Raka
Kuserahkan seprai meja di dapur kepada Gara. Dia segera berlari ke halaman rumah. Membantu Yugi dan Manda membersihkan krim yang menempel. Tante Mila mengajak mereka masuk ke dalam rumah, saat aku naik ke atas untuk mengambil pakaian untuk mereka. Pakaian Leo seukuran dengan Yugi, sedangkan Manda... Apa harus kupinjam baju Lisa? Mana mau siluman air itu meminjamkan miliknya.
Koperku terbuka, aku ingat mengepak celana olahraga dan baju kaos yang baru kubeli. Bergegas turun di tangga, kulempar pakaian itu ke Tante Mila yang menatapku jengkel.
Aku jogging di tepi jalan yang ada di dekat rumah Dion tidak sampai satu jam. Tadi pagi aku tidak sempat melakukannya, karena ketiduran. Lumayan berkeringat, aku kembali untuk mengikuti pesta Leo yang berantakan. Ah, tidak juga, anak-anak sudah kembali memukul balon-balon air.
“Punyaku!” teriak seorang anak blasteran, yang aku lupa siapa namanya.
“PUNYAKU!!”
Kukorek kupingku, dan segera kabur dari arena mengerikan itu. Kenapa mereka akhir-akhir ini sering melahirkan anak-anak kasar bersuara seperti toa? Leo adalah contoh terdepannya. Ketika umurnya masih tiga tahun, aku pernah menguncinya di lemari karena menyumpahiku di depan gebetanku. ‘RAKA PAKAI POPOK!’, padahal saat itu bokongnya sedang membuat pupuk yang baunya seperti bom atom di saluran pernapasan.
Mataku bersitatap dengan Manda, yang membuatku otomatis berpikir mungkin pikirannya sedang menerawang. Dia terlalu sering melamun menurutku. Matanya itu terkadang hanya terfokus pada satu benda cukup lama dari orang biasanya memandang. Masalah hidupnya cukup banyak untuk dipikirkan sepertinya? Mana lebih banyak, punyaku atau punyamu? Aku mungkin berharap aku jadi dirimu. Cantik, menarik, dan punya karir yang jelas. Yang harus aku hindari hanya para lelaki hidung belang yang selalu mengikutiku. Bahkan aku yakin dengan perawakan seperti dia, setidaknya aku bisa dapat anak pejabat.
“Ternyata cocok juga kamu pakai yang begitu ya, tomboy,” ujarku padanya seraya tersenyum. “Kalian nggak apa-apa kan?”
“Nggak pa-pa...” Manda yang jawab.
Gara mengulurkan cokelat yang telah ia potong setengah kepada Yugi.
“Iya, jangan.” Manda menggeleng.
Baru kali ini kulihat Yugi mendorong cokelat dari hadapannya. Paling tidak biasanya ia pasti akan mencuilnya, itu ritualnya. Yugi suka mencuil makanan.
“Kenapa?” tanya Gara.
“Bisa minta nasi sama telor ceploknya dua, terus buah-buahan ya?” pinta Manda pada pembantu.
“Yugi mau masuk les karate. Dia harus makan makanan real food mulai sekarang supaya ototnya bisa kebentuk dengan baik. Tapi karena dia masih kecil, jadi tetap dibiasakan makan karbo komplek dan makanan protein tinggi, vitamin yang cukup juga karena dia masih dalam masa pertumbuhan.”
Kutaruh cokelat Gara yang sudah kugigit ke atas meja. Keterlaluan manisnya, tapi bukan itu yang membuatku berhenti, penjelasan perempuan di depanku ini terdengar menarik bagiku.
“Kamu masuk les karate?” tanyaku dengan wajah penasaran.
“Dia mau coba pengalaman baru,” jawab Manda seraya matanya saling berpandangan penuh rahasia denga Yugi. Mereka sudah akrab ternyata. Tak kusangka Yugi bisa juga berteman dengan perempuan. Berarti dia bohong padaku saat bilang: aku benci perempuan.
Ketika aku hanya bersama Yugi, barulah kudengar alasan sebenarnya ia ingin masuk karate. Manda sedang berbincang dengan nenekku yang baru saja datang dengan brondong-nya yang pakaiannya sangat mencolok. Pikiran semua orang pasti sama denganku, seakan ada label yang lupa tercabut dari pria itu, ‘MATRE’.
Kualihkan pandangaku pada Yugi yang sedang menghirup air jeruk yang sudah kering, menimbulkan suara bising familiar yang keluar dari sedotan kosong.
“Jadi Manda sudah daftarin kamu?”
Yugi mengangguk.
“Kalau kamu mau aku akan tonjok papa si Rema...”