Sore sebelum kecelakaan Ramanda,
Manda berkemas. Melempar beberapa sendal kesukaannya ke dalam koper. Tidak muat lagi. Dia merangkak ke koper bermotif bunga, dan menyadari tiga koper terlalu kecil untuk semua barang-barang itu. Jadi, dia mulai berpikir mungkin akan kembali bulan depan, atau yah kapan pun ia mau kembali ke sini. Sewanya masih sebelas bulan lagi, tak harus buru-buru membawa semuanya.
Ah, tapi kemudian ia mulai berubah pikiran ketika melihat sebuah wajah di foto dalam genggamannya, ada garis lipatan melintang di tengah, memperlihatkan dia dan Gita masih berpakaian sekolah, dan berpelukan karena itu adalah momen kelulusan UN. Manda tak ingin kembali ke kota ini lagi. Seharusnya ini adalah langkah besar untuk meninggalkan semuanya di belakang punggung dan tak berbalik lagi.
“Selamat tinggal.” Merobek foto itu dan melemparnya ke tong sampah. Masuk sempurna.
Lalu ia mulai berpikir, akan memasukkan sisanya dalam kardus, dan dikirim lewat ekspedisi saja. Sedang satu koper akan dibawa naik bus nanti.
Esok sorenya, rumah kontrakkan kecil ini sudah kosong. Hanya ada kasur, lemari, mesin cuci baju dan peralatan yang remeh, yang telah diberikan ke pemilik rumah. Ibu tua itu tertawa sambil menutupi gigi ompongnya dengan tangan, saat Manda mengatakannya tadi. Gocar yang dipesan sudah menunggu. Ia keluar tersaruk-saruk membawa koper-koper itu, dan pria muda berkumis itu berlari mendekat, membantu mengangkat koper ke atas mobil. Bertanya tentang tujuan Manda malam itu di terminal, yang ia jawab sekenanya, mau reuni SMA.
Saat akan membuka pintu depan, sebuah mobil SUV yang Manda kenali bergerak pelan mendekat. Kaca mobil diturunkan, dan terlihat jelas pria itu di sana. Dia turun dari mobil dengan kaca mata hitam yang gunanya untuk apa di suasana hampir gelap ini. Menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribu ke sopir gocar, kemudian mengeluarkan koper dari bagasi belakang. Manda kaget, dan merasa diabaikan sekaligus.
“Raka! Kamu ngapain?” serunya jengkel saat gocar itu pergi.
“Kamu pulang ke kampung halaman kamu kan? Ayo,” ajaknya ke dalam mobilnya sendiri.
Manda mendorong lengannya menjauh.
“Gila kamu ya!”
“Bukannya kamu udah maafin aku, tolong terima permintaanku yang ini,” ujarnya dengan suaranya yang terdengar seperti orang demam.
Akhirnya Manda naik. Pria itu mulai menjalankan mobilnya ke jalan raya. Hanya perlu beberapa menit bagi Manda untuk menyadari jika pria itu mabuk!
“Raka, kamu mabuk?”
“Nggak kok.” Dia mendehem