“Aku malu banget, nggak tahu dimana muka mau ditaro,” jelasku dramatis pada Angga yang mendengarkan dengan raut simpati. Rambutnya tidak diikat hari ini, sehingga gelombang rambutnya tampak seperti ombak yang gelap.
“Orang itu iri sama kamu, karena kamu cantik. Mereka takut Nino berhasil kamu rebut. Makannya mereka ngomong asal begitu. Tahulah netizen indo, kadang ngomen keterlaluan.”
Aku meresapi kesedihanku dengan menatap jalanan di balik bahu Angga. Kenapa orang bisa begitu tega? Apa mulutnya memang kasar? Atau dia yang ingin coba-coba mem-bully orang? Di dunia nyata aku belum bertemu dengan orang yang benar-benar menyebalkan. Ah ada, itu dia, si Alice. Dia lagi duduk bersama seseorang yang sibuk membaca buku di barisan meja kedua. Sepertinya dia ingin ngobrol denganku sejak waktu di pantai itu. Tapi aku selalu mengabaikannya.
“Kamu suka sama dia?”
“Suka, sama siapa?” tanyaku kaget.
“Ninolah masa aku? Kalau aku udah pasti kamu suka.”
“Nggak lucu. Aku suka dia cuma sebagai teman,”
“Bukan C.I.N.T.A?”
Kepalaku menggeleng cepat. Dalam benakku, entahlah. “Kami kan baru ketemu, masa... ah, belumlah.”
Angga menepuk tangannya, membuatku kaget.
“Belum... bisa jadi iya!”
“Idih, apaan sih kamu? Ya siapa tahu, jodoh di tangan tuhan. Kalau lancar, ya berarti jodoh.”
“Nah, kalau lancarnya sama aku gimana?”
“Ya sama kamu, ee...” keceplosan lagi dong pemirsa.
Angga bersorak melihat kedunguanku. Dia sampai terbungkuk-bungkuk, memegangi perut. Akhirnya kupilih untuk ikut tertawa agar tidak terlihat terlalu menyedihkan.
“Nggak mau ngomong lagi ah sama kamu. Gaje.” Alasanku saja, hanya untuk bisa menghindar darinya. Aku duduk di meja yang sedikit berjarak darinya.
“Kamu ada waktu nggak nanti sore, aku tutup cepat. Kita makan di resto yang baru buka itu sama temenku.”
Tiba-tiba pertanyaan dan ekspresi wajahnya banting setir, membuat aku mengangkat kedua alis. Mengangguk.
Kebanyakan aktifitasku hanya menyibukkan diri, alias kamuflase dari waktu free unlimited-ku. Sudah lama ingin nongkrong sama seseorang selain si robot Heni, akhirnya ada juga yang ngajak. Beginilah nasib orang amnesia, yang teman dekatnya cuma keluarga.
Bertopang dagu, aku melihat malas ke arah remaja SMA yang membentuk antrian panjang di depan meja kasir. Nino segera berdiri untuk melayani mereka. Kulihat si Alice dan temannya sudah menghilang seperti pesulap.
Lama aku menunggu Angga usai. Pelanggannya seperti tidak pernah berhenti memenuhi toko buku satu-satunya di dekat tepi pantai ini. Ah, ada buku teenlit yang baru terbit lagi. Pantas saja semua pelajar berebutan masuk. Lagi pula aku lebihyakin mereka jauh-jauh ke sini, cuma pengen lihat si Angga. Wajahku terlihat jenuh melihat mereka berusaha menyusun percakapan dengan Angga yang memang dasarnya ramah. Ada yang request ini lah, cerita novelnya begini lah, bahkan ada yang minta nomor WA, wah, gadis zaman sekarang nekat-nekat ya. Untung Angga tidak mau. Kok untung sih? Siapa yang untung?