Dua bulan kemudian,
“Enggak, biasa aja,” ujarku pada Alice, sahabatku satu-satunya di dunia saat ini. Tanganku melilitkan pashmina ke sekeliling wajah. “Bangun jam tiga pagi, sholat tahajut, kemudian mengaji, sholat subuh.... bla bla bla bla bla..... Nggak susah kok.”
Aku jelas bohong. Tapi di depan si songong Alice, aku tak akan membuat diriku tampak lemah. Baru kemaren aku pulang dari pesantren milik kakak laki-laki tante Ayu, yang dulu kukira ibuku. Kepergian atas rasa kecewa, rasa tak punya tempat di dunia ini, waktu itu. Aku langsung pergi meninggalkan mereka semua, walaupun berita tentangku sedang hangat-hangatnya di media berita mainstream. Tentang aku yang sudah kembali beraktifitas setelah koma. Basi. Aku udah siuman tiga tahun kalee. Merasa tidak nyaman, aneh, seperti alien di planet antah berantah, akhirnya di sanalah aku memilih untuk menenangkan diri, pesantren. Kubersihkan pikiranku dengan mendekatkan diri pada agama. Kemana lagi aku akan pergi?
Aku tak menghapus kesalahan mereka dari otakku, karena aku tak cuci otak, aku hanya berusaha menjadi pribadi yang lebih ikhlas. Mereka yang membuat runyam hidupku dahulu, dan dahulunya lagi itu, aku sudah mulai memaafkan mereka. Aku masih Manda dan Kanina, yang ingin memperbaiki diri dan tak terlalu mencemaskan masalahku lagi. Kata salah satu ustad di pesantren: hidup ini hanya persinggahan sementara, jadi nikmati saja semua masalahnya selagi masih ada di dunia ini. Karena masalah itu bukan di persoalannya, tapi respon dan jawaban dari manusianya sendiri.
Tante dan paman, Heni, Angga, Nino, Tante Risma, semua berkabung melepas kepergiaanku saat itu. Seperti ada aba-aba, mereka mencoba menahanku saat aku berlari meninggalkan mereka di depan toko buku Nino. Itu pun ada drama panjang sebelumnya. Aku menyumpahi mereka seperti orang gila. Kemudian, aku berteriak-teriak ingin mati saja. Ahh... senewen sekali pokoknya. Aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman Nino dan Angga, berlari ke arah bus kota, dan membentak mereka untuk tak mengikutiku. Semua penumpang sampai terhenyak mendengar sumpah serapahku.
Aku berusaha untuk tidak benar-benar jadi gila, hanya karena teringat ibuku yang juga gila (katanya). Entah kenapa, hal itu membuatku ingin memisahkan diri dari kenyataan itu. Aku sehat.
Keesokkan harinya setelah kabur dari mereka semua, aku sampai di tempat Om Hadi bekerja. Om Hadi adalah Ustad di sebuah pesantren yang cukup besar di kampung halaman ibuku, −aku tahu karena ibu palsuku yang bilang mengenai pamanku itu sewaktu Gita meninggal, dan dia datang ke rumah saat itu− dia yang memberi tahu mereka, jika aku tinggal di pesantrennya. Aku pergi dengan hanya membawa uang lima puluh ribu di saku kemeja, yang untung saja cukup untuk pergi ke sana. Berputar-putar seperti orang gila di depan gerbang pesantren selama setengah jam, hingga akhirnya Om Hadi datang dan membawaku ke rumahnya.
Ibu dan ayah palsuku, alias tante dan pamanku, mengirimi ponsel, pakaian dan uangku, walaupun aku tidak memintanya. Mereka rutin datang ke sana, meski aku tak pernah mau bertemu.
“Lo masih jadi model kan?” tanyaku sambil mencari jaket kulit cokelat kesukaanku di antara tumpukan kain. Aku baru pindah ke kontrakan ini tadi pagi, jadi aku belum sempat beli lemari.
Aku baru tahu gadis inilah yang menjadi sumber cerita novelku berjudul ‘Pesona Kanina’. Jadi katanya, kata si cewek ini, Alice, kami berkenalan di sebuah pesta, saat itu dia masih menjadi pacar seorang pengusaha batu bara. Aku yang ingin sekali menulis tentang dunia model meminta dia untuk menjadi bahan riset. Ternyata kami berdua cocok, dan bahkan suka nongkrong ataupun jalan-jalan berdua saat liburan.
“Tapi kenapa gue nggak pernah ceritain tentang lo di novel ‘diam dan rasakan’ ya? Pemeran figuran pun nggak ada.”
“Iya ih, dasar jahat...” Alice memberengut, sambil memainkan rambutnya yang diwarnai cokelat kemerahan.
“Berarti lo nggak penting di hidup gue dulu,” candaku sambil meliriknya.
“Ih jahat, gue tauu~~~, yang temenin lo operasi usus buntu.”
“Makasih zheyeng...”
“Gue yang temenin makan waktu elo stres sama si Raka.”
“Lo emejing!”
“Gue tempat lo curhat sepanjang air sungai amazon.”
“You are my sunshine...”
“Dan balasan lo apa?” ujarnya dengan gaya soknya.
“Jadi lo minta balasan?”
“Ya kagak...”
Tanganku menyibak baju katun yang kukenakan, memperlihatkan garis bekas pembedahan.
“Kenapa gue nggak ngeh ada beginian?”
“Kan ceritanya lagi bloon waktu itu. Lo aja nggak peduli sama gue, sombong amat!”