POCONG BAPAK

DaraTresnaAnjas
Chapter #5

MUNAFIK

“Le, kamu pegang ujung kainnya ya, pelan-pelan.” kata Pakde Karto

Mereka bareng-bareng menurunkan jenazah Wijaya ke dalam tanah.

Bisma memegang kain kafan. Tangannya bergetar, bukan karena berat, tapi... karena merinding.

Di telinganya... seperti ada yang berbisik.

“Kok kamu datang terlambat, Le...”

Suaranya berat. Mirip suara Bapak. Tapi... serak. Dan dingin.

Bisma langsung nengok ke kanan. Ke kiri. Ke atas. Nggak ada siapa-siapa yang ngomong.

Dia melirik Pakde Karto. Pakde masih sibuk bantu merapikan posisi jenazah. Nggak mungkin. Cuma dia yang dengar.


Setelah tanah ditutup, doa kembali dilantunkan.

Bisma berdiri, menatap nisan sederhana bertuliskan nama Bapaknya.

Wijaya Kusuma, Malang, 1967–2025.

Tapi dalam hatinya, satu kalimat terus menggema, “Apa tanah ini bener-bener nerima Bapak... atau malah nolak?”

•••

Pekarangan rumah Pak Darmo sore itu dipenuhi suara kursi plastik yang digeser, gelas kopi yang beradu, dan tawa pendek yang ditahan-tahan. Di depan warung kecil yang tutup sejak pagi, beberapa lelaki tua duduk melingkar, nyender ke dinding, menatap jalan dengan ekspresi campur aduk.

“Syukur dia mati!” ucap Sapto sambil menyulut rokok kretek, asapnya menggantung malas di udara panas yang mulai dingin.


Lihat selengkapnya