PLOT HOLE

Ade Agustia Putri
Chapter #20

Part. 19 (Toko Buku)

Satu bulan kemudian,

Aku menikmati perjalanan di sepanjang pertokoan. Seperti biasa siang begitu cerah, dengan angin segar bertiup damai (nggak ngajak ribut). Kayuhan sepedaku melambat selama berada di sana. Aku baru saja pulang dari rumah tante Risma, untuk belajar terakhir kalinya. Walau sebenarnya dia masih menyuruhku datang untuk menambah beberapa ilmu lagi darinya.

Ayah dan ibu telah setuju aku bekerja di toko buku. Dengan sedikit drama, aku berhasil membujuk mereka. Awalnya, mereka memintaku untuk tidak bekerja dulu, karena mereka sudah menemukan sebuah toko untukku. Tidak begitu jauh dari toko buku Angga (yang diam-diam membuatku kegirangan). Pada akhirnya mereka pasrah saat aku bilang, aku akan berhenti jika persiapan toko butikku selesai.

Sepedaku berhenti di parkiran toko Angga. Aku bergegas masuk ke dalam, dengan wajah tertunduk karena memperbaiki gelangku yang putus.

Brak!

“Ah maaf,” ujarku dengan nada menyesal. Kaca mata dan bukuku jatuh semua ke lantai.

Kuraih lebih dulu kaca mataku yang bingkainya patah. Pria itu memungut sebuah buku yang terjatuh di samping sepatu ketsnya. Mengulurkannya padaku tanpa suara. Seorang anak kecil berdiri di belakang tungkai pria itu. Kutatap baik-baik lengan bocah yang menggenggam kaki pria di depannya.

“Makasi,” ujarku, dengan mata fokus ke tangan mungil itu.

Dia berlalu begitu saja dariku bersama anak kecil itu. Walau minus mataku hampir tiga, tapi aku masih bisa menyadari jika itu Azil.

“Azil!” panggilku. Si anak laki-laki segera digendong pria berkaca mata itu. Mereka bergegas menuju parkiran.

“Tantee....” rengek Azil sambil mengulurkan tangan ingin meraihku.

Kuikuti mereka dengan perasaan campur aduk. Azil.... sama siapa?

“Nina!” panggil Angga yang tak kuacuhkan.

Belari sekuat tenaga dengan tungkai yang berdenyut, aku menarik bahu pria itu. Kemudian kutarik Azil ke pangkuanku. Mudah saja. Seakan dia menyerah, dan aku dapat mendapatkan bocah ini. Padahal jelas badannya lebih besar dariku.

Tidak ada kata. Dia hanya terdiam menatapku memeluk Azil begitu eratnya.

“Siapa kamu?” tanyaku sedikit kasar.

Angga berlari keluar dari tokonya, dan berdiri di antara kami berdua. Mentari pagi berhasil menemukan celah di antara awan hitam, membiarkan sinarnya menyorot kami bertiga yang tanpa naungan.

“Dia adik aku Kanina,” ujar Angga segera. Yang tak langsung kuserap dan pahami. Adik apa? Adik siapa?!

Mataku melotot, menatap Azil dan kemudian pria berkaca mata itu, kemudian Angga.

“Ini anak temanku Gita!” seruku tidak terima.

Mata Angga tampak lelah. “Gita itu istri adikku.”

Aku mulai merasa berat, sebagian kesalahan berada di sisiku. Inginku menangis dan berteriak padanya: ‘Ini bukan anak kamu bajingan!’, tapi tidak ada yang keluar. Hanya udara yang berembus gugu dan pilu.

Pria berkacamata itu betah dengan kebisuannya. Dan masih tak bisa kupahami, bagaimana dia melihat situasi ini. Kalau aku di posisinya sudah kugampar cewek yang menarik anakku. Tapi dia tidak, syukurlah.

“Kamu suami Gita? Ryan?” tanyaku pelan.

Lihat selengkapnya