Ramanda
Saat ini,
Maafkan aku Kanina... Maafkan aku.... Maafkan aku.
Suara Gita sering terngiang di kepalaku akhir-akhir ini. Seringnya datang dalam bentuk mimpi buruk. Gita menantiku di sebuah kelokan jalan dan menyuruhku untuk menabraknya. Aku terbangun dengan tubuh menggigil, segera ke kamar mandi untuk mencuci muka dengan air dingin. Mungkin gadis itu sedang menghantuiku. Membantuku melawan jenuh sendirian di kontrakkan yang sunyi ini.
Aku mengikuti saran Alice, setelah bergumul lama dengan pikiranku sendiri. Aku akan pergi. Kutelpon Angga agar dapat mengantarku ke apartemen Raka. Dia benar-benar tidak bisa pergi, jadi dia menghubungi petugas di gedung apartemen itu agar membiarkanku masuk.
“Aku mau bilang...” ujar Anggara di seberang sambungan sana. “Makasi.”
“...”
“Akhirnya kamu mau ketemu Raka...” suaranya begitu lelah. Aku tak ingin dia sedih, namun tak ada kata penghiburan yang dapat kusampaikan.
“Aku Cuma khawatir...”
“Makasi Nda,”
“...”
“Dia nggak balas pesan WA aku dari tadi pagi, mungkin dia tidur seharian ini.... Udah seminggu dia cuma di apartemen. Mungkin dengan kamu datang, dia bisa lebih semangat...”
Pikiranku travelling, kupikir dia mau bilang ‘semangat hidup’? Minta saran dari pegiat bunuh diri dua kali? Kupikir mungkin aku tak terlalu berguna. Aku berkunjung hanya karena Alice memikirkan keadaan pria itu. Dan ketika kudengar suara pilu Anggara yang begitu khawatir, seharusnya ini sudah kulakukan sejak aku tahu peristiwa antara aku dan Raka di masa lalu.
“6 8 7 0 9 5... itu kode pintu dia,” ujar Anggara. “Perlu aku ulang?”
“Ah... nggak usah.” Si Ramanda di masa lalu tahu nomornya.
Raka tak menanggapi bel yang kutekan. Jadi, pin itu memang ada gunanya. Kututup pintu di belakang punggung dengan bunyinya yang teredam pelan. Beberapa sepatu dan sendal tersusun rapi menghadap ke dalam lorong panjang temaram di depan sana. Aku seperti pernah berada di sini, hanya sekedar rasa, tak benar-benar muncul dalam ingatanku. Kubayangkan Raka melewatinya sambil membawa belanjaannya. Kenapa itu yang kubayangkan? Aku tak tahu.
Kuhela napas, ruang tamunya dengan mencengangkan cukup rapi. Dalam penilaianku orang stres itu berantakan.
Mataku menelusuri ujung kanan ruangan luas itu. Ternyata tak begitu dengan dapur. Dia memang stres, putusku segera. Di sana beberapa botol anggur dan minuman beralkohol lain tumpah ruah dari tong sampah. Kotak-kotak makanan dan kaleng minuman kosong bertumpukan di sekitar wastafel dapur. Kuhela napas lagi, satu kali, dua kali, tiga kali, terbayang malam-malam yang pria itu lalui dengan membuat dirinya sendiri tak sadarkan diri.
Kamar toilet tamu terbuka, aku reflek mundur sedikit saat kami bersitatap. Dua bola mata membulat penuh memperlihatkan pupil cemerlangnya seakan ingin menembus tubuhku. Dia mungkin menyadari kehadiranku sejak tadi. Kaus putih dan celana pendek putihnya menempel lusuh di kulitnya. Pria itu menegakkan punggung di atas kloset. Di atas kepalanya, seuntai tali yang diikat membulat di ujungnya melayang tegak lurus ke langit-langit..
“Ryan... eh Raka, kamu ngapain?” pertanyaan terbodoh abad ini. Aku lupa pernah ingin mencoba bunuh diri dahulu, dan tentu saja saat ini aku merinding melihat tali tampar yang menggantung horor itu.
Tetes air mengalir dari mata Raka yang masih membulat lebar dan tampak... hampa. O my god! Aku harus apa? Aku panik memikirkan, apa harus mendekatinya atau tidak? Aku tidak kenal dia. Apa dia jahat atau sebenarnya baik? Dia sedikit terisak dan masih melihatku tanpa terputus. Apa salahku?
“Apa aku yang jahat?” Bibirku tiba-tiba mengatakannya. Bisa saja ternyata aku yang terlalu banyak playing victim-kan, membuat media ramai-ramai menghujat pria ini. Karena.... karena... saat ini aku merasa dia bukanlah pria yang keji. Oke, aku memang nggak kenal dia yang sebenarnya. Tapi lihat, dia menangis. Pria mana yang menangis di hadapan perempuan seperti itu.
Dia begitu keras kepala dengan kediamannya. Membuatku resah, dan salah tingkah.
Aku maju, gemetar, dia tetap menatapku begitu, membuatku sedikit takut. Kuperbaiki tas sandangku di bahu, kutiup jilbab yang meliuk ke keningku, kemudian menunduk sedikit padanya.
“Anggara peduli sekali sama kamu. Kamu jangan sia-siain itu. Ada orang yang sayang sama kamu Raka...”
Tanganku membeku saat mengangkat lengan dingin pria itu, membimbingnya menuju meja di dapur. Kami duduk diam entah berapa lama. Kulihat Raka membenamkan wajahnya dalam lipatan tangan. Tak tega aku melihatnya, mungkin dia sudah menyerah dengan kelumit kehidupannya, dan dunia tampak tak peduli dengannya. Kuperhatikan apartemennya, kurasa banyak orang yang ingin berada pada status sosial Raka. Mungkin inilah impian tertinggi yang bisa dibayangkan seseorang di luar sana. Inginku bisikkan ke telingannya, sampai dia sadar: Berbahagialah Raka, hidup ini hanya sementara, sedangkan kamu punya segalanya. Banyak orang yang harus siap hidup bersusah payah di kehidupan yang sekejap ini.
Kubuka makanan yang rencananya akan jadi makan siangku, sekaleng susu dan sepotong roti selai cokelat, kutaruh ke hadapannya. Raka masih membisu.
“Kamu itu pernah menjadi orang yang paling berharga bagi aku kan?” tak terpikirkan lagi olehku untuk mengucapkan hal lain selain itu. “Setiap orang berhak dicintai..”
Astajim, ngomong apa sih? Lagi menghibur orang stres atau ngegombal?
“Kenapa nggak bilang itu bukan anak kamu? Orang-orang nggak akan hujat kamu lagi, kalau kamu bilang itu.”
Raka mengangkat kepalanya. Bulatan kelopak mata itu entah mengapa terbuka begitu lebar, menyedihkan. Tak ada lagi air mata, namun lentik rambut di tepi matanya terlihat lembab. Seakan kesedihan akan selalu menemani tanpa diminta.
Ingin sekali kutepis lukanya, tapi bagaimana?
“Dari mana kamu tahu?” tanya Raka dengan suara parau. Aku hampir saja bersorak saat mendengarnya. Akhirnya ngomong juga dia.
“Tante ketemu surat di rumah Gita. Eh, rumah kalian...” ujarku singkat, seraya mengatasi rasa tak nyamanku. “Setelah gantung diri, kayak itu (kumajukan dagu sekilas untuk menunjuk ke tempat pria itu akan melakukan hal yang sama).”
“Aku baru tahu setahun setelah kami menikah, dia bukan anak aku,”