Randi mulai sering tampak di kantor pamannya. Aku tidak memedulikannya. Berusaha fokus dengan pekerjaanku sendiri. Beberapa kali kami bersitatap, aku hanya tersenyum singkat sebelum mengalihkan perhatianku pada hal lain. Pada suatu sore, pria itu melangkah tepat ke dekat meja kerjaku. Aku berpura-pura tidak melihatnya. Ketika aku mengangkat wajahku karena penasaran, pria itu sudah tidak ada. Kudengar sambil lalu, Randi memiliki hubungan yang buruk dengan ayahnya, sehingga dia berusaha membangun usahanya dengan bantuan pamannya. Itulah sebab ia sering berada di rumah pak Bambang.
Pada suatu sore, aku memilih berjalan kaki setelah dari kantor. Lagi pula, saat itu masih jam 19.25, orang-orang masih banyak lalu lalang di pertokoan. Saat aku akan berbelok ke dalam Widimart, dari ujung mata, aku melihat sesosok pria berdiri mendekatiku. Aku menoleh dan menemukan Randi. Jantungku mungkin terpelanting sesaat di dalam rongga dada, karena perutku mual. Dia tersenyum.
Entah bagaimana, Randi telah mengikutiku naik ke atas atap bangunan Widimart. Terjadi begitu saja, tanpa dapat kutolak. Widi telah menantiku di sana. Dia berdiri menyambutku, kemudian menatap heran ke arah Randi. Dengan senyuman lebar, dia melirikku dengan penuh arti. Dia pacarmu? begitulah kira-kira maksud pandangannya. Aku menggeleng.
Widi dan Randi ternyata dapat mengobrol dengan baik. Bahkan aku sampai terabaikan. Pembicaraan mereka mulai dari prospek ekonomi di kota ini, sampai lomba memancing di perbatasan kota. Widi, memang wanita yang sedikit energik. Dia memiliki kegiatan yang padat, yang pada dasarnya diisi dengan hobinya. Seperti memancing, berkuda, memanah, berenang dan bermain raket di lapangan kota.
“Kamu ikut nggak besok?” tanya Widi.
“Kemana?” tanyaku sambil menyeruput minuman soda dingin.
Widi menatap kaleng minumanku dengan wajah mengernyit. Dia sudah tahu kebiasaanku. “Minum yang kek gitu terus. Perut kamu kan sering sakit. Nanti tambah parah lho.”
Aku mencibir ke arahnya. Padahal sebenarnya aku tersiksa mendengarnya, karena mengingatkanku dengan penyakit yang sedang kubawa-bawa.
“Kita naik kuda yuk di tempat Om Jimli,” ujarnya sambil memberikan gerakan sedang naik kuda.
“Nggak mau, nanti kamu usil lagi. Kamu sengaja ninggalin aku di tengah kolam sama ban karet waktu itu. Jahat banget,” aku mengingatkannya kejadian dua minggu lalu.
“Nggak bakalan jahat lagi. Kamu pergi ya Fa? Ayolahhh...” bujuknya dengan wajah memelas.
“Ciyus?”
“Ciyus...”
“Miapa−,”