“Playgirl mah gitu, suka main hati,” ujarku entah pada siapa. Novel ini sudah mulai berkerut, dan tiba-tiba aku teringat Angga. Kapan aku bisa ke sana lagi?
“Ninaaa.... ke sini bentar,” panggil ibu, yang sedang berada di depan etalase.
Kali ini ibu kembali menyuruh mengantarkan pesanan pelanggan. Sedongkol apapun, sejengkel apapun, bahkan jika anaknya ini guling-guling di tanah, tetap saja harus dilakukan. Lagi pula, yah, sebenarnya kasihan juga kalau ibu yang mengantar. Masih punya nuraini, eh, nurani akunya.
Kulepas helm yang lembab karena keringat. Langit sangat bersih hari ini, cahaya matahari seperti lampu sorot menerpa wajahku yang pakai sunscreen. Oke matahari, gue nggak suka gaya lo.
“Ibu Murti?” tanyaku kepada seorang wanita beruban di depan pagar rumahnya.
“Iya, nasi Padang kan?” .
Bukan bu, masih manusia kok saya nya, kelakarku dalam hati.
“Iya.” Aku menyerahkan sekantong plastik besar, yang di dalamnya berisi banyak bungkusan nasi lauk dobel. Gila juga nafsu makan si ibu.
Tangannya merogoh isi dompet.
Sebuah suara membuatku menoleh ke arah halaman Sekolah Luar Biasa yang tepat berada di samping rumah ini. Seorang pria dengan perawakan yang seperti kukenali, sedang menggendong anak di pangkuannya.
“Makasi ya,” pelanggan tersebut menyerahkan sejumlah uang.
“Ah, iya.” Kuremas uangnya, tidak menghitungnya sama sekali. Malah kembali menatap ke arah sekolah khusus tersebut. Berjalan mendekati halaman sekolahnya.
Pria itu berbalik, aku reflek memutar tubuh ke balik pagar. Jantungku berdebar-debar. Entah mengapa aku bersembunyi. Memangnya aku berbuat salah? Kenapa aku ketakutan? Aku melirik wajahnya sembunyi-sembunyi dari balik jeruji pagar. Ngapain dia di sekolah ini? Sisi diriku yang kritis mengingatkan: bukan hakku mencapuri setiap urusannya. Dia bukan suamiku. Masih on the way. Eh, maksudku... bukan begitu.
“Pi, kita beli es krim ya,”
Aku menatap gadis kecil itu lekat-lekat. Kedua bola mataku sontak melebar, langkah kakiku mundur. Tidak mungkin! Nino punya anak? Dan dia... buta?
“Iya sayang,” ujar Nino sambil mencium gadis berumur sekitar enam tahun tersebut.
Kukorek telinga sekuat-kuatnya, mungkinkah panca indraku ini yang salah?
“Pipi jangan lupa kita ke pantai sabtu ya, aku suka ba--nget main pasir,” seru gadis itu dengan tatapan mata yang tidak fokus.
*****
Aku mendengar Pak Firman mengundurkan diri hari ini. Dia sedang membereskan barang-barangnya. Untuk sepersekian detik, aku merasa dia melihatku. Ketika aku balas menatapnya, pria itu malah berpaling dan berbincang-bincang dengan teman-temannya yang sedih melepas kepergiannya. Aku segan untuk mendekat, karena kejadian terakhir kali yang kami alami tidak terlalu baik. Jika dia memang berniat meminta maaf, seharusnya dia menghampiriku sekarang.
“Rafa, kamu dipanggil Pak Bambang,” ujar Cika yang baru dari ruangan si Bos. Senyuman gadis itu tak mengenakkan. Membuatku bergidik tidak nyaman. Dia salah satu wanita yang senang mengarahkan para karyawan untuk mendengarkan gosipannya.
Aku mengangguk tanda mengerti. Memperbaiki rambutku yang acak-acakkan. Kemudian bangkit, berjalan menuju ruangan pak Bambang. Walaupun aku tidak menoleh ke belakang, akan tetapi sayup-sayup dapat kudengar, beberapa wanita berbisik-bisik dengan Cika. Aku benar-benar tidak ingin berpikiran buruk, namun tetap saja bayangan tersebut menghantuiku.
“Ada apa pak?” tanyaku kepada Pak Bambang yang sedang menatap layar ponselnya.
“Kamu antar saya dulu, setelah itu jemput Arion,” perintah Pak Bambang tanpa menunggu balasanku. “Ibu sedang ada acara arisan sekarang,”