Raka
Awal pertemuan,
Semua orang menyalami Gara. Dia dinyatakan sembuh dari kanker getah bening setelah menjalani perawatan hampir enam tahun. Benar-benar karunia tuhan. Bukan bagi kakak saja, akan tetapi juga bagiku. Papa tak akan memaksaku untuk mengikuti jejaknya lagi menjalankan perusahaannya. Karir aktingku mulai membaik saat ini, single keduaku bahkan akan segera rilis. Andai papa bisa sedikit menyadari bakat yang aku miliki. Aku hanya butuh sedikit dukungan darinya.
Kulihat adik tiriku, Leo, yang masih sebelas tahun, sedang memberengut di sudut ruang pesta. Dia bersandar ke pilar rumah, sedang es krim di tangannya sudah mencair karena terus diaduk. Matanya menatap orang-orang yang lalu lalang, sesekali tersenyum jika itu adalah perempuan. Andai dia tahu, ada lelehan cokelat menempel kering di sudut bibirnya, yang merupakan pernyebab para sepupu kami menatap jijik saat melewatinya. Kasihan, tidak ada yang mau bersusah payah menyadarkan bocah itu. Disamping dia diabaikan di antara anggota keluarga, karena dia anak haram ayah, tidak ada juga yang mau mendekati karena sikap angkuhnya.
Di sudut terjauh dari papaku yang sedang mengobrol dengan para tamu undangan, Gara tak kalah sibuk dengan teman-temannya. Wajahnya berbinar-binar, semburat merah muda membayang di pipinya. Dia berada pada kondisi terbaiknya saat ini. Anak kebanggaan papa, yang berhasil menyelesaikan dua gelar S2 dalam keadaan sakit. Menguasai tujuh bahasa, dan memiliki segudang prestasi ketika masih di bangku sekolah.
Bayangan kelam saat papa mendengar kakak sakit kanker, masih tergurat jelas di ingatanku. Rasanya aku ingin ikut dikubur saja bersama nenek, yang tiga hari sebelumnya meninggal karena terjatuh di kamar mandi. Gara, kakakku satu-satunya, yang selalu melemparkan camilan saat aku dihukum tidak boleh makan. Aku tak sanggup hidup tanpanya. Semua akan berbeda tanpa dirinya. Siapa yang bisa menggantikan posisi anak kebanggaan keluarga kalau bukan dirinya? Leo? Pasang sepatu saja dia masih ragu membedakan kiri dan kanan.
“Kak Raka!” salah seorang anak perempuan teman papa, yang umurnya dua tahun lebih muda dariku, melambaikan tangan dengan bersemangat. Manis. Itu pertama kali yang terpikir olehku saat pertama kali dikenalkan dengannya. Mantanku lebih cantik dari dia, tapi masalah otak, aku mulai berpikir: mungkinkah mantanku lupa membawanya ketika lahir? Bella terlalu jenius jika kusandingkan dengan mereka.
“Bella! Apa kabar?” sapaku.
Gerombolan teman perempuannya tampak tersenyum lebar kepadaku. Hanya perlu pandangan sekilas, aku sudah tahu mereka semua adalah sekte pemuja pakaian bermerek. Hebatnya, mereka mungkin sudah janjian hari ini untuk hanya memakai satu merek saja, G***i. ‘Besok temanya G***i ya genks...’ ‘Sepatu G***i aku nggak ada yang baru’ ‘Kita shopping aja besok gimana?’ ‘Ide bagus, kebetulan tasku juga nggak ada yang cocok sama baju aku’. Kubayangkan percakapan mereka di grup WA pastilah penuh dengan rencana ‘membakar’ uang orang tuanya.
Aku tak munafik, aku juga pakai pakaian bermerek, akan tetapi ini semua hasil jerih payahku sendiri. Bahkan sejak dibangku sekolah, papa sudah menyuruh untuk belajar menjalankan sebuah perusahaan. Sehingga ketika kuliah aku sudah bisa mengelola sebuah pabrik kertas, salah satu anak perusahaan papa.
“Halo Raka,” sapa salah seorang dari mereka yang namanya kalau tidak salah, Flora. Orang tuanya tinggal di hutan? Kenapa nama anaknya begitu? julidku dalam hati saat pertama mendengarnya.
“Halo semuanya.”
Aku balas tersenyum pada mereka.
“Kamu nggak kuliah lagi?” tanyaku pada Jane, gadis cantik yang selalu kikuk di keramaian. Pacarnya adalah sahabatku, jadi sedikit-sedikit aku tahu siapa dia.
“Aku cuti−,”
“Oh gitu,” potongku cepat, kemudian langsung beralih pada Bella sepenuhnya. “Gimana liburan kamu kemaren?”
Terdengar sorakan dari arah dapur. Kami semua menoleh ke sana. Kulihat papaku yang tampak heran menanyai seseorang apa yang terjadi. Orang yang ditanya memberikan penjelasan singkat, dan papa kembali mengobrol dengan temannya.
“Ke sana yuk...” Bella mengalungkan lengannya ke lenganku. Menarikku ikut memasuki kerumunan yang dipenuhi anak muda. Kulihat seorang gadis yang sangat jangkung, mengenakan gaun yang aku yakin tidak mahal, sedang meneguk wine dalam sekali angkat. Dia tersenyum kepada semua orang yang bersorak melihat dia mampu melakukannya. Banyak gelas kosong di hadapannya, yang kemungkinan ia sendiri yang menghabiskan.
“Munak banget tu pelacur.” Seorang wanita berambut pendek, dengan poni kelewat pendek, menundukkan tubuhnya ke arah teman-temannya.
“Lo denger tadikan dia bilang apa: ‘Astaghfirullah, gua nggak minum!’ Najis!” tawa mengejek keluar dari mulut gerombolan gadis yang mendengar di sekelilingnya.