“Jangan panggil Bapak!” potong Kuncoro dengan cepat menepuk pelan lengan Bisma.
“Kita itu seumuran,” senyumnya lebar, tangannya sibuk merapikan rambut dari balik peci beludru hitam yang sedikit miring ke kanan.
“Wah… maaf, Mas Kun. Saya kira… lebih tua,” jawab Bisma polos.
“Ngawur! Kamu umur berapa emangnya?” tanya Kuncoro, matanya melirik ke casing HP Bisma yang polos.
Dia kemudian mengeluarkan iPhone 11 bekasnya yang dibalut dengan casing berkilauan bertuliskan ‘Bossman Official’.
“33 tahun, Mas,” jawab Bisma, menahan tawa.
“33 tahun?! Ya podo lah! Beda tipis-tipis!”
Kuncoro menyipitkan mata, menatap wajah Bisma dari dekat, seakan-akan terpesona.
Matanya menelusuri rahang, kemudian beralih ke otot bisep di lengan kemeja yang digulung rapi, lalu naik kembali ke tinggi badan.
“Nggak nyangka, awakmu kinclong banget. Aku dulu juga gitu. Sekarang aja agak… lembab dikit karena usaha,” Katanya sambil tertawa kering dan menepuk-nepuk perutnya sendiri.
Bisma senyum sopan.
“Wah… iya, Mas, tetep sehat ya. Terima kasih udah dateng ke sini,” ucap Bisma.
“Iyalah, penting jaga silaturahmi. Apalagi bapakmu itu… meskipun kita jarang ngobrol, tapi saya tahu lah. Orangnya keras, tapi prinsip.”
“Iya, Mas. Terima kasih,” ucap Bisma sambil menahan tawa.
“Ngomong-ngomong… nanti kalau kamu mau usaha atau butuh modal buat ngembangin bisnis keluarga, jangan sungkan. Aku orangnya terbuka kok. 0,5 persen aja per hari.”
Bisma nyaris terpleset oleh napasnya sendiri, namun segera diselamatkan oleh suara ibu-ibu dari dapur yang memanggil, “Mas Bisma… tolong ke belakang sebentar ya!”
“Wah, saya permisi dulu ya, Mas Kun,” kata Bisma, bersikap sopan kepada Mas Kun.
“Oke-oke. Nanti kita ngobrol lagi. Aku ini fleksibel. Gampang diajak kerja sama!”
Kuncoro melambaikan tangan, lalu bercermin sejenak di layar ponselnya.