PLOT HOLE

Ade Agustia Putri
Chapter #4

Bagian 3 (Perkara Membawa Untung)

Restoran Padang orang tuaku berada di pusat kota, sehingga sudah pasti ramai di siang hari. Pada hari senin, aku tidak bekerja di tempat Tante Risma. Jadilah aku seorang putri duyung yang selalu terdampar di sini. Sekalian berbakti kepada mereka yang melahirkanku, sehingga tidak dikutuk seperti si Malin yang selalu mintak dikundang.

Sejak tadi tanganku tak henti-henti mengipas ke wajah yang seperti tomat rebus, bukan kepiting rebus. Ini bukan sekedar majas, tapi memang banyak yang bilang pipiku seperti tomat. Panasnya matahari seakan dapat menembus dinding. Membuat semua manusia yang ada di dalamnya makan dengan keadaan kegerahan, walau sudah ada kipas angin listrik di setiap dinding.

Kebanyakan pegawai kantoran yang selalu memadati tempat ini. Berpakaian kemeja rapi dengan celana dasar dan sepatu mengkilat. Aku jarang berinteraksi dengan mereka, karena memilih membantu di bagian dapur atau membuatkan minuman. Sesekali ada yang menyapa sih, karena pelanggan tetap. Sekedar basa-basi.

Saat kepadatan telah surut, aku akhirnya dapat menarik napas panjang. Beristirahat di balik tumpukan buah-buahan dan kaleng-kaleng susu. Ditemani sebuah kipas angin dan es teh yang dinginnya menembus kaca gelas menimbulkan butiran embun. Kubaca kembali buku yang telah tergeletak tak berguna selama dua minggu itu. Rugi kan, sudah dibeli tapi tidak dipakai. Itu motivasiku membacanya lagi.

 

Dia sepertinya terlahir dengan anugerah senyuman paling menawan. Setiap aku meliriknya diam-diam, bibir pria itu selalu mengulumkan tarikan termanis yang pernah kulihat. Tahi lalat di ujung hidungnya sangat cocok sekali di wajahnya. Rambutnya selalu bergelombang indah seakan baru saja dibentuk dengan sengaja, padahal katanya itu adalah bentuk asli yang diturunkan orang tuanya.

Bagaimana pria 'seperti dia' juga memiliki kepribadian yang baik? Wajahnya bahkan seperti karakter anime yang datang ke dunia nyata. Dunia ini memang tidak adil. Bahkan keluarganya pun berasal dari golongan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Karena sudah pernah kucoba memandangnya sebelah mata dan tidak bisa. Betewe, pamanya soalnya bosku sih. Ayah pria itu adalah salah satu pemilik pabrik makanan kemasan terbesar di negeri ini. Sedang ibunya adalah mantan artis layar lebar hits delapan belas tahun yang lalu. Dan pria itu menyaring semua DNA unggul dari pasangan fantastis itu. Ahh... dunia seakan berputar padanya. Dia cocok kujadikan inspirasi karakter di novel yang sedang kukerjakan.

Keningku berkerut. Ya... aku, si Kanina ini herman. Apa-apaan si MASANRA ini, terlalu halu. Seperti orang sedang jatuh cinta, semuanya terlihat berkilauan saja. ‘Bagaimana pria setampan itu juga memiliki kepribadian yang baik? Dunia ini memang tidak adil’. Berhenti menciptakan karakter imajinasi seperti itu lagi. Dan cobalah untuk sedikit realistis. Tidak harus selalu ada tokoh utama setamvan itu. Bahkan aku beberapa kali jatuh cinta, hanya pada pria sederhana.

Yah, kesederhanaan adalah tipeku. Dan bukankah pria yang mencintai dengan apa adanya lebih manis? Masalahnya, aku tak pernah memiliki mereka. Entah kenapa, mereka seperti bermain umpan tanpa pancingan, membuatku meragu, mereka sungguh ingin mendekatiku atau hanya basa-basi pertemanan. Seharusnya tak ada persahabatan antara pria dan wanita, namun mereka semua mungkin terlalu nyaman denganku hingga lupa kalau aku wanita.

Aku sebenarnya tak menyukai Beni, mantan atau entah apa status kami waktu itu. Kita dijodohkan, dan belum sempat begitu dekat dia berkhianat. Dan aku menerimanya dengan lapang dada, karena aku sedang suka dengan seorang pelanggan di rumah makan orang tuaku. Pria ramah yang selalu tersenyum pada teman-temannya. Yang akhirnya kusadari ternyata ada cincin dijemari manisnya. Sederhana saja, aku suka keramahannya. Bertolak belakang dengan perasaanku pada si parlente Beni yang menganggap semua kebahagian itu berasal dari uang.

Aku mencari posisi duduk ternyaman, dengan mengangkat kedua kaki ke atas kardus. Kembali membacanya dengan melampaui beberapa paragraf. Aku tak sanggup untuk melanjutkan penjabaran klise tadi.

“An**m...!” pekikku. Jeruk milik Bu Listi berhamburan di aspal parkiran.

Lihat selengkapnya