Sampai di basement, mobil hitamnya sudah siap. Ia masukkan koper ke bagasi, lalu nyalakan mesin. Musik biasanya nyala otomatis dari Bluetooth, tapi hari itu, semuanya senyap. Bahkan speaker mobilnya seperti enggan bicara.
Perjalanan dimulai.
Tol dalam kota masih sepi. Langit Jakarta berawan. Awan gelap menggantung, seolah tahu, hari ini seseorang akan menangis di kampung halaman.
Di perjalanan, Bisma teringat semua hal kecil tentang Bapak.
Suara Bapak pas manggil dari dapur, “Le, temenin Bapak ngelipet karung dulu.”
Bau tanah dari tangan Bapak yang nggak pernah hilang.
Tawa renyah pas mereka makan mie instan malam-malam sambil nonton berita.
Kalimat paling sering diucap Bapak, “Jujur ya, Le... rejeki itu datengnya nggak terduga.”
Dan suara dari semalam.
"Le... Bapak kedinginan..."
Bisma menggigit bibir. Matanya mulai panas. Dia nyalain AC mobil paling pelan, tapi tubuhnya malah menggigil.
“Kenapa semalam ngomong kayak gitu, Pak...” gumamnya. “Apa maksudnya?”
Mobil terus melaju, tapi Bisma tau, hatinya belum siap. Dia akan sampai di rumah duka, tapi bagian dirinya yang lain... masih tertinggal di video call terakhir itu.
Delapan jam kemudian. Desa Tibo Pati.
Plang desa yang bertuliskan “Selamat Datang di Tibo Pati” itu sudah mulai berkarat. Daun jati berjatuhan sepanjang jalan masuk. Sepanjang gang kecil itu, motor dan mobil warga parkir di pinggir, dan suara tahlilan samar terdengar dari toa masjid.
Bisma berhenti tepat di depan rumah. Bunga-bunga duka berjejer di pagar bambu tua. Ada yang dari kantor, ada juga dari teman lama.
Ia turun dari mobil... dan mendadak lemas.
Di depan pintu rumah, jenazah Bapak terbujur di atas kasur kecil. Ditutupi kain putih. Sudah dimandikan. Siap dikafani.
Tangisan pecah dari dalam. Tetangga, Pakde, Bude, dan beberapa orang kampung sudah duduk di tikar. Suasana hening, tapi berat.