, seumur-umur –tentu saja sejauh otakku masih ingat ya− aku tidak pernah menginjakkan kaki di tempat ini. Saking enggannya, aku selalu menunggu Heni di luar saat ia beli buku pelajaran. Aku bingung harus apa dengan deretan sampul warna-warni yang menyembunyikan puluhan, ratusan, bahkan ribuan kertas yang baunya menyengat sekali. Aku benci buku. Ya, yang satu ini jelas datang dari perasaan di masa laluku. Aku benci buku.

Kuseka sebulir air yang akan masuk ke mata. Langkah-langkah kecilku, bukan karena ketertarikan, melainkan ketidak nyamanan, kenapa aku masuk ke sini? Ah ya, aku berteduh.

Mendadak berhenti. Memutuskan untuk menyentuh sesuatu. Biar terkesan tertarik gitu deh sebenarnya.

Kutolehkan kepalaku ke kiri, sedikit terlonjak dengan apa yang ada di sana. Si penjaga toko sedang menatapku dari jarak dua meter, bayangan kilatan petir melintas di kaca matanya. Membuatku bergidik ngeri. Cowok itu masih berjalan mendekat, sehingga aku harus mundur-mundur cantik agar kami tidak bertabrakan. Ketika aku mulai berpikir dia agresif, mulutnya terbuka. Seketika aku terpana.

“Ini buku dari self-publishing...” kicau mulutnya. Ouh iya iyaaa, dia tidak benar-benar terdengar seperti burung, tapi dalam imajinasiku sesuatu yang aneh sedang terjadi.

Suaranya familiar. Dimana kira-kira aku mendengarnya?

Sebuah buku terulur ke arahku. Buku bewarna hitam, dengan ukuran paling tipis dibandingkan buku lain yang ada di rak. Ujung jemariku menariknya, kemudian menatap dengan saksama. Mengernyit. Aku berkonsentrasi.

Sebuah hati kecil yang di atasnya tertulis ‘diam dan rasakan’ ditulis oleh Masanra. Untuk sesaat aku hanya termenung meresapi kata-kata tersebut mengalir dalam benakku. Ada suatu hal yang menarikku untuk tetap bertahan pada sampul tersebut. 

 “... kebetulan kenal dengan penulisnya, tapi...”

Kulihat wajahnya yang berbinar. Dia sedikit menarik ingus kering di hidungnya.

“... nggak pernah ketemu dia lagi sekarang sih. Saya sudah baca, alur ceritanya lumayan bagus. Pengarangnya memang nggak terkenal, tapi ceritanya nggak kalah dari beberapa novel laris.”

Begitu katanya. Tapi yang tertangkap oleh imajinasi erorku adalah. “Tolong beli novelnya, sudah sepuluh tahun tidak ada yang beli,”

Kedua matanya yang membulat, menatapku dengan wajah seakan menantikan sesuatu.

“Oh gitu,” gumamku salah tingkah.

Lihat selengkapnya