Empat bulan kemudian.
Berbekal pengalaman magang di salah satu perusahaan swasta besar bidang konstruksi, Bisma langsung diterima kerja. Ia masuk ke tim pengembang sistem informasi untuk divisi infrastruktur. Awalnya, nanya ini-itu ke senior, ngafalin struktur proyek, nyocokin laporan harian dengan realisasi lapangan. Tapi nggak butuh waktu lama, Bisma cepat nangkep.
Dan dia makin dipercaya.
Setahun berlalu. Dua tahun.
Naik jabatan. Timnya sendiri. Klien luar kota. Semua dijalanin dengan profesional, meskipun kadang begadang dan jarang pulang.
Tapi yang nggak pernah ia tinggal: telepon ke Bapak. Minimal dua hari sekali.
Suatu malam, setelah lembur, ia nelpon seperti biasa.
“Udah makan, Pak?”
“Udah, tadi. Bude Murni nganterin soto ayam, enak banget. Kamu udah makan, Le?”
“Baru mau makan ini. Kerjaan lagi numpuk, Pak.”
“Jangan nunda makan. Nanti malah jadi penyakit. Masa rajin olahraga tapi makan telat terus?”
Bisma terkekeh. “Nggak sering-sering banget, Pak. Beberapa hari ini aja emang lagi hectic.”
“Yowes, makan sana. Seka udah naik jabatan, amanah jangan lupa. Ojo kuropsi!”
“Korupsi, Pak... bukan kuropsi... hahaha.”
“Hahaha... Bapak tuh bukan salah, tapi lidah Bapak yang mungkin kepanjangan.”
Obrolan ringan itu, selalu jadi obat stres Bisma tiap malam. Meskipun Bapak sudah makin tua, ia tetap cerewet, tetap suka becanda, dan nggak pernah sekalipun minta apa pun dari Bisma. Bahkan saat Bisma ngirim uang lebih setiap bulan, Bapak pasti balas, “Kebanyakan, Le. Separuhnya simpen buat kamu.”
•••
Dua tahun kemudian.
Bisma sekarang sudah duduk di kursi senior manajer. Gajinya dua digit. Mobil dinas. Anak-anak baru mulai manggil “Mas Bisma” dengan penuh hormat. Tapi setiap dia pulang kerja, buka pintu apartemen, dan duduk sendiri sambil makan nasi kotak… dia tetap merasa jadi anak bawang.
Karena satu hal nggak pernah berubah.