Raka
“Ya, aku Cuma bisa bahasa inggris. Apa? Oh, cuma sampai S2,” ujar Manda pada pak Toni, direktur keuangan sebuah perusahaan yang kebetulan anaknya adalah temanku, yang kebetulan lagi dianya adalah teman SMA Om Bam.
“Kamu cantik dan tinggi, kenapa nggak jadi model saja? Kan bisa jadi sambilan di waktu libur akhir pekan.” Om Toni terlihat tertarik pada Manda yang hanya menjawab dengan sopan, layaknya berbicara pada orang tua. Mungkin dia tidak mengerti bahasa tubuh Om Toni.
Aku pun tidak begitu memedulikan percakapan mereka, dan malah asik mengobrol mengenai boat papa yang rusak bulan lalu di tengah laut dengan Om Bam.
“Si Rania sebentar lagi tamat kuliah di kedokteran. Kamu mau nggak om jodohkan sama dia?” Om Toni tampak bergurau padaku, dan aku tersenyum mendengarnya.
“Rania... Rania. Dia memang pinter banget,” pujiku. Kopi hitam kuseruput pelan. “Bagusnya selesain kuliah dululah Om. Kalau jodoh yaaa... siapa yang tahuu...”
Kulihat sekilas, Manda tak memperhatikanku. Dia menunduk menatap teh di hadapannya dengan wajah... sendu? Kamu kenapa?
*****
Saat sedang lari malam di sekitar gedung apartemenku. Om Bam menelpon, meminta mengambilkan ponselnya yang tertinggal di kantor. Tempatku tinggal dengan gedung om tidak begitu jauh, jadi aku berlari ke sana. Di sana aku melihat Manda dengan seorang pria. Kukira mereka sedang megobrol biasa, ternyata Manda terdengar marah pada pria itu. Aku sudah paham situasinya, langsung mengambil inisiatif memanggil gadis itu.
“Nggak usah, biarin aja. Saya juga yang salah karena kerja kemalaman,” ujarnya pelan sekali. Kulihat wajah gugup berusaha ia tutupi dengan sikap anggunnya. Dia terlihat seperti dewi yang sekarat di mataku. Berusaha untuk tetap terlihat mempesona di mata orang-orang, namun waktu akan memakan jiwanya. Entah bagaimana bisa kudeskripsikan dia seperti itu, yang jelas aku pikir aku tak akan cocok dengannya. Aku yakin dia sebentar lagi akan tumbang karena tingkahnya.
“Aku pergi dulu ya. Kamu hati-hati,” ujarku sambil melambai sekilas dan pergi.
*****
Nenek menelpon tadi. Aku menolak pulang. Wanita tua itu sudah menyerah membujukku. Dia tetap meminta agar aku menelponnya jika ada yang aku butuhkan. Nenek bukanlah sosok pengganti ibu, ketika mamaku meninggal. Ia juga sama sibuknya dengan ayah. Dia wanita pekerja keras, menikmati kekayaan adalah kesibukannya ketika liburan. Kakek sudah lama tiada, jadi dia menghabiskan uang bersama brondong koleksinya. Tak ada yang berani mengomentari gaya hidup wanita tua itu, karena memang dia memiliki porsi kekuasaan tersendiri di rumah.
Gara : Papa pikir kamu harus menikah supaya bisa menyadarkan kamu