Raka
Papa menelponku. Tak ada minta maaf. Hanya ego orang tua yang masih menganggap anaknya bayi yang baru melewati tahap merangkak. Aku berhasil menahan emosi selama dia berbicara. Menumpahkan semua kesalahan padaku, dan berpikir aku tak punya hati yang juga bisa terluka.
“Papa peduli sama kamu....”
“Balas budi pada orang tua...”
“Kalau kamu masih mau papa maafkan, datang ke acara makan malam ulang tahun nenek...”
“Papa akan jodohkan kamu, biar kamu itu bisa mengerti kehidupan yang sebenarnya itu seperti apa. Tujuan hidup itu seperti apa....”
“Kamu harus membangun fondasi yang kuat agar kelak kamu bisa menjadi orang yang lebih hebat dari papa....”
“Aku membesarkan kamu susah payah, jangan berani-berani kamu membantah papa lagi...”
“Kalau begitu bawa pacarmu itu...”
“Kalau bibit bobotnya bagus apa salahnya, asal bukan pelacur saja kamu bawa kehadapanku...”
Acara pesta ulang tahun nenek, apalagi di tengah pandemi, adalah hal yang paling kuhindari. Banyak sekali pertanyaan sensitif akan terlontar dari berbagai mulut yang bahkan pemiliknya tak begitu kukenali. Kalau aku tidak datang, pasti papa akan semakin marah. Mungkin aku akan benar-benar keluar dari Kartu Keluarga. Kalau pun aku pergi, dengan siapa? Bella?
Sudah bisa kubayangkan seringai bahagia orang tua itu jika melihat anak temannya adalah pasanganku. Mudah saja aku mengajak gadis itu pergi, namun bagaimana caraku menghindar darinya setelah malam itu? Pasti papa akan langsung menghubungi papa Bella, dan Bella pun pasti berharap sekali mereka benar-benar menikah. Baru sebulan yang lalu aku menolak cintanya, sangat berisiko kalau aku mengajaknya nanti.
Atau aku memohon dia agar datang sebagai pacar pura-pura?
Manda!
Kemarin aku mengajak dia minum di sela istirahat kerja. Aku membicarakan Yugi dengannya, tapi kupikir-pikir aku hanya ingin melihat dia. Aku mulai menyadari Manda itu wanita yang unik dan lugu. Menurutku. Juga pendengar yang baik, karena dia hanya tersenyum saat aku bercerita. Yah, manis. Apa aku ajak dia saja ya? Aku tak punya hubungan apa-apa dengannya. Tak akan ada yang tersakiti setelahnya kurasa.
Kurasa.
*****
Malam acara ulang tahun nenek, aku menjemputnya dengan mobil termewah yang kupunya, si seksi Lamborghini merahku. Kudapatkan setelah syuting striping beratus-ratus episode dan beberapa film layar lebar. Memang keluaran lama jika dibandingkan milik sepupu-sepupuku, tapi ini hasil kerja kerasku.
“Mobilnya cantik,” puji Manda, yang malam itu memakai gaun chiffon bewarna merah yang sangat indah di kulitnya. Aku yang memilih dan mengirimkan padanya.
“Memang cantik,” ujarku puas.
“Tapi aku nggak akan pernah beli mobil yang kayak ini,” tambahnya.
“Kau cantik hari ini, dan aku suka.” Tiba-tiba aku menyanyikan lagu itu. Kulirik Manda sekilas, dan bersyukur dia tak peduli.
“Ehm... Kenapa nggak maui?” tanyaku hanya untuk menjernihkan kesalah pahaman di hatiku.
“Mobilnya terlalu rendah, ceper, aku suka mobil yang tinggi. Mobil off-road mungkin, aku suka yang begitu,” jelasnya sambil tersenyum geli melihat aku yang menatapnya.
“Kalau begitu pesawat aja, bisa tinggi sekali,”