POCONG BAPAK

DaraTresnaAnjas
Chapter #6

HARTA TAHTA DAN CERAMAH

Langit malam itu terasa berat, seperti ikut berduka atas kepergian Wijaya, salah satu tokoh yang dikenal di kampung Tibo Pati. Cahaya lampu bohlam dari rumah-rumah sekitar saling menyambung, menghidupkan suasana pekarangan yang luas. Lesehan tikar menjalar dari ruang tamu sampai ke luar, membentuk lingkaran-lingkaran orang yang duduk bersila.


Yasinan malam pertama.

Warga datang satu per satu. Ada yang bawa sajadah kecil, ada yang cuma duduk bersila pakai sarung. Anak-anak remaja lelaki sibuk mengatur sandal, beberapa bapak-bapak mulai membuka kitab kecil dan berdoa pelan. Bau dupa samar dari ruang dalam bercampur dengan aroma kopi dan gorengan yang masih hangat.

Para ibu bahu membahu keluar-masuk dapur, membawa nampan berisi teh, kopi, kue cucur, lemper, dan bolu potong warna-warni. Tidak ada yang tidak kebagian. Semua yang datang, meski cuma mampir sebentar, pulang dengan tangan terisi dan perut terisi.

Di ruang tengah, Bisma duduk bersila, berdoa bersama Pakde Karto, adik kandung mendiang Bapak, dan Pakde Umar, sepupu jauh yang paling sering datang saat Lebaran. Sepupu-sepupu lain—laki-laki muda dengan sarung dan kaus oblong—duduk mengelilingi, wajah mereka sendu, mata berkaca-kaca.

Gelas kaca berisi rokok mulai berpindah dari tangan ke tangan. Di luar rumah, yang tak muat masuk ke dalam, para pria dewasa merokok sambil membaca Yasin dalam hati.

Namun tak jauh dari situ, di sisi kanan pekarangan, rombongan munafik juga hadir.

Sapto, Darmin, Wahyu, dan Eko. Duduk manis, tangan tertangkup, kepala tertunduk. Sesekali menyeka mata seolah menahan tangis.

Padahal beberapa jam lalu, mereka tertawa dan nyinyir di warung kopi.

Dan tentu saja, Pak Tejo duduk di baris terdepan.

Sikapnya tenang, penuh wibawa, dengan sorban putih bersih melingkar di leher. Ia bahkan sempat bersalaman dengan RT dan RW yang juga hadir.

Pak Tejo selalu tahu kapan harus terlihat “beradab”.

“Mas Bisma,” sapa RT dengan suara pelan, “semoga sampean kuat ya. Almarhum bapak sampean itu orang baik.”

Bisma hanya angguk kecil, “terima kasih, Pak.”

Dari dapur, suara para ibu saling bersahut-sahutan.

Dapur luas rumah itu malam ini penuh dengan perempuan yang tak hanya masak, tapi juga berunding seperti menteri-menteri logistik.

“Kue ini siapa ya yang bayar?” tanya Bu Marni, sambil menata cucur di wadah rotan.

Lihat selengkapnya