Malamnya aku berhasil mengkhatamkan ‘The Woman in Cabin 10’ (sambil makan nastar lembut dari Nino yang ‘sweet’). Dalam tujuh hari. Rekor di sepanjang karir literasiku. Tak menyangka aku bisa melakukannya. Kesuraman karakter si cewek tokoh utama, yang sebenarnya aku tak berempati padanya sedikit pun, cukup menarik untukku. Buku ini sesuai denganku. Ah, apa semua orang suram memang suka dengan buku yang suram? Masa bodo!
Kutatap jam dinding yang masih belum mencapai angka dua belas. Aku terbiasa tidur setelah lewat tengah malam. Tak ada aktifitas, sedang tak berminat menonton, aku kembali membaca buku si Aneh Masanra. Rugi nggak dibaca...
Aku menahan diri untuk tidak terlihat kesal. Biarkan saja mereka menyuruhku begini-begitu yang penting aku dapat uang tambahan. Kulihat Arion keluar dari gerbang SD. Aku datang menyambutnya. Namun bocah itu melengos jengah melewatiku. Dia masuk duluan ke dalam mobil. Aku menahan diri untuk tidak ikut-ikutan merasa jengkel. Setelah berdiolag singkat dengan seorang guru cowok –yang aku yakin sekali dia PDKT padaku-, aku baru duduk di belakang kemudi.
Kupandangi wajah kecilnya dari dalam kaca spion. Kasihan dia, kedua orang tuanya sibuk sekali sampai-sampai mereka hanya terkadang saja bisa berjumpa di hari Minggu. Aku juga akan uring-uringan jika diperlakukan seperti itu oleh orang tuaku.
“Apa yang Tante tunggu, cepatlah,”
Aku meraba perutku yang kembali terasa nyeri. Sudah beberapa minggu ini, rasanya semakin sakit. Aku takut sekali memeriksakannya ke rumah sakit. Hanya membayangkannya saja membuat kepalaku ikut pening. Yang kuperlukan hanya obat pereda nyeri. Ya, itu.
Aku tidak hanya mengantarnya sampai rumah. Namun sesuai instruksi istri bos, Bu Listi, aku juga memastikan dia sudah makan, dan membuat PR. Aku memang seperti pengasuhnya, dengan nominal gaji yang hampir membuat mataku keluar dari tengkorak. Pekerjaan ini tidak main-main, upahnya tidak main-main.
Lama aku menunggu di lantai satu. Arion tak kunjung turun, sehingga aku datang ke kamarnya. Kuintip kamar bak arena bermain miliknya. Terlalu banyak gambar spiderman, yang membuatku pening. Aku menyelinap masuk dengan pelan. Melihat Arion sedang membersihkan lututnya dengan tisu di depan lemari baju yang terbuka. Wajahnya tampak memerah karena menahan tangis.
Aku segera menangkap tangannya.
“Kenapa kamu ke sini!” pekiknya kepadaku.
Aku berusaha sabar dan memberikan senyum kecut kepadanya. Kusibak poninya yang memperlihatkan jejak merah segar.
“Ada yang dorong kamu?” tanyaku yang dibalasnya dengan tatapan tajam.
“Ngapain kamu di sini!” bahkan ketika marah, dia terlihat seperti gengster lucu.
“Kubantu bersihkan,” kataku dengan lembut.
Aku kembali ke kamarnya dengan membawa alkohol di tangan. Kemudian dengan meminta izin dari tuan kecil temperamental itu, aku menyeka rambut panjangnya yang indah.
Arion berjengit, saat kusapu kain kasa ke lukanya.
“Siapa yang dorong?”
“Ha...?” ia tampak takut dan berjengit lagi ketika kubersihkan lukanya.
“Siapa yang dorong kamu?!” tanyaku tegas.
“Bonni...” ucapnya pelan.
Kutempel plester luka setelah menaruh kain kasa yang kulipat sebisaku ke kening bocah itu.