“Angga,” ucapnya.
“Kanina,” balasku di seberang meja kasirnya. Heran, kenapa kami bisa bercakap cukup panjang waktu itu tanpa saling menyebut nama. Dengan gerakan anggun –seharusnya jika memang delapan tahun karirku di model, hal ini dapat terlihat alami− kukeluarkan uang dari tas selempang, kemudian kuulurkan padanya dengan kepala sedikit dimiringkan. Ini pose terbaikku, dan sialnya dia ternyata tak memperhatikan. “Aku suka bukunya, makasi ya,”
“Udah tamat?” tanyanya, sambil sibuk mengetik sesuatu di ponsel.
Sadar Kanina, apa tujuanmu ke sini? Membuat seorang kasir merekrutmu menjadi model toko buku? .... Tidak buruk.
Aku mengangguk pelan, menyadari perasaanku akhir-akhir ini dengan kegiatan baru ini, membaca buku. Seperti hubungan asmara, aku telah jatuh cinta. Ini novel pertama yang kuselesaikan sampai kata ‘tamat’.
“Ada rekomen lagi? Yang kemaren bejibun itu judulnya apa?” ujarku santai sekaligus bersemangat.
Dia tersenyum simpul, tangannya merapikan posisi kaca matanya yang aku pikir cukup mahal untuk seorang kasir toko buku. BAHKAN MANTAN MODEL TIDAK PAKAI ITU. Maksudnya aku nggak pakai yang mereknya seperti itu.
“Kamu buka setiap hari?”
“Aku Cuma di sini hari Minggu, hari biasa ada yang gantiin aku.” Dia menaruh ponselnya, tak benar-benar peduli denganku.
“Kamu masih sekolah, kuliah yah?”
“Ya, aku masih kuliah.”
“Wah, hebat ya,” pujiku.
“Kenapa?” dia melirikku sambil mengelap meja kasir dengan pembersih kaca yang aromanya menusuk. Benar-benar tidak peduli.
“Kerja sambil kuliah,”
“Aku Cuma bantuin saudara aku. Ini toko milik dia,” jelasnya sambil terbatuk di ujung kata.
Kuangguk-anggukkan kepala seperti orang yang membicarakan hal yang benar-benar menarik. Jujur, aku kehabisan bahan pembicaraan.
Pria itu menumpuk buku-buku lagi di samping meja kasir. Aku disuruh duduk untuk memilih, sedangkan ia sibuk bekerja.