Lama Gita menangis. Kami berdua berada di tepi kebun di belakang rumah. Dari ketinggian area tempatku tinggal ini, dapat terlihat sebuah puncak gedung di tengah kota. Wajahku dan Gita menantang angin sore yang begitu lembut menyejukkan peluh-peluh yang mulai kering menjadi daki dan membuat gatal. Kuhela napas, kegundahan Gita tak kunjung sirna. Sudah kumandikan dia dengan kata-kataku, dan ia tetap berjibaku dengan air mata.
“Aku... harus gimana sekarang?” isaknya sambil mengeluarkan ingus dengan suara yang berpadu dengan suara kicau burung.
“Kamu harus bertahan,” bujukku sambil mengendong Azil yang terlelap hangat di bahuku. Balita kecil ini adalah kehidupan yang harus dipertanggung jawabkan. Ia tak minta dilahirkan, manusia yang hidup yang memintanya.
“Dia nggak bilang ingin bercerai. Dia pergi gitu aja bawa semua barangnya yang tersisa setelah kami berkelahi masalah....” Gita tampak menggigit bibir bawahnya seraya melirik sekilas padaku. “... sepele.” Gita menarik ingus, kali ini hidungnya sudah merah karena sering diseka. “Aku yakin kami nggak akan rujuk lagi. Dia nggak akan pulang malam ini. Biasanya semarah apapun, dia pasti pulang. Tapi ini sudah dua hari... ”
Masalah sepele lagi. Aku tak yakin ‘sesepele’ itu yang mereka ributkan terus menerus. Sampai berpisah begini, apa mungkin?
“Dia bilang tetap akan menanggung semua biaya Azil... Aku merasa jijik dengan diri aku sendiri,” kali ini Gita terisak keras, sambil menutup wajahnya dalam tisu yang lembab. “Aku nggak butuh uangnya... memangnya aku pengemis. Aku bisa hidup tanpa uang dia, tapi tanpa dia.... a-aku nggak tahu.” Rengekannya keluar dari sela jemarinya.
“Ya iyalah Git, ini memang tanggung jawab dia!” seruku. “Ini anak dia, walaupun kalian udah pisah tempat tinggal, tapi memang sudah seharusnya dia membiayai kamu dan Azil, itu hak kamu. Semuanya udah ada tugasnya masing-masing. Tugas kamu ya menjaga dan membesarkan Azil. Aku paham beratnya kamu untuk pisah dari orang yang kamu sayang, tapi untuk apa, kalau perasaan dia nggak sama seperti kita?”
Suami Gita, yang bernama Ryan itu sepertinya tak begitu mencintai Gita. Entah apa persisnya yang terjadi pada mereka, yang jelas samar-samar aku pahami, Ryan menjauh dan tak ingin Gita menjadi bagian dari hidupnya lagi.
Ini berarti dua hal bagiku, pertama, Ryan punya kekasih luar biasa cantik di luar sana, kedua, ada suatu kelainan di kejiwaan Ryan. Kenapa aku berteori seperti itu? Karena Gita itu cantik. Sedangkan teori kedua, asalnya dari ucapan Gita yang mengatakan bahwa Ryan begitu penyayang di satu sisi, namun di sisi lain dia jijik padanya. Bukankah itu terdengar seperti Kepribadian Ganda? Hmm... yah aku tidak yakin Kepribadian Ganda itu persisnya apa, aku cuma menduga di dalam benakku saja. Sah sah saja kan, toh Gita tak tahu.
“Aku rasanya pingin mati...” gemetar suaranya. Apakah ini karma? Gita pernah bilang jika Ryan itu memiliki seseorang yang sangat dicintainya dahulu, dan Gita masuk ke kehidupan Ryan saat mereka sedang merenggang.
Gita terhuyung di tepian tanah yang menurun. Aku menghela napas panjang memperhatikannya. Pernikahannya dengan Ryan pun sebenarnya bukanlah pernikahan yang mulus direncanakan jauh hari. Ini accident, yang mana Gita hamil duluan di saat Ryan sedang berpacaran dengan orang lain. Ibu bercerita bagaimana marahnya kedua orang tua Gita, hingga sempat mengusir gadis itu keluar dari rumah. Bahkan ibuku berapi-api matanya saat menceritakan kisah itu padaku. Jadi aku bisa paham rumitnya situasi yang pernah dialami Gita. Andai aku tahu, pasti aku akan membantunya untuk memperbaiki dirinya dan memulihkan batinnya. Namun aku juga sedang memulihkan diri dari kecelakaan, tak ada yang mau bercerita hal-hal rumit seperti itu pada si Kanina sekarat waktu itu.