Tak langsung pulang, kubawa kepala panasku menuju sebuah kafe. Memesan secangkir kopi yang tidak kusukai, yang entah mengapa terpesan begitu saja, kemudian membenamkan wajah ke meja. Menangis, aku menekan nomor ibu.
“Bu, aku sebenarnya kenapa bu?”
“Kenapa apa Nina?”
Sedu sedan aku menangis, tanpa memedulikan tatapan orang-orang .
“Kamu kenapa nak?”
“Aku ini kenapa bu?”
“Ibu nggak paham, kamu pulang sekarang.”
Kulihat Alice sedang duduk di kursi yang biasa kududuki dengan Gita. Tergerak hatiku ingin menyapanya. Sebelum aku sadar, aku sudah berada di hadapannya.
“Akhirnya, kamu nggak marah lagi sama aku...”
Aku tak membalas. Mengambil tempat duduk di seberangnya.
“Kalau aku jahat seharusnya aku nggak peduli sama kamu.” Alice menyisir rambutnya yang bewarna kemerahan seperti anggur. Dia adalah wanita paling menarik yang pernah kulihat. Riasannya memang menor, tapi auranya terasa menyenangkan.
“Ya, aku memang orang baik,” seakan ia mendengar isi hatiku tadi.
“Jadi, aku harus ngapain sekarang? Nggak ada yang mau ngomongin masa lalu. Ibu dan ayah pasti juga nggak mau. Aku harus gimana?”
Alice memainkan kedua jari jempolnya.
“Paksa dong, atau kalau bisa mogok makan. Coba deh, pasti nggak bakalan kuat mereka. Aa... aku tahu, ancam aja kamu mau kabur dari rumah,” dia menjentikkan jemari berkuku merahnya itu.
“Kalau kamu aja yang ceritain gimana?” tanyaku dengan tatapan tajam.