Kulempar si keramat Masanra. Bangkit dari kasur, dan keluar dari kamar. Mengambil kunci motor dan tanpa menimbulkan keributan bergegas pergi. Tidak berapa lama, aku sudah sampai di Sekolah Luar Biasa tempat aku pertama kali melihat anak Nino. Banyak orang tua yang menunggu anaknya di luar gerbang. Aku mendekati pagar sekolah, menatap ke arah sekumpulan guru yang membimbing murid-murid berkebutuhan khusus tersebut.
“Nina!” panggil seseorang di belakangku.
Nino dan Nina, nama yang cocok di kertas undangan, batinku tiba-tiba.
Aku berbalik, menatap Nino yang sedang mengendong si gadis kecil. Feli tampak manis sekali jika dilihat dari dekat. Gadis itu menggerak-gerakkan kepalanya, seakan penasaran siapakah orang yang dipanggil papanya.
“Kamu kenapa bisa ke sini?” tanya Nino. “Kamu udah nonton tentang Feli ya?”
Aku perlahan-lahan menyentuh tangan mungil Feli. Gadis itu sedikit kaget, namun ia segera membalasnya.
“Aku kebetulan lewat.”
“Pipi, ini siapa?” tanya Feli.
*****
“Aku ke sana ya?” ujarku bersemangat.
“Kelar ini, aku mau pergi, kerjaan aku masih ada. Kapan-kapan ya? Pleasee.... jangan marah. Nanti aku kirimin bolu gulung deh.”
“Jahat banget ya, kamu mau buat aku melar?”
Gita tertawa di seberang sambungan telepon.
“Nanti aku juga kirimin kamu brownis, biar sama-sama melar,” gurauku. Setelah mengucapkan salam, aku melempar ponselku ke atas kasur.
“Kenapa kak? Sekarat?”