“Kamu masuk les karate?” tanya Randi dengan wajah penasaran.
“Dia mau coba pengalaman baru.” Aku yang jawab.
“Kenapa? Bukannya mau persiapan untuk UN? Mamamu bilang begitu, kamu sudah dipersiapkan pengajar untuk UN mulai tahun ini.” terang Will.
“Nggak pa-pa aku dukung.” Randi memberikan kepalan tangan menyemangati. “Ya ampun, itu krim?” tangannya sudah bercokol di kepalaku, kemudian dengan gerakan perlahan dia akan memakannya.
“Itu udah kena shampoo,” tanganku menghentikan pria itu.
Dia tertawa.
“Bercanda. Ah, adik kecilku ini kasian...” dia mengacak rambut Arion yang basah, seraya tersenyum padaku.
Aku tak mengharapkan kesopanan yang terlalu dalam dari pria itu. Di pikiranku, seharusnya dia lebih arogan dan egois dari ini. Bagaimana bisa orang seperti dia lebih lembut dari sepotong cheese cake yang menggelinding dari mulut Wildan... William.
Apa yang kamu harapkan Rafa?
Lebih mudah berhenti berharap kami berjodoh. Lebih merasa tenang mengubur perasan padanya yang tak selevel denganku. Karena aku mulai berpikir aku bisa mendapatkan seorang Randi dengan cukup mudah. Ah, aku yang arogan ya? Tapi aku serius, seperti lirik lagu; beri aku sedikit waktu dan aku yakin dia akan jatuh cinta padaku. Aku tertarik dengan kemungkinan itu. Siapa yang tak menginginkan Randi? Bahkan orang yang sakit mata akan tetap cinta padanya. Yang kutakutkan itu adalah ketimpangan dalam kelas perekonomian kami. Aku jelas tidak percaya diri untuk menghadapi keluarganya yang sudah kaya tujuh turunan.
Tentu saja, aku yakin Randi mulai menyukaiku. Dan aku tak menyukai hal itu. Andai saja keadaan tak begini. Mungkin akan ada 50% dari diriku akan memaksa untuk menerimanya. Aku bukan berasal dari dunia mereka, walau aku sudah tahu yang mana pakaian mahal, mobil mahal, jam mewah, tetap saja aku bukan golongan yang akan dengan lapang hati diselipkan di foto keluarga mereka. Anak dari petani yang bekerja di sawah orang, tentu bukan riwayat yang baik ketika akan melamar anaknya.
Ketika akan menaiki mobil, sekilas sepertinya kulihat Randi menatapku dengan bibir tersenyum lebar. Aku terlalu malu untuk memastikan penglihatanku. Yang aku inginkan hanya pergi sejauh mungkin dari keluarga besar Pak Bambang dan tidak akan pernah kembali lagi selama-lamanya. Di waktu yang akan datang, aku akan tahu bahwa baju yang kukenakan adalah milik kakak laki-laki Dion, Randi. Pantas saja dia langsung menilai saat melihatku.
Capek aku menunggu Angga. Akhirnya kuputuskan menyela mereka dengan membayar bukuku. Angga melambaikan tangan padaku, meminta aku untuk kembali ke tokonya lagi minggu swpan. Setelah kau campakkan aku, kau suruh aku ke sini lagi? Huh! Kecewa berat, tidak bisa ngobrol sama Angga masalah buku. Hanya buku, serius. Seru sekali punya teman seperti dia. Tahu kan, aku Cuma punya Gita, dan dia sibuk mengurus anaknya. Saat ini, aku seperti punya semangat baru yang menyenangkan. Apalagi Angga begitu baik mau membantuku. Ini semua gara-gara si kaki kurus itu. Mengganggu saja.
*****
Sebuah mobil yang telah familiar di ingatanku, terparkir di depan rumah. Membuatku seketika sport-jantung. Sudah dua minggu, sejak terakhir kami bertemu.