PLOT HOLE

Ade Agustia Putri
Chapter #23

Part. 22 (Melawan Ritme)

Pada suatu pagi yang hangat, aku berdiri di depan cermin dengan pandangan yang menatap balik mata yang juga menatapku di sana. Seorang gadis dewasa dengan perawakan seperti orang sakit jiwa. Rambut yang tidak disisir dua hari. Pakaian yang sudah lima hari tidak diganti. Kulit pucat, jarang terkena matahari. Badan kurus, karena sering menyisakan makanan. Aku sedang ditahap berusaha menemukan tujuan hidup. Aku menangis beberapa hari ini. Membuat ibu, ayah dan Heni khawatir. Padahal ibu sudah cukup merana atas kepergian Gita, anak yang sepertinya begitu disukainya. Aku pernah mengintip ibu sedang menatap foto Gita di figura yang ada di ruang tamu.

Aku mengambil handuk dan segera membersihkan tumpukan kuman yang bersarang di tubuhku. Kemudian memakai gaun bermotif kelopak bunga sakura, yang kudapat di antara tumpukan terbawah bajuku. Mengeringkan rambut dengan hair dryer, yang membuat lampu mati beberapa kali.

AKU LAGI NGERINGIN RAMBUT, MATIIN DULU SETRIKANYA KAN BISA! teriakku di dalam hati, tentu tak ada yang dengar. Aku sedang kesal pada mereka semua.

Ibu dan Ayah menatap gadis sulungnya dengan mata melotot. Heni menjatuhkan buku kimia tebal yang bisa untuk memukul maling sampai geger otak.

“Ibu, Ayah, aku pergi dulu,” ujarku sambil memakai blazer merah.

“Kamu mau ke mana?” tanya ayah.

“Kerja,” dustaku sambil menuju pintu depan. Alice sudah menunggu sejak tadi di depan.

“Kamu kan udah berenti,” ujar ayah yang tak kupedulikan.

“Ibu bakalan cerita semuanya sama kamu...”

Kulepaskan genggaman tangannya. Jenuh, kesal dan benci, kenapa semua orang menahan sesuatu yang sudah menjadi hak untuk aku? Cerita hidupku adalah hakku. Keterlaluan sekali mereka masih menyimpannya bahkan disaat aku tahu mereka memilikinya.

“Ayah janji akan ceritain semuanya,” ayah memohon padaku. Wajah tuanya memelas ke arahku. Tak tega aku melihatnya seperti ini.

“Kakakk.... jangan pergi.” Heni menangis, wajahnya memerah.

Aku berhenti dari usahaku untuk pergi.

“Duduk dulu nak....” kutepis tangan ibu yang ingin menyentuhku. Kenapa aku bisa begitu jahatnya? batinku.

“Kalau nggak ada yang mau cerita sekarang juga, aku pergi!”

Ibu dan ayah kembali memohon padaku agar tetap di sana. Heni tampak ketakutan melihatku marah.

“Ibu sayang sama kamu...”

Jengkel, kubuka pintu depan. Menimbulkan bunyi keras, dan hentakkannya ke dinding hampir menjatuhkan vas bunga di atas buffet. Alice menatap kami dengan wajah hampa. Mungkin dia takut ikut campur dalam situasi panas ini.

“Kakak bukan kakak kandung aku!” teriak Heni.

Berbalik, kulihat Heni memilin tangannya, seraya menatap cemas ke arah ibu dan ayah.

“Kamu keponakan ibu, anak adik ibu, Sandra,” lanjut ibu sambil menangis.

“Sandra, bapak kamu si Zainal, dan adik kamu, Hito, sudah meninggal karena longsor dua bulan sebelum kamu kecelakaan.”

“Ha...” kebingunganku tak terucapkan lagi.

Hebatnya, aku tak merasakan sesuatu yang berubah di hatiku setelah mendengarnya. Aku tak merasakan sedih dan duka. Seakan itu bagian dari cerita kehidupan orang lain.

“Terus? Kenapa sulit sekali kalian ngasih tahu aku itu?!” salakku. “KENAPA?!”

Lihat selengkapnya